Asing Cabut dari RI Bikin IHSG Minus 1,6%, Ini Biang Keroknya

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
26 December 2020 15:20
Layar monitor menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan saham. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Layar monitor menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan saham. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perdagangan pekan ini hanya berlangsung singkat. Keputusan pemerintah menetapkan cuti bersama dan libur Hari Raya Natal mulai 24 Desember membuat pasar keuangan domestik hanya buka 3 hari saja. 

Sepanjang tiga hari tersebut, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup 1,57% lebih rendah dari posisi akhir pekan lalu pada Rabu (23/12/2020). IHSG yang sebelumnya hampir tembus level psikologis 6.200 harus berbalik arah dan kembali ke level 6.000.

Kendati terkoreksi di pekan ini, sejatinya IHSG sudah menguat 7% sepanjang bulan Desember. IHSG mulai reli dan berada di jalur uptrend sejak memasuki kuartal keempat. Tak tanggung-tanggung IHSG sudah melesat 23,4% sepanjang kuartal terakhir tahun ini.

Penurunan yang terjadi minggu ini merupakan sebuah fenomena koreksi sehat setelah mengalami reli panjang sejak akhir September. Lagipula momentumnya bertepatan dengan libur panjang akhir tahun Natal dan Tahun Baru (Nataru) meski masih dalam kondisi pandemi.

Menjelang libur panjang akhir tahun, biasanya banyak investor maupun trader yang merealisasikan keuntungannya. Data perdagangan mencatat bahwa investor asing mencatatkan aksi jual bersih sebesar Rp 3,65 triliun di pekan ini di seluruh pasar. 

Kinerja positif IHSG di bulan Desember juga tak terlepas dari berbagai sentimen positif terkait dengan program vaksinasi darurat Covid-19 di Inggris dan AS serta adanya window dressing yang umumnya mengangkat harga saham. 

Adanya katalis berupa window dressing terbukti telah mengangkat kinerja IHSG di bulan Desember sejak 20 tahun terakhir. Rata-rata apresiasi bulanan IHSG pada Desember sejak 2001-2019 mencapai 4,43%.

Selain sentimen libur panjang akhir tahun, belakangan ini juga beredar sentimen yang kurang mengenakkan di kalangan pelaku pasar yang membuat bursa saham luar negeri maupun domestik sedikit goyah. 

Sentimen negatif pertama datang dari Inggris. Kenaikan kasus harian Covid-19 yang diasosiasikan dengan varian baru virus Corona bernama B.1.1.7 membuat Perdana Menteri Borish Johnson menetapkan lockdown yang lebih ketat. 

Varian baru tersebut diklaim 70% lebih menular dari varian yang ditemukan di awal. Penemuan varian baru tersebut di Kent dan South Wales Inggris juga membuat negara-negara di kawasan Benua Biru mulai khawatir sehingga lebih memilih menutup diri dengan Inggris.

Namun sayangnya varian baru tersebut juga sudah ditemukan di negara-negara lain seperti Belanda, Italia bahkan Australia. Belum diketahui dengan pasti apakah varian tersebut jauh lebih berbahaya dan bisa menurunkan efektivitas vaksin Covid-19 yang sekarang ini digunakan.

Butuh penelitian lanjutan komprehensif untuk mengkonfirmasinya dan untuk itu waktu yang dibutuhkan pun tidaklah sebentar. 

Sentimen lain yang juga menekan kinerja pasar saham berasal dari Negeri Paman Sam. Presiden Donald Trump dikabarkan mengancam tak akan menandatangani RUU bantuan sosial Covid-19 senilai US$ 900 miliar.

Menurutnya stimulus fiskal tersebut nilainya terlalu kecil dan merupakan aib baginya. Di satu sisi stimulus dalam jumlah besar memang didambakan oleh pelaku pasar mengingat AS kini sedang bergelut dengan makin ganasnya Covid-19.

Namun di sisi lain ketidaksepahaman antara Trump dan Kongress berpotensi membuat stimulus tidak segera cair. Padahal negosiasi paket bantuan fiskal tersebut sudah berjalan alot selama berbulan-bulan.

Dua sentimen itulah yang membuat kinerja pasar saham menjadi kurang optimal. Tahun 2020 tinggal lima hari lagi. Prospek pemulihan ekonomi yang lebih baik akibat mulai didistribusikannya vaksin Covid-19, pelemahan dolar AS akibat kebijakan moneter ultra longgar berpotensi membuat aliran dana asing yang besar membanjiri pasar keuangan RI.

Tentu saja hal tersebut akan menjadi katalis positif untuk aset berisiko seperti saham. Di tengah era suku bunga rendah seperti sekarang ini proyeksi imbal hasil dari pasar uang diestimasi hanya mencapai 4%, sementara itu untuk kategori pendapatan tetap berada di kisaran 6%-8%. 

Investasi di saham berpotensi bisa mendulang cuan 8,5% - 10% tahun depan. Namun bukan berarti risikonya nihil.

Secara makro risiko ketidakpastian masih terkait dengan perkembangan pandemi Covid-19 yang tak segera bisa dijinakkan, vaksinasi yang tersendat, perubahan kebijakan fiskal dan moneter secara tiba-tiba hingga berlanjutnya tren perang dagang.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular