Dolar AS Terbuang! Ini Deretan Mata Uang yang Bakal Cemerlang

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 December 2020 15:03
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) sedang tertekan belakangan ini, terlihat dari indeksnya yang terus menukik. Dimulainya vaksinasi virus corona di Eropa dan AS membuat sentimen pelaku pasar membaik, dan membuat dolar AS yang menyandang status safe haven menjadi kurang menarik.

Namun, penekan utama the greenback adalah stimulus moneter dan fiskal di AS.

Melansir data Refinitiv, indeks dolar AS kemarin merosot 0,71% ke 89,805, yang merupakan level terendah sejak April 2018. Sementara pada perdagangan hari ini, Jumat (18/12/2020) indeks dolar AS naik 0,13% ke 89,941. 


Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengumumkan kebijakan moneter Kamis dini hari. The Fed berkomitmen untuk menjalankan program pembelian aset (quantitative easing/QE) sampai pasar tenaga kerja AS kembali mencapai full employment dan inflasi konsisten di atas 2%.

Artinya kebijakan moneter ultra longgar masih akan dipertahankan dalam waktu yang lama. The Fed juga menegaskan akan menambah nilai QE jika perekonomian AS kembali melambat.

The Fed memberikan proyeksi inflasi yang dilihat dari belanja konsumsi personal (personal consumption expenditure/PCE) di tahun ini sebesar 1,2%, kemudian di tahun depan 1,8%. Artinya masih belum mencapai target di atas 2%, sehingga pada tahun depan kebijakan moneter yang diterapkan masih ultra longgar.

Besarnya QE yang sudah digelontorkan tercermin dari Balance Sheet The Fed yang menunjukkan nilai surat berharga yang dibeli melalui kebijakan quantitative easing. Semakin banyak jumlah aset yang dibeli, balance sheet The Fed akan membesar.

Di bulan Februari, sebelum virus corona menjadi pandemi, nilai Balance Sheet The Fed sekitar US$ 4,1 triliun, sementara posisi di 9 Desember sebesar US$ 7,2 triliun. Artinya selama pandemi ini, The Fed sudah membanjiri perekonomian AS dengan likuiditas lebih dari US$ 3 triliun.

Kebijakan tersebut terbilang sangat agresif, sebab saat krisis finansial melanda AS di tahun 2008 The Fed juga melakukan hal yang sama. Nilai Balance Sheet juga melonjak US$ 3 triliun, tetapi terjadi dalam tempo 3 tahun hingga 2011.

Dengan agresifnya The Fed membanjiri perekonomian AS dengan duit, maka wajar jika nilai dolar AS terus melemah. Secara teori, semakin banyak uang beredar maka nilai tukarnya akan semakin melemah.

Selain QE, The Fed juga berkomitmen mempertahankan suku bunga acuan <0,25% dalam waktu yang lama.

"Langkah-langkah ini akan memastikan kebijakan moneter akan terus memberikan dukungan yang kuat terhadap perekonomian sampai pemulihan tercapai," kata Ketua The Fed, Jerome Powell, saat konferensi pers, sebagaimana dilansir CNBC International.

Data dari Fed Dot Plot, yang menggambarkan proyeksi suku bunga para pembuat kebijakan (Federal Open Market Committee), menunjukkan suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023.

Alhasil, dolar AS masih akan tertekan setidaknya 2 tahun ke depan.

Euro dan poundsterling belakangan ini terus menguat melawan dolar AS. Selain dolar yang memang sedang tertekan, kedua mata uang tersebut juga sedang dinaungi sentimen positif.

Nilai tukar euro melemah 0,13% ke US$ 1,2250 pada perdagangan hari ini, tetapi masih berada di level tertinggi sejak April 2018, US$ 1,2273 yang dicapai Kamis kemarin. Sebelum hari ini, mata uang 19 negara ini sudah menguat 4 hari beruntun sebesar 1,3%,

Penguatan euro terjadi di tengah lonjakan kasus Covid-19, tetapi sektor manufaktur masih mampu mempertahankan ekspansi, bahkan lebih tinggi lagi.

Data dari Markit menunjukkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur Prancis sebesar 51,1 di bulan ini, naik dari bulan November sebesar 49,6. Sementara itu motor penggerak ekonomi Eropa, Jerman, PMI manufakturnya tercatat sebesar 58,6, lebih tinggi dari sebelumnya 57,8.

Untuk zona euro secara keseluruhan, PMI manufaktur tercatat sebesar 57,3, naik dari sebelumnya 55,6.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atasnya berarti ekspansi, sementara di bawah berarti kontraksi.

PMI manufaktur Jerman masih naik dari bulan sebelumnya. Hal tersebut menjadi kabar bagus di tengah lonjakan kasus yang dialami Jerman. Apalagi, PMI zona euro secara keseluruhan menunjukkan kenaikan, tentunya menjadi kabar gembira.

Kabar gembira lainnya datang perundingan keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau yang dikenal dengan Brexit hampir mencapai deal.

Untuk diketahui, Inggris saat ini masih dalam masa transisi Brexit yang berakhir pada 31 Desember nanti. Jika sampai batas waktu tersebut belum tercapai kesepakatan, maka akan terjadi hard Brexit yang ditakutkan membuat perekonomian Inggris merosot, dan menyeret Eropa.

Perundingan antara Inggris dan Uni Eropa akhirnya menemukan titik terang. Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen mengatakan sudah ada jalan menuju deal Brexit, dan beberapa hari ke depan akan menjadi penting.

"Saya dengan senang hati menyampaikan isu-isu terkait pemerintahan sebagian besar sudah terselesaikan. Beberapa hari ke depan akan menjadi hal yang menentukan," kata von der Leyen, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (16/12/2020).

Alhasil, nilai tukar poundsterling terus menguat, kemarin menyentuh level tertinggi sejak Mei 2018 setelah menguat 2,7% dalam 4 perdagangan terakhir. Sementara pada hari ini terkoreksi 0,24% di US$ 1,3550.

Koreksi euro dan poundsterling hari ini terbilang wajar setelah menguat 4 hari beruntun, apalagi posisinya di level tertinggi dalam lebih dari 2,5 tahun terakhir. Tentunya banyak yang tergiur mencairkan keuntungan alias melakukan aksi profit taking.

Meski demikian, mengingat dolar AS berisiko tertekan ke depannya, tentunya euro dan poundsterling berpotensi menguat lagi, dengan syarat ada deal Brexit. 

Selain mata uang Eropa, dolar Australia sebenarnya juga berjaya melawan dolar AS. Sejak ambrol ke bawah level US$ 0,56 pada pertengahan Maret lalu, Mata Uang Kanguru sudah meroket lebih dari 32%, dan menyentuh level tertinggi sejak Juni 2018 US$ 0,7639 kemarin.

Sementara pada perdagangan hari ini terkoreksi 0,26% di US$ 0,7601.

Dolar Australia belakangan ini terus menguat akibat membaiknya kondisi ekonomi. Biro Statistik Australia kemarin melaporkan tingkat pengangguran turun menjadi 6,8% dari bulan Oktober sebesar 7%. Selain itu, sepanjang bulan November terjadi perekrutan tenaga kerja sebanyak 70 ribu orang.

Data tersebut mengkonfirmasi membaiknya perekonomian Australia. Di awal bulan ini, bank sentralnya (Reserve Bank of Australia/RBA) menunjukkan optimisme terhadap kondisi perekonomian.

Pada hari Selasa (1/12/2020), RBA dalam pengumuman rapat kebijakan moneter hari ini mempertahankan suku bunga 0,1%.

Gubernur RBA, Philip Lowe, menunjukkan sikap optimis perekonomian Australia akan bangkit dari resesi yang terjadi untuk pertama kalinya dalam 3 dekade terakhir. Ia optimis dalam pemulihan ekonomi Australia, sebab perekonomian sudah dibuka kembali dan penambahan kasus baru penyakit virus corona (Covid-19) nyaris 0.

"Pemulihan ekonomi sedang berlangsung, dan data ekonomi yang dirilis belakangan ini lebih baik dari perkiraan sebelumnya," kata Lowe, sebagaimana dilansir Reuters.

"Ini adalah kabar bagus, tetapi pemulihan ekonomi masih belum terjadi secara menyeluruh, dan masih sangat tergantung dari dukungan kebijakan moneter dan fiskal," katanya.

Gubernur Lowe juga menegaskan suku bunga kemungkinan besar tidak akan dinaikkan hingga 3 tahun ke depan, dan siap menggelontorkan stimulus tambahan jika diperlukan.

Sejak dihantam pandemi Covid-19, RBA sudah memangkas suku bunga sebanyak 3 kali, serta menggelontorkan program pembelian aset (quantitative easing/QE). Sementara pemerintah Australia menggelontorkan stimulus fiskal senilai AU$ 300 miliar.

Selain itu, kenaikan harga bijih besi juga mendorong kenaikan dolar Australia. Bijih besi merupakan komoditas ekspor utama Australia, berkontribusi sekitar 15% dari total ekspor Australia, sehingga harganya yang melesat tentunya akan meningkatkan pendapatan ekspor.

CNBC International melaporkan harga bijih besi awal pekan ini di Dalian Commodity Exchange China, sudah melewati 1.000 yuan (US$ 152,95) per ton, yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular