Indeks "Ketakutan" Turun 44%, Tanda Harga Emas Akan Longsor?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
26 November 2020 18:15
Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia menguat hingga perdagangan sesi Eropa Kamis (24/11/2020) setelah ambrol pada Selasa dan Rabu lalu, sementara kemarin turun tipis. Membaiknya sentimen pelaku pasar merespon perkembangan vaksin virus corona (Covid-19) serta dimulainya transisi pemerintahan di AS menjadi pemicu ambrolnya harga logam mulia.

Melansir data Refinitiv, pada pukul 16:46 WIB, emas diperdagangkan di kisaran US$ 1.813,7/troy ons, menguat 0,47% di pasar spot. Sementara dalam 3 hari terakhir, emas ambrol 3,5%.

Membaiknya sentimen pelaku pasar terlihat dari indeks volatitas (VIX) yang ambrol hingga 44% sepanjang bulan November. VIX sering disebut sebagai indeks "ketakutan", semakin tinggi nilainya artinya pasar semakin "takut" untuk masuk ke aset-aset berisiko, begitu juga sebaliknya.

VIX kini berada di kisaran 21, terendah sejak akhir Februari lalu, atau sebelum pandemi penyakit virus corona (Covid-19) menyerang dunia.

Saat indeks "ketakutan" ini terus menurun artinya pelaku pasar semakin agresif memborong aset-aset berisiko, terbukti bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa, indeks Dow Jones untuk pertama kalinya ke atas level 30.000 di pekan ini.

Di saat yang sama, harga emas juga ambrol 3 hari terakhir. Wajar saja, emas merupakan aset aman (safe haven) dan tanpa imbal hasil, saat sentimen pelaku pasar membaik, "ketakutan" menurun, tentunya investasi dialirkan ke aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi. Emas menjadi tidak menarik lagi.

Sebelum memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa US$ 2.072,49/troy ons pada 7 Agustus lalu, rekor sebelumnya dicapai pada 6 September 2011 di US$ 1.920,3/troy ons.

Sebelum mencapai rekor di tahun 2011, emas mulai menanjak sejak tahun 2008 kala terjadi krisis finansial global. Yang menarik pada bulan Oktober 2008 saat indeks "ketakutan" terbang tinggi ke atas level 80, harga emas justru merosot lebih dari 16%.

xauGrafik: VIX dan Emas (2008-2015)
Foto: Refinitiv

Setelahnya emas baru perlahan mulai menanjak hingga mencapai rekor tertinggi sepanjang masa pada September 2011. Pergerakan emas saat itu juga seirama dengan VIX, kala indeks "ketakutan" tersebut naik, emas juga ikut naik.

Pasca 2011, VIX mulai menurun bahkan ke bawah level 20, harga emas pun ikut ambrol hingga ke bawah US$ 1.100/troy ons di tahun 2015.

xauGrafik: VIX dan Emas (2020)
Foto: Refinitiv

Nah, yang menarik, pergerakan VIX dan emas di tahun ini mirip dengan periode 2008 hingga 2011. Di bulan Maret lalu saat VIX melesat lagi ke 80, harga emas ambrol. Setelahnya, emas mulai bergerak naik hingga memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa di bulan Agustus lalu.

Kini dengan indeks "ketakutan" yang menurun tajam, tentunya ada risiko harga emas akan longsor jika berkaca dari pergerakannya di tahun 2011.

Harga emas sebenarnya sudah mulai menurun sejak mencapai rekor tertinggi sepanjang masa bulan Agustus lalu. Tetapi para analis yang tetap mempertahankan proyeksinya emas akan terus menguat bahkan memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa lagi.

Tetapi arah angin mulai mengendur, Bank of America BoA kini memberikan outlook netral terhadap emas, dari sebelumnya bullish (tren naik) dan memprediksi harga emas akan mencapai US$ 3.000/troy ons.

Dalam presentasi prospek 2021 BoA, Francisco Blanch, kepala penelitian komoditas & derivatif global, dan Michael Widmer, ahli strategi logam di bank, mengumumkan perubahan signifikan dalam perkiraan emas mereka untuk 2021. Bank tidak lagi memprediksi harga mencapai US$ 3.000/troy ons.

"Kami sekarang netral terhadap emas. Kami melihat emas berisiko tertekan akibat kenaikan suku bunga dalam jangka panjang," kata Blanch sebagaimana dilansir Kitco.

Meski demikian Blanch melihat harga emas masih akan mampu kembali ke atas US$2.000/troy ons lagi.

"Ketika ekonomi global terbuka, emas menghadapi lebih banyak tantangan, membuatnya sulit untuk mencapai US$ 3.000/oz, tetapi stimulus fiskal dan moneter yang sedang berlangsung akan mendorong logam kuning ke atas US$ 2.000 /troy ons lagi," katanya.

Jika BoA memberikan outlook netral untuk emas, Carley Garner, founder perusahaan broker DeCarley Trading justru memberikan proyeksi bearish (tren turun). Carley melihat pelemahan dolar AS sudah selesai dan emas berisiko turun ke US$ 1.500/troy ons.

"Saya pikir pelemahan dolar AS sudah mencapai dasarnya jadi penguatan emas sudah berakhir," kata Garner sebagaimana dilansir Kitco, Rabu (11/11/2020).

Garner melihat, meski bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) tidak akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat, tetapi di Eropa yield sudah negatif yang membuat aliran modal akan masuk ke AS.

"The Fed diperkirakan tidak akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat, tetapi dengan tingkat suku bunganya saat ini (0,25%) masih lebih tinggi ketimbang Eropa dimana yield-nya negatif. Saya pikir akan banyak investasi masuk ke AS untuk membeli obligasi dan mungkin saham. Itu akan menahan penurunan dolar," tambahnya.

Menurutnya, dalam suatu waktu di tahun depan emas akan menyentuh US$ 1.500/troy ons.

"Emas perlu waktu untuk sampai disana (US$ 1.500/troy ons), tetapi pada suatu waktu di tahun depan, mungkin di kuartal I, atau mungkin di kuartal II, saat pikir saat itu," kata Garner.


Sementara itu, Ole Hansen, kepala strategi komoditas di Saxo Bank mengatakan periode penguatan emas masih belum berakhir.

"Penguatan emas masih belum berakhir, ini hanya tertahan untuk sementara saat pelaku pasar menanti bagaimana kinerja ekonomi," kata Hansen

Menurun Hansen, emas berisiko melanjutkan penurunan akibat perkembangan vaksin virus corona yang membuat pelaku pasar kembali masuk ke aset-aset berisiko. Tetapi, Hansen masih tetap bullish terhadap emas, meski tidak akan buru-buru melakukan aksi beli.

"Saya masih bullish terhadap emas, tetapi saya tidak akan buru-buru melakukan aksi beli. Ketika harga emas turun ke bawah US$ 1.850 dan menguji rerata pergerakan 200 hari, itu akan menjadi peluang beli untuk saya," kata Hansen.

Emas kemarin sudah menyentuh rerata pergerakan 200 hari di kisaran US$ 1.800/troy ons.

Presiden dari Blue Line Futures Bill Baruch juga masih cenderung bullish terhadap emas. Dalam wawancaranya dengan Kitco News, ia memperkirakan harga emas masih bisa tembus ke US$ 2.300/troy ons.

"Saat emas mendekati level US$ 1.800 per ons, sekarang akan menjadi saat yang tepat untuk perlahan-lahan membangun posisi long (beli) menuju US$ 2.300, yang masih dalam kartu untuk tahun 2021" katanya.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular