
Minyak, Batu Bara & CPO, Siapa Jawara Selama Oktober?

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga-harga komoditas berguguran di bulan Oktober kecuali untuk minyak nabati terutama minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang justru melesat dobel digit dalam sebulan terakhir.
Harga kontrak berjangka CPO pengiriman 3 bulan di Bursa Malaysia Derivatif Exchange naik dari RM 2.700/ton ke atas RM 3.000/ton. Dalam sebulan harga CPO naik 10,94%.
Per 30 Oktober 2020 kontrak CPO pengiriman Januari 2021 ditutup di RM 3.011/ton.
Data surveyor kargo terbaru menunjukkan ekspor minyak nabati Malaysia naik 4% - 6% di bulan Oktober. India menjadi pembeli terbanyak serta mencatatkan peningkatan paling fantastis bulan kemarin.
India sebagai negara importir terbesar minyak sawit dunia biasanya melakukan pembelian dalam volume besar menjelang perayaan Diwali yang untuk tahun ini bakal jatuh pada 14 November nanti.
Namun di masa pandemi Covid-19 seperti ini perayaan Diwali yang biasanya dilakukan dengan berpesta dan mengundang banyak orang akan berbeda. Banyak pihak yang sudah merencanakan Diwali dilakukan secara virtual.
Di saat permintaan ekspor sedang meningkat, fenomena perubahan iklim La Nina justru datang. La Nina adalah fenomena iklim yang menyebabkan curah hujan menjadi lebih lebat di kawasan tropis pasifik.
Saat La Nina, curah hujan bisa lebih tinggi 40% dari kondisi normal. Konsekuensi La Nina adalah bencana banjir dan tanah longsor yang mempengaruhi aktivitas pertanian tak terkecuali kelapa sawit.
Prospek produksi yang lebih rendah disertai permintaan yang meningkat membuat harga CPO terkerek naik. Hanya saja kenaikan harga ini juga harus dilihat dari fundamentalnya mengingat harga CPO yang dijadikan acuan di sini adalah harga kontrak futures yang mencerminkan ekspektasi di masa mendatang.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi pergerakan harga CPO selain dinamika produksi dan konsumsi. Pergerakan harga minyak substitusi dan minyak mentah juga ikut menjadi sentimen penggerak harga minyak sayur unggulan Indonesia dan Malaysia tersebut.
Harga minyak mentah yang rendah membuat harga CPO tertekan. Pasalnya minyak nabati dari sawit tersebut juga digunakan sebagai bahan baku pembuat biodiesel yang jadi alternatif bahan bakar fosil.
Di saat harga CPO naik, harga minyak justru berkebalikan. Kontrak berjangka Brent dan West Texas Intermediate (WTI) masing-masing anjlok 8,52% dan 11,01% di bulan kesepuluh tahun ini.
Berbanding terbalik dengan CPO, permintaan minyak mentah justru menurun saat pasar terancam kebanjiran pasokan. Lonjakan kasus Covid-19 di berbagai negara membuat pasar bereaksi panik dan harga kontraknya anjlok.
Di saat yang sama, pembukaan kembali ladang minyak Libya yang sempat diblokir berpotensi membuat pasokan minyak ke pasar bertambah 1 juta barel per hari (bpd).
Para kartel yang terdiri dari negara-negara eksportir minyak dan koleganya (OPEC+) semakin tertekan melihat kondisi saat ini.
Sampai dengan akhir tahun OPEC+ sepakat untuk memangkas produksi kurang lebih 8% dari total output atau setara dengan 7,7 juta barel per hari (bpd). Tanpa adanya perubahan, volume pemangkasan output akan diturunkan menjadi 5,7 juta bpd mulai Januari tahun depan.
Hanya saja jika OPEC+ tetap bertahan dengan kesepakatan tersebut berarti pasokan di pasar bakal bertambah 3 juta bpd yang berarti harga minyak akan kembali tertekan.
Di penghujung Oktober, harga minyak sudah jatuh ke bawah level US$ 40/barel. Apabila kasus Covid-19 terus meningkat dan keran pasokan terus mengucur deras harga akan semakin melorot.
Beralih ke batu bara, harga komoditas unggulan Indonesia dan Australia ini drop 4,2% sepanjang bulan lalu.
Pada dasarnya harga batu bara sempat balik ke level psikologis US$ 60/ton. Per 1 Oktober harga batu bara ditutup di US$ 62,3/ton dan menjadi harga tertinggi di bulan Oktober.
Namun kabar China yang memboikot impor batu bara termal dan kokas dari Australia membuat harga drop. Harga batu bara sempat drop 6,51% dalam sehari menyusul rumor yang beredar itu.
Namun ketatnya pasokan batu bara China dibarengi dengan harga batu bara domestiknya yang terlampau tinggi membuat trader berspekulasi dan harga batu bara pun terkerek naik.
Meskipun sudah terkerek naik, selisih (spread) antara harga batu bara domestik China dengan Newcastle masih cukup jauh di US$ 35/ton.
