Jakarta, CNBC Indonesia - Sesuai perkiraan, Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) terakhir 2020. Sepanjang tahun ini, MH Thamrin sudah memangkas BI 7 Day Reverse Repo Rate sebanyak 125 basis poin (bps).
Mengawali 2020, suku bunga acuan masih berada di 5%. Kini, suku bunga acuan sudah 3,75%.
Dibandingkan dengan bank sentral negara-negara tetangga, pemotongan suku bunga acuan di Indonesia lumayan agresif. Di antara negara-negara ASEAN, hanya bank sentral Filipina (Bangko Sentral ng Pilipinas/BSP) yang memangkas suku bunga acuan lebih dalam.
Namun kalau melihat negara maju, penurunan suku bunga acuan di Tanah Air belum ada apa-apanya. Di Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve/The Fed memangkas suku bunga cuan 150 bps.
Oleh karena itu, wajar jika muncul anggapan bahwa BI kurang agresif dalam menurunkan suku bunga acuan. Berkaca ke BSP dan The Fed, masih ada ruang untuk memotong BI 7 Day Reverse Repo Rate lebih dalam lagi.
HALAMAN SELANJUTNYA >> RUPIAH BAIK-BAIK SAJA
Ruang penurunan suku bunga acuan memang terbuka. Laju inflasi nasional sangat lemah, per November 2020 hanya 1,24% year-to-date dan 1,59% year-on-year. Masih di bawah target BI yaitu 2-4%.
Rupiah pun relatif aman, karena kebutuhan valas untuk impor berkurang seiring lemahnya permintaan domestik. Sejak akhir kuartal III-2020, rupiah perkasa dengan penguatan lebih dari 5% di hadapan dolar AS.
Memang ada kekhawatiran kalau suku bunga rendah maka berinvestasi di aset-aset keuangan Tanah Air (terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) akan kurang menarik. Cuan yang didapat investor berkurang, arus modal jadi seret, dan rupiah berisiko melemah.
Akan tetapi, sebenarnya berinvestasi di Indonesia masih relatif menarik kalau dibandingkan negara-negara lain. Misalnya di obligasi pemerintah, imbal hasil atau yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun saat ini berada di 6,037%. Dengan inflasi yang 1,59% YoY, maka keuntungan riil yang diterima investor adalah 4,447%.
Sedangkan yield obligasi pemerintah Filipina tenor 10 tahun adalah 3,079% dan inflasi di 3,3% YoY. Jadi berinvestasi di surat utang pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte bukannya untung malah buntung.
Oleh karena itu, investor (terutama asing) masih berkerumun di dekat SBN. Per 15 Desember 2020, kepemilikan asing di SBN mencapai Rp 973,62 triliun, tertinggi sejak Maret 2020.
Plus, kebutuhan valas korporasi di dalam negeri sedang rendah karena perlambatan impor seiring permintaan yang belum kuat. Sudah lebih dari setahun impor mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif).
HALAMAN SELANJUTNYA >> BUNGA KREDIT MASIH MAHAL
Apalagi ada kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang anjlok akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Saat ini Indonesia sedang menjalani resesi ekonomi, kali pertama sejak 1999.
Penurunan suku bunga acuan bisa memancing suku bunga kredit perbankan turun lebih dalam lagi. Rata-rata suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) bank komersial per Oktober 2020 ada di 9,32%. Memang turun dibandingkan posisi akhir 2019, tetapi hanya 71 bps.
Dalam periode yang sama, rerata suku bunga Kredit Investasi (KI) dan Kredir Konsumsi (KK) turun masing-masing 89 bps dan 57 bps. Lagi-lagi masih di bawah penurunan suku bunga acuan.
Andai suku bunga acuan turun lagi, maka suku bunga kredit perbankan bisa turun lebih dalam. Saat suku bunga semakin murah, maka rumah tangga dan dunia usaha akan tertarik untuk mengakses kredit dan melakukan ekspansi. Konsumsi rumah tangga dan investasi akan tumbuh, sehingga mendongrak Produk Domestik Bruto (PDB) secara keseluruhan.
TIM RISET CNBC INDONESIA