Jakarta, CNBC Indonesia - Dampak pandemi covid-19 di pasar keuangan tampaknya masih terasa. Kasus gagal bayar kembali muncul, kali ini menimpa nasabah PT Indosterling Optima Investa (IOI), salah satu entitas di bawah Grup Indosterling Capital yang dibangun oleh Sean William Hanley.
IOI gagal bayar untuk produk Indosterling High Yield Promissory Notes (HYPN). Produk investasi ini menjanjikan imbal hasil atau return investasi 9% hingga 12% setiap tahun.
Gagal bayar ini membuat nasabah mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Namun ada juga nasabah yang menempuh jalur pidana dengan mengadukan masalah ini ke Bareskrim Polri.
Lalu banyak yang bertanya siapa sebenarnya Grup Indosterling? Grup usaha ini merupakan perusahaan yang bergerak di jasa keuangan yang
Selain IOI, grup ini juga punya perusahaan manajer investasi dan start up dibidang teknologi.
Manajer investasi Indosterling adalah PT Indosterling Aset Manajemen (IAM) yang baru beroperasi dengan Pendaftaran dan Pengawasan OJK sejak 30 November 2018.
IAM saat itu menawarkan dua jenis instrumen investasi, yakni Reksa Dana Indosterling Pasar Uang dan Reksa Dana lndoSterling Ekuitas Likuid Plus. Perusahaan juga berencana menerbitkan ETF (exchanged traded fund) atau reksa dana yang bisa diperdagangkan di bursa dan reksa dana berbasis (underlying) obligasi.
Lalu Grup Indosterling juga memilik perusahaan startup teknologi dengan nama PT Indosterling Technomedia Tbk (TECH). Perusahaan ini baru tercatat di Bursa Efek Indonesia pada 4 Juni 2020.
William Heanley tercatat sebagai komisaris utama di perusahaan ini, yang engembangkan portofolio dari berbagai teknologi informasi (TI) dan perusahaan digital, serta melayani beragam pasar B2B.
Nilai aset perusahaan ini tercatat mencapai Rp 60,48 miliar. Pada kuartal III-2020, perusahaan ini tercatat membukukan laba bersih Rp 762,89 juta.
Seperti diketahui Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah menetapkan Direktur Utama PT Indosterling Optima Investa(IOI), Sean William Henley sebagai tersangka. Penetapan tersangka ini diduga karena buntut dari kasus gagal bayar atas produk High Yield Promissory Notes (HYPN).
Kuasa hukum William Henley, Hardodi dari HD Law Firm memang membenarkan kliennya ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri Cq Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus pada 30 September 2020 lalu.
Informasi ini juga disampaikan di keterbukaan informasi dengan Nomor: S-06953/BEI.PP1/11-2020. Hal ini mengingat William Henley adalah Komisaris dari PT Indosterling Technomedia Tbk(TECH), anak usaha dari PT Indosterling Sarana Investa.
Saat ini, perkembangan proses hukum tersebut telah memasuki tahap penyidikan.
Namun, penetapan tersangka tersebut bukan berarti kliennya telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilaporkan oleh pelapor.
Sebab, menurutnya, dalam penegakan hukum di Indonesia, ada asas praduga tidak bersalah yang diatur dalam Penjelasan Umum KUHAP butir 3 huruf c dan di dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Adapun, upaya hukum yang saat ini sedang ditempuh tim kuasa hukum adalah menyelesaikan kewajiban melalui putusan homologasi kepada nasabah melalui putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.174/PDT-SUS/PKPU/2020/PN.NIAGA.JKT.PST pada 2 Agustus 2020.
Selanjutnya, langkah lainnya ialah mengikuti proses hukum sesuai hukum acara pidana dan melakukan pendekatan dengan nasabah yang tidak terkait dengan putusan PKPU secara persuasif.
"Kami juga menyiapkan langkah hukum praperadilan," kata Hardodi, dalam suratnya yang diterima CNBC Indonesia, Senin (16/11/2020).
Adapun dalam keterbukaan informasi diBEI, disebutkan, "upaya hukum yang telah ditempuh oleh Sean William Henley adalah menyelesaikan kewajiban kepada para kreditor yang telah diputus dalam putusan perkara PKPU, dengan telah mempunyaikekuatan hukum tetap sebagaimana dijelaskan pada lampiran suratdari kuasa hukum nomor Ref_19/HD/LTR/XI/2020."
CNBC Indonesia sudah mengonfirmasi mengenai gagal bayar ini kepada William Henley, namun ia menolak berkomentar dan menyarankan agar menghubungi kuasa hukumnya.
Sebelumnya pada akhir Mei lalu, Indosterling Grup, menyampaikan skema restrukturisasasi atas produk High Yield Promissory Notes (HYPN). Dalam dokumen yang diperoleh CNBC Indonesia, skema ini disampaikan kepada pemegang HYPN mengacu pada surat yang disampaikan manajemen pada 14 Mei 2020 perihal pemberitahuan rencana restrukturisasi.
Dalam surat yang diteken Direktur PT Indosterling Optima Investa, William Henley pada 26 Mei 2020 disebutkan, untuk kontrak HYPN dengan nominal di bawah Rp 1 miliar, maka kupon akan dibayarkan setiap bulan sebesar 3,5% dari dana pokok untuk periode 12 bulan.
Selanjutnya, untuk kontrak promissory notes dengan dengan nilai nominal di atas Rp 1 miliar, kupon yang dibayarkan 4% dari dana pokok untuk periode 12 bulan.
"Setelah melewati masa 12 bulan, besaran kupon yang menjadi hak pemegang HYPN akan disesuaikan jika kondisi perusahaan yang membaik," bunyi pengumuman tersebut, dikutip Jumat (29/5/2020).
Sementara itu, untuk pokok HYPN, akan diperpanjang dengan jangka waktu selama 12 bulan dan dilakukan penyesuaian perpanjangan lebih lanjut bila kondisi perusahaan belum kembali normal.
Alasan gagal bayar IOI ini membuat perkara ini berlanjut melalui permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
"Kalau menurutPKPU, nasabahIndosterlingmencapai 1.200-2.000 orang, dengan total dana dihimpun kurang lebih Rp 2-3 triliun. Tapi berdasarkan terlaporbilangnyaRp 1,99 triliun," kata Pengacara sejumlah nasabah IOI, Andreas, dilansir Detikfinance, Senin (16/11/2020).
Pengacara dari Kantor Hukum Eternity Global Lawfirm itu menaungi 58 nasabah IOI dengan total kepemilikan dana di produk investasi HYPN sebanyak Rp 95 miliar.
Klien Andreas memilih tidak ikut dalam PKPU. Mereka memilih jalur pidana dengan melaporkan ke Bareskrim Polri sejak 6 Juli 2020. Ada 3 pihak yang dilaporkan yakni PT IOI, SWH (Sean WilliamHanley) selaku direktur dan JBP (Juli Berliana Posman) selaku komisaris.
"PKPUsudah putus cuma klien saya itu tidak ikut diPKPU-nya. mereka lebih memilih jalur pidana," katanya lagi.
"Kalau PKPU-kan bisa aset itu kalau pailit, kalau tidak ya akan lama. Mereka menawarkan pencairan kalau tidak salah 4-7 tahun. Klien saya tidak mau, mereka maunya sesuai perjanjian saja, atau minimal kembalikan sekian sisanya boleh pakai aset," terangnya.