Biden Menang & Vaksin Pfizer Sukses, Saatnya Lepas Dolar AS?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 November 2020 17:12
dollar
Foto: REUTERS/Dado Ruvic/Illustration

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) sedang tertekan sejak pekan lalu akibat hasil pemilihan presiden (pilpres) yang menunjukkan kenangan Joseph 'Joe' Biden dari Partai Demokrat melawan petahana dari Partai Republik, Donald Trump.

Ada anggapan di pasar, jika Biden memenangi pemilihan umum, maka dolar AS akan melemah. Sementara jika Trump lanjut 2 periode, maka dolar AS akan menguat.

Sebabnya, jika Biden menang maka perang dagang AS-China kemungkinan akan berakhir, atau setidaknya tidak lebih buruk dari saat ini. Saat itu terjadi, sentimen pelaku pasar akan terus membaik, dan daya tarik dolar AS sebagai aset safe haven akan meredup.

Alhasil, indeks dolar AS, yang mengukur kekuatan mata uang Paman Sam saat ini berada di dekat level terendah dalam lebih dari 2 tahun terakhir. 

Sebaliknya, jika Trump menang maka ada risiko perang dagang akan memburuk, yang bisa meningkatkan permintaan terhadap dolar AS.

Kemudian dari sisi stimulus fiskal guna menanggulangi pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Biden akan menggelontorkan nilai yang lebih besar ketimbang Trump.

Nancy Pelosi, Ketua House of Representative (DPR) dari Partai Demokrat sebelumnya mengajukan stimulus fiskal dengan nilai US$ 2,2 triliun, yang tidak disepakati oleh Pemerintahan Trump, dan ditolak oleh Partai Republik.

Semakin besar stimulus artinya semakin banyak uang yang beredar di perekonomian, secara teori dolar AS akan melemah.

Sementara Pemerintahan Trump sebelumnya mengajukan nilai stimulus senilai US$ 1,8 triliun itu pun tidak disetujui oleh partainya sendiri, Republik karena dianggap terlalu besar.

Masih terkait hasil pilpres dan dolar AS, hasil survei Reuters menunjukkan jika aksi jual (short) mata uang Paman Sam masih akan terus berlangsung setelah perhelatan akbar 4 tahun sekali tersebut.

Survei yang dilakukan pada 27 Oktober hingga 2 November menunjukkan sebanyak 29 dari 42 analis atau sekitar 70% mengatakan posisi jual (short) dolar AS masih akan tetap sama atau malah meningkat setelah pilpres usai.

Selain itu, 39 dari 60 analis mengatakan pergerakan dolar AS akan lebih tergantung dari hasil pilpres ketimbang penyebaran penyakit virus corona (Covid-19).

"Pergerakan dolar AS jelas tergantung dari hasil pilpres, tetapi yang terlihat adalah... ruang penguatan dolar AS yang sangat kecil, dan ketika itu terjadi, penguatan dolar AS akan dianggap sebagai peluang melakukan aksi jual," kata Steve Englander, kepala riset mata uang G10 di Standar Chartered, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (3/11/2020).

Sebanyak 25 dari 57 analis yang disurvei Reuters juga menyatakan dolar AS akan menguat seandainya Donald Trump terpilih kembali sebagai presiden.

Kemudian survei yang lebih terhadap lebih dari 70 analis mata uang menunjukkan dolar AS akan melemah melawan mata uang utama di tahun depan.

Analis dari Citi memprediksi kemenangan Joe Biden ke depannya dolar AS akan melemah dan mata uang emerging market akan menjadi yang paling diuntungkan.

Alasannya, seperti yang disebutkan sebelumnya, perang dagang dengan China kemungkinan akan berakhir, selain itu pemerintahan akan kembali konvensional.

"Mungkin perdagangan internasional yang paling terlihat pasti usai pilpres. Kebijakan luar negeri AS akan lebih bisa diprediksi tanpa ancaman kenaikan bea impor. Kami melihat penurunan dolar AS, dan penguatan mata uang emerging market," tulis analis Citi, sebagaimana dilansir CNBC International.

Terbukti, rupiah yang merupakan mata uang emerging market mampu mencatat penguatan 6 hari beruntun, dengan total 4%. 

Hal senada diungkapkan Adam Margolis, kepala strategi valuta asing, komoditas dan suku bunga di JPMorgan Private Bank, dalam acara "Street Signs Asia" CNBC kemarin. Menurutnya kemenangan Biden mengurangi risiko geopolitik yang terjadi.

Pelaku pasar dikatakan mencari peluang untuk mengurangi eksposur dolar AS.

Tekanan bagi dolar AS meningkat setelah adanya kabar vaksin virus corona dari Pfizer.

Perusahaan farmasi asal AS tersebut berkolaborasi dengan BioNTech asal Jerman, dan mengumumkan vaksin buatanya efektif menangkal penyakit akibat virus corona (Covid-19) hingga lebih dari 90% tanpa efek samping yang berbahaya.

Chairman & CEO Pfizer Albert Bourla mengatakan perkembangan terakhir tersebut menjadi hari yang indah bagi ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Efikasi final dari vaksin tersebut dikatakan aman.

"Hasil pertama dari uji klinis fase tiga uji vaksin mengindikasikan kemampuan vaksin kami untuk mencegah Covid-19," ujar Bourla dalam pernyataannya, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (10/11/2020),

"Dengan berita hari ini kami sudah makin dekat untuk menyediakan vaksin kepada masyarakat di seluruh dunia, dan diharapkan bisa membantu mengakhiri krisis kesehatan dunia," ungkap Bourla.

Kedua perusahaan tersebut berencana untuk mengajukan penggunaan darurat vaksin kepada Food and Drug Administration (FDA) AS pada pekan ketiga November 2020.

Kabar tersebut memunculkan harapan hidup akan segera kembali normal, roda bisnis perlahan kembali berputar, dan perekonomian segera bangkit. Alhasil, aset-aset berisiko langsung melesat. Sementara dolar AS yang menyandang status safe haven menjadi tidak menarik.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular