
Kini Waktu Yang Tepat Beli Dolar AS? Ini Sederet Alasannya

Rupiah menjadi satu-satunya mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS pada hari ini. Sebabnya neraca dagang yang mencetak surplus beberapa bulan terakhir.
Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini merilis data ekspor dan impor pada September 2020. Nilai ekspor tercatat US$ 14,01 miliar. Nilai tersebut mengalami penurunan sebesar 0,51% dibandingkan September 2019.
Nilai impor pada September 2020 tercatat US$ 11,57 miliar atau turun 18,88%. Sehingga neraca dagang di bulan September mengalami surplus US$ 2,44 miliar.
Surplus di bulan September tersebut membuat neraca dagang Indonesia sudah mencetak surplus dalam 5 bulan beruntun, yang dapat mempengaruhi posisi transaksi berjalan (current account) yang sudah mengalami defisit selama nyaris 1 dekade.
BI saat mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Selasa lalu memperkirakan transaksi berjalan pada kuartal III-2020 bisa mencatatkan surplus. Jika terwujud maka akan menjadi surplus pertama sejak kuartal IV-2011.
"Transaksi berjalan pada kuartal III-2020 diperkirakan akan mencatat surplus. Dipengaruhi oleh perbaikan ekspor dan penyesuaian impor sejalan dengan permintaan domestik yang belum cukup kuat," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usar Rapat Dewan Gubernur Periode September 2020, Selasa (13/10/2020).
Dengan surplus transaksi berjalan, artinya pasokan devisa cukup besar yang menjadi modal bagi rupiah untuk menguat.
Tetapi, Yang patut digarisbawahi, seandainya transaksi berjalan benar mencatat surplus, itu bukan merupakan sebuah prestasi, tetapi "berkah" di kala pandemi. Seperti yang disebutkan oleh BI, surplus neraca dagang akan membawa transaksi berjalan lepas dari defisit. Ekspor yang membaik karena perekonomian global mulai pulih, tetapi impor masih lemah. Sehingga neraca dagang bisa mencetak surplus.
Sayangnya, impor yang lemah berarti roda perekonomian di dalam negeri masih berjalan lambat, sehingga pemulihan ekonomi Indonesia kemungkinan akan berlangsung lebih lama.
Dengan kondisi tersebut, posisi rupiah sebenarnya kurang menguntungkan. Tetapi dengan pasokan devisa dari surplus transaksi berjalan, BI tentunya memiliki amunisi lebih banyak untuk menstabilkan rupiah jika kembali mendapat tekanan.
Selain dari eksternal, tekanan bagi rupiah juga datang dari internal. Jumlah kasus Covid-19 yang masih tinggi yang membawa Indonesia ke resesi untuk pertama kalinya dalam 22 tahun terakhir. Resesi sudah pasti, cuma seberapa dalam kontraksi ekonomi yang masih menjadi misteri, begitu juga kapan akan bangkit kembali.
Selain itu pelaku pasar berekspektasi BI masih akan memangkas suku bunga sekali lagi di sisa tahun ini, mengingat inflasi yang sangat rendah, sehingga memberikan ruang pemangkasan yang lebih besar.
Pada pertengahan Juli lalu, BI memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 4%.
Total di tahun ini, BI sudah memangkas suku bunga sebanyak 4 kali dengan total 100 bps. Tidak hanya memangkas suku bunga, BI juga memberikan banyak stimulus moneter, tujuannya, guna memacu perekonomian yang nyungsep.
Penurunan suku bunga oleh BI menjadi salah satu penyebab melempemnya rupiah. Rupiah merupakan mata uang yang mengandalkan yield tinggi untuk menarik minat investor. Kala suku bunga dipangkas, yield tentunya juga akan menurun, sehingga rupiah menjadi kurang menarik.
Rupiah mulai dalam tren pelemahan sejak 8 Juni lalu, saat itu rupiah berada di level Rp 13.850/US$, sementara pada hari ini di Rp 14.670/US$. Artinya selama periode tersebut rupiah melemah sekitar 6%.
Meski BI beberapa kali memberikan sinyal tidak akan memangkas suku bunga lagi, nyatanya ekspektasi di pasar masih tetap terjaga. Fitch Solutions misalnya, masih konsisten dalam beberapa bulan terakhir memprediksi BI masih akan memangkas suku bunga lagi hingga menjadi 3,75%.
Selain itu, hasil survei 2 mingguan Reuters pertengahan September lalu menunjukkan pelaku pasar kurang berminat terhadap rupiah karena cemas akan rencana revisi undang-undang BI, membuat bank sentral tidak lagi independen, dan rentan mengalami intervensi yang bersifat politis.
Bank investasi Societe Generale dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters memprediksi rupiah akan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia di semester II tahun ini. Menurut bank yang berbasis di Prancis tersebut, sebagai aset dengan imbal hasil tinggi, rupiah masih akan dikalahkan oleh rupee India meski yield yang diberikan lebih rendah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)[Gambas:Video CNBC]
