2020 Dekati Akhir, Rupiah Tertinggal Jauh di Belakang

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
11 December 2020 18:52
ilustrasi uang
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat 0,14% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.070/US$ sepanjang pekan ini. Selain itu jika melihat ke belakang, kinerja rupiah terbilang impresif, dalam 11 pekan terakhir, hanya pada pekan lalu yang melemah, sekali stagnan, dan sisanya menguat.

Selama periode tersebut, rupiah membukukan penguatan 5,22%. Terlihat cukup impresif, tetapi jika dilihat sejak awal tahun atau secara year-to-date (YtD) rupiah tercatat masih melemah 1,37% ytd.

Dibandingkan mata uang utama Asia lainnya, rupiah menjadi mata uang terburuk kedua, hanya lebih baik dari rupee India yang melemah 3,27% ytd. Selain rupiah dan rupee, baht Thailand melemah 1,11% ytd, sementara mata uang lainnya sudah membukukan penguatan.

Yuan China menjadi mata uang dengan kinerja terbaik dengan penguatan lebih dari 6% ytd. Dolar Taiwan, won Korea Selatan, dan peso Filipina semuanya menguat lebih dari 5%.

Salah satu penyebab rupiah tertinggal dibandingkan mata uang lainnya adalah kasus penyakit virus corona (Covid-19) yang masih terus menanjak di Indoesia. Sejak awal diserang virus corona, bisa dikatakan tren penambahan kasus belum pernah melambai secara signifikan.

Total kasus Covid-19 di Indonesia hingga saat ini sebanyak 605.243 kasus, terbanyak kedua setelah India yang nyaris mencapai 9,8 juta kasus. Jika dilihat kasus aktifnya, Indonesia juga berada di urutan kedua sebanyak 89.846 kasus, di bawah India yang lebih dari 360 ribu kasus aktif.

Sementara negara-negara lainnya, bisa dikatakan sukses mengendalikan penyebaran virus corona, meski belakangan kebali terjadi lonjakan kasus, seperti di Korea Selatan misalnya. Melansir data dari Worldometer, pada Kamis (10/12/2020) kemarin jumlah kasus Covid-19 bertambah sebanyak 682 kasus, menjadi penambahan tertinggi sejak 3 Maret lalu, saat terjadi penambahan sebanyak 851 kasus.

Itu artinya, penambahan kasus kemarin menjadi rekor terbanyak kedua. Lonjakan kasus Covid-19 di Negeri Kpop ini mulai terjadi sejak pertengahan November lalu.

Meski demikian, mata uang won Korsel tetap saja perkasa. Sementara rupiah, memang menunjukkan tren positif dalam beberapa pekan terakhir, tetapi masih belum mampu untuk kembali menguat secara year-to-date.

Pelaku pasar masih was-was akan kemungkinan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kembali diketatkan, sebab tren kenaikan kasus Covid-19 belakangan ini melonjak.

Pada Kamis (3/12/2020) kasus Covid-19 mencatat rekor penambahan di atas 8.000 per hari, dan setelahnya beberapa kali di atas 6.000 kasus, termasuk 3 hari terakhir, termasuk hari ini yang bertambah 6.310 kasus. Rata-rata penambahan kasus dalam 2 pekan terakhir naik menjadi 1,06%, dari 2 pekan sebelumnya 0,95%.

Efek negatif pengetatan PSBB ke perekomoian sangat terlihat. Pada pertengahan September lalu, pemerintah provinsi DKI Jakarta kembali mengetatkan PSBB selama 1 bulan. Alhasil, sektor manufaktur yang baru saja pulih di bulan Agustus kembali mengalami kontraksi 2 bulan beruntun, sebelum berekspansi lagi di bulan November.

Aktivitas manufaktur bisa dilihat dari purchasing managers' index (PMI) dengan angka 50 sebagai ambang batas. Di atasnya berarti ekspansi, sementara di bawah 50 berarti kontraksi.

Sektor manufaktur berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB) sekitar 19%, sehingga jika mengalami kontraksi maka pemulihan ekonomi akan semakin lambat.
Alhasil, rupiah sulit untuk mencatat penguatan di tahun ini selama kasus Covid-19 masih terus menanjak.

Setelah nyaris satu dekade lamanya, transaksi berjalan (current account) Indonesia akhirnya mencatat surplus lagi di kuartal III-2020.

Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada periode Juli-September kembali mencatat surplus US$ 2,1 miliar. Transaksi berjalan, yang sebelumnya selalu membuat NPI tekor, kini turut menyumbang surplus.

"NPI mencatat surplus sebesar US$ 2,1 miliar pada triwulan III 2020, melanjutkan capaian surplus sebesar US$ 9,2 miliar pada triwulan sebelumnya. Surplus NPI yang berlanjut tersebut didukung oleh surplus transaksi berjalan maupun transaksi modal dan finansial," sebut keterangan tertulis Bank Indonesia (BI), Jumat (20/11/2020).

Pada kuartal III-2020, pos transaksi modal dan finansial dalam NPI mencatat surplus US$ 1 miliar, atau 0,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB), menurun jauh dibandingkan kuartal sebelumnya US$ 10,6 miliar atau 4,3% dari PDB.

Sementara itu pos NPI yang selalu menjadi perhatian, transaksi berjalan, mencatat surplus sebesar US$ 1 atau 0,4% dari PDB, setelah mengalami defisit US$ 2,9 miliar atau 1,2% dari PDB di kuartal sebelumnya.

Surplus transaksi berjalan ditopang oleh surplus neraca barang seiring dengan perbaikan kinerja ekspor di tengah masih tertahannya kegiatan impor sejalan dengan permintaan domestik yang belum kuat.

Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus persis sembilan tahun lalu, yakni kuartal III-2011. Setelahnya, transaksi berjalan terus defisit sehingga kita terbiasa dengan istilah CAD (Current Account Deficit).

CAD menjadi "hantu" bagi perekonomian Indonesia. Kala defisit membengkak, Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga guna menarik hot money di pos transaksi modal dan finansial sehingga diharapkan dapat mengimbangi defisit transaksi berjalan. Hal tersebut menjadi penting guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Namun, kala suku bunga dinaikkan, suku bunga perbankan tentunya ikut naik, sehingga beban yang ditanggung dunia usaha hingga rumah tangga akan menjadi lebih besar. Akibatnya, investasi hingga konsumsi rumah tangga akan melemah, dan roda perekonomian menjadi melambat.

Kini dengan transaksi berjalan yang mencetak surplus, tidak serta merta membuat rupiah perkasa kembali. Sebab, surplus berhasil dicapai akibat pandemi Covid-19, yang merupakan tragedi bagi umat manusia.

Kebijakan PSBB yang ketat membuat roda perekonomian merosot tajam, sehingga impor menjadi anjlok. Anjloknya impor tersebut menjadi pemicu surplus transaksi berjalan. Sehingga ke depannya, jika roda bisnis kembali berputar kencang, impor kembali deras, maka "hantu" CAD akan datang lagi.

Dengan kata lain, surplus transaksi berjalan kemungkinan tidak akan bertahan lama.

Kabar kurang sedap lainnya datang dari survei terbaru Reuters. Daya tarik rupiah dimata pelaku pasar kian meredup, sementara won Korea Selatan menjadi yang paling bersinar saat ini dibandingkan mata uang utama Asia lainnya.

Survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters menunjukkan posisi long (beli) rupiah terhadap dolar AS menurun dibandingkan dua pekan lalu, sementara posisi long won justru melesat naik.

Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi long (beli) terhadap dolar AS dan short (jual) terhadap rupiah/won. Begitu juga sebaliknya, angka negatif berarti mengambil posisi short (jual) terhadap dolar AS dan long (beli) terhadap rupiah/won.

Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (10/12/2020) kemarin untuk rupiah menunjukkan angka -0,61, turun dari 2 pekan lalu -0,92. Sementara untuk won naik menjadi -1,68 dari sebelumnya -1,29. Won kini

Semakin tinggi angka negatif artinya pelaku pasar semakin banyak mengambil posisi long. Won kini menjadi mata uang Asia yang paling banyak diborong, mengalahkan yuan China yang dua pekan lalu menjadi yang teratas.

Survei dari Reuters tersebut tersebut konsisten dengan pergerakan rupiah begitu juga won di tahun ini. kala angka positif maka rupiah cenderung melemah, begitu juga sebaliknya.

Di bulan Januari saat hasil survei menunjukkan angka -0,86 untuk rupiah, dan menjadi yang tertinggi dibandingkan mata uang Asia lainnya. Won juga kalah jauh dengan angka -0,22. Alhasil rupiah terus menguat melawan dolar AS. Pada 24 Januari, rupiah membukukan penguatan 2,27% secara year-to-date (YtD), dan menjadi mata uang terbaik di dunia kala itu. Di saat yang sama, won justru melemah 1,31%.

Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi short rupiah, dengan angka survei yang dirilis Reuters sebesar 1,57. Semakin tinggi nilai positif, semakin besar posisi short rupiah yang diambil investor. Rupiah pun ambruk nyaris 20% Ytd ke ke Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998. Hal yang sama juga terjadi dengan won, tetapi angka survei lebih rendah, sebesar 1,22%, dan kemerosotan won melawan dolar AS juga tidak sebesar rupiah.

Kini dengan angka survei kembali negatif, artinya ada peluang rupiah dan won akan kembali menguat, tetapi won jauh lebih unggul. Apalagi, dengan angka negatif untuk rupiah yang semakin mengecil, artinya daya tarik rupiah semakin meredup, sementara won semakin bersinar.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular