Jakarta, CNBC Indonesia - Lira, mata uang Turki, sedang mengalami kondisi yang aneh. Mata uang ini tengah menjadi incaran investor asing, tetapi malah dihindari oleh rakyatnya sendiri.
Dalam sebulan terakhir, mata uang negara yang dipimpin Presiden Recep Tayyip Erdogan ini menguat 4,3% di hadapan dolar AS. Lira berangsur-angsur bangkit setelah anjlok 12,64% di hadapan greenback sepanjang kuartal III-2020. Sejak akhir tahun lalu hingga pekan ini, lira masih ambles 31,7%.
Lira menjadi buruan investor asing setelah Bank Sentral Turki (TCMB) mendongkrak suku bunga acuan. Pada September 2020, TCMB menaikkan suku bunga acuan dari 8,25% menjadi 10,25% alias 200 basis poin (bps).
Pelaku pasar memperkirakan suku bunga acuan Turki masih bisa naik lagi. Kieran Curtis, Emerging Markets Portoflio Manager di Aberdeen Standard Investement, memperkirakan suku bunga acuan bisa naik 50 bps lagi agar menarik semakin banyak arus modal asing.
"Kami melihat bank sentral Turki akan menempuh langkah ortodoks untuk menjaga nilai tukar lira. Salah satunya tentu dengan menaikkan suku bunga," sebut Curtis, seperti dikutip dari Reuters.
Meski diborong asing, rakyat Turki sendiri malah seolah tidak percaya kepada mata uangnya. Pekan ini, rumah tangga dan korporasi di Negeri Kebab membeli mata uang keras (hard currency) seperti dolar AS, euro, poundsterling Inggris, franc Swiss, dolar Kanada, dan sebagainya senilai US$ 2,5 miliar. Berbagai mata uang tersebut memang sudah 'murah' karena penguatan lira yang begitu tajam.
Tidak hanya itu, orang-orang Turki juga memborong emas. Per akhir bulan lalu, TCMB mencatat kepemilkan valas dan emas di dalam negeri mencapai US$ 221,04 miliar. Ini adalah rekor tertinggi sepanjang sejarah.
"Kami sudah meminta klien untuk berada di posisi beli (long) terhadap lira. Namun yang ada, warga lokal malah membeli emas dan valas sekitar US$ 4 miliar hanya dalam dua pekan," kata seorang wealth manager di Turki, seperti dikutip dari Reuters.
Salah satu penyebab minimnya kepercayaan rakyat Turki terhadap mata uangnya sendiri adalah inflasi yang gila-gilaan. Per Oktober 2020, inflasi Turki mencapai nyaris 12% year-on-year (YoY).
Inflasi yang tinggi berarti nilai uang menyusut. Uang yang bulan ini cukup untuk membeli beras 1 kg, bulan depan mungkin hanya bisa ditukar dengan 0,5 kg.
Adalah rakyat yang paling menderita karena inflasi, bukan investor di pasar keuangan. Rakyat yang membeli sembako untuk kebutuhan sehari-hari, untuk bertahan hidup, tentu sangat merasakan dampak inflasi. Dompet dan saku rakyat bolong, dicopet oleh inflasi.
Bagi investor, inflasi adalah urusan cuan atau bocuan. Namun bagi rakyat, inflasi bisa menentukan hidup atau mati.
Oleh karena itu,wajar rakyat Turki kurang percaya dengan mata uangnya. Dalam situasi seperti ini, lebih baik mengoleksi aset yang lebih bisa dipercaya yaitu valas dan emas.
TIM RISET CNBC INDONESIA