Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang negara-negara Skandinavia, atau negara-negara di semenanjung bagian utara Eropa, menjadi mata uang terbaik menjelang berakhirnya tahun 2020.
Sepanjang tahun ini, puncak pimpinan mata uang dengan kinerja terbaik beberapa kali mengalami perubahan.
Di awal tahun, mata uang emerging market (negara berkembang) yang mendominasi, rupiah menjadi yang terbaik dengan penguatan lebih dari 2% melawan dolar AS di bulan Januari lalu.
Rupiah saat itu digadang-gadang bakal bersinar di tahun ini.
Tetapi semua berubah saat virus corona menyerang dunia rupiah kini berada di urutan ke 26 mata uang, dengan pelemahan sekitar 2%.
Di bulan Maret aksi jual besar-besaran terjadi di semua aset, mulai dari saham hingga emas, hingga muncul istilah "cash is the king".
Saat itu dolar AS tentunya yang paling berjaya, berserta mata uang yang menyandang status safe haven seperti yen Jepang. Nyaris semua mata uang dibuat jeblok oleh dolar AS dan yen Jepang.
Setelah aksi jual mereda, posisi kembali bergeser, euro melesat ke puncak "klasemen" mata uang. Sebabnya negara-negara di kawasan zona euro sukses meredam penyebaran penyakit akibat virus corona (Covid-19), dan akan memimpin pemulihan ekonomi.
Kini posisi euro sudah melorot ke posisi 4 mata uang terbaik di dunia akibat lonjakan kasus Covid-19 di blok 19 negara tersebut, yang menyebabkan beberapa negara kembali menerapkan kebijakan lockdown.
Pemulihan ekonomi diperkirakan akan terganggu. Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) juga memberikan indikasi akan menggelontorkan stimulus moneter tambahan, yang membuat kurs euro tertekan.
Posisi euro kini digantikan oleh krona Swedia. Melansir data Refinitiv, krona Swedia sepanjang tahun ini (year-to-date/YtD) membukukan penguatan 7,5% melawan dolar AS, dan berada di level terkuat sejak Juni 2018.
Mata uang negara Skandinavia lainnya, krona Denmark membukukan penguatan 6,1% YtD, dan berada di posisi ketiga.
Sebelum mengalami lonjakan kasus Covid-19 sejak bulan Oktober lalu, Swedia menjadi salah satu negara yang sukses meredam penyebaran virus yang berasal dari kota Wuhan China tersebut.
Melansir data dari CEIC, pada 11 November lalu, jumlah kasus baru bertambah sebanyak 3.419 orang. Rata-rata penambahan kasus bulan sejak Oktober hingga 11 November lalu sekitar 1600 orang, bandingkan dengan rata-rata Agustus hingga September lalu yang sekitar 270 orang.
Kesuksesan meredam Covid-19 tersebut menjadi salah satu penopang penguatan krona. Tetapi, faktor utama penguatan krona di tahun ini adalah statusnya sebagai mata uang "risk-on", alias mata uang yang diburu saat sentimen pelaku pasar membaik.
Perekonomian global yang mulai pulih di kuartal III-2020 dari kemerosotan tiga bulan sebelumnya membuat sentimen pelaku pasar membaik, krona pun perlahan terus menguat.
Penguatan krona semakin terakselerasi sejak pekan lalu. Melansir data Refinitiv, krona Swedia hari ini menguat 0,15% di 8,6086, sementara sejak pekan lalu sudah melesat lebih dari 3%.
Penyebabnya sudah jelas, membaiknya sentimen pelaku pasar merespon hasil pemilihan presiden AS yang menunjukkan kemenangan Joseph 'Joe' Biden dari Partai Demokrat, melawan petahana dari Partai Republik, Donald Trump.
Kemenangan Biden dianggap dapat memberikan stabilitas di pasar, kemudian perang dagang AS-China kemungkinan akan berakhir atau setidaknya tidak memburuk. Selain itu, stimulus fiskal juga akan lebih besar ketimbang yang akan digelontorkan Trump dan Partai Republik.
Selain itu, vaksin virus corona dari Pfizer yang dilaporkan mampu menangkal virus hingga lebih dari 90% membuat pelaku pasar semakin ceria.
"Hasil pertama dari uji klinis fase tiga uji vaksin mengindikasikan kemampuan vaksin kami untuk mencegah Covid-19," Chairman & CEO Pfizer Albert Bourla dalam pernyataannya, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (9/11/2020).
Alhasil, sentimen pelaku pasar terus membaik, dan krona Swedia melesat.
"Krona Swedia dilabeli sebagai mata uang yang tergantung dari sentimen terhadap risiko, dan kita pasti akan melihat apresiasi saat sentimen terhadap risiko pulih," kata Richard Falkenhall, ahli strategi valuta asing senior di Skandinaviska Enskilda Banken (SEB) Group, sebagaimana dilansir poundsterlinglive.
Falkenhall memprediksi, krona masih akan menguat sebab masih undervalue sekitar 7%.
TIM RISET CNBC INDONESIA