
Cek! Begini Buruknya Kinerja Rupiah Melawan Mata Uang Dunia

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah 0,5% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.150/US$ sepanjang pekan ini. Perdagangan berlangsung lebih singkat, sebab pasar finansial dalam negeri libur dalam rangka Hari Raya Natal pada Kamis dan Jumat.
Tidak hanya melawan dolar AS, rupiah juga keok berhadapan dengan mata uang Asia, Eropa, hingga Amerika.
Melansir data Refinitiv, melawan mata uang utama Asia, rupiah "dihabisi", dolar Taiwan menguat paling tajam sebesar 0,68%. Rupiah hanya mampu menguat melawan baht Thailand sebesar 0,17%.
Nasib rupiah tidak jauh berbeda di Eropa, hanya mampu menguat melawan franc Swiss sebesar 0,19%. Mata Uang Garuda paling menderita melawan poundsterling di pekan ini, merosot 0,71%. Maklum saja, mata uang Negeri Ratu Elizabeth tersebut mendapat tenaga setelah tercapainya kesepakatan deal Brexit.
Kamis kemarin, Inggris dan UE mengumumkan keduanya mencapai kesepakatan "zero tariff-zero quota", artinya tidak akan ada bea impor yang tinggi, atau pembatasan jumlah produk yang dijual kedua belah pihak.
Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengapresiasi kesepakatan yang dicapai tersebut.
"Perdebatan dengan mitra Eropa terkadang sangat sengit, tetapi ini, saya percaya kesepakatan yang baik bagi seluruh Eropa," kata PM Johnson dalam konferensi pers.
Sementara von der Leyen mengatakan kesepakatan tersebut adil dan seimbang serta tepat dan bertanggung jawab bagi kedua belah pihak.
Dalam kesepakatan tersebut, kedua belah pihak tidak boleh memberikan subsidi untuk mendapat keuntungan ekspor. PM Jonhson menegaskan jika hal tersebut dilakukan baik oleh UE maupun Inggris, maka keduanya berhak untuk menaikkan bea impor.
Kemudian mengenai kesepakatan penangkapan ikan, nelayan dari UE maupun Inggris masih boleh menangkap ikan di kedua perairan selama 5,5 tahun ke depan. Setelahnya setiap tahun akan diadakan perundingan masalah kuota penangkapan ikan.
Kesepakatan-kesepakatan tersebut masih akan diratifikasi dan di-voting oleh Parlemen Inggris pada hari Rabu pekan depan.
Sejak awal pekan sentimen pelaku pasar sebenarnya kurang bagus, bahkan bisa dikatakan buruk akibat mutasi virus corona di Inggris yang dikatakan bisa lebih mudah menyebar.
Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock mengumumkan temuan varian baru virus corona bernama VUI 202012/01 atau dalam klaster pohon filogenetiknya (pohon kekerabatan berdasarkan data genetik) disebut sebagai varian B.1.1.7.
Varian baru virus Covid-19 tersebut dikabarkan memiliki 70% peluang penularan lebih tinggi ketimbang strain awalnya. Akibatnya, banyak negara-negara yang menutup perbatasannya dengan Inggris.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) telah mengidentifikasi virus ini di Denmark, Belanda, dan Australia.
Alhasil, bursa saham Eropa sempat mengalami aksi jual masif di awal pekan ini, sementara bursa saham AS mayoritas juga mengalami pelemahan, disusul bursa Asia kemarin.
IHSG sepanjang pekan ini merosot lebih dari 1,57%, sekaligus menghentikan reli panjang dalam 11 pekan beruntun.
Investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih (net sell) Rp 3,64 triliun miliar all market.
Sementara itu di pasar obligasi, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun naik 12,1 basis poin (bps) menjadi 6,097%.
Untuk diketahui, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Saat yield naik, artinya harga sedang turun.
Saat harga turun, kemungkinan asing melepas kepemilikannya, artinya terjadi capital outflow. Capital outflow yang terjadi di pasar saham dan obligasi tersebut memberikan pukulan bagi rupiah di pekan ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS