
Kini Waktu Yang Tepat Beli Dolar AS? Ini Sederet Alasannya

Mata uang euro sebelumnya sangat perkasa melawan dolar AS, sebab pemulihan ekonomi di Eropa diprediksi akan lebih cepat ketimbang Negeri Adi Kuasa. Di awal September lalu, mata uang 19 negara ini mencapai level US$ 1,2 untuk pertama kalinya sejak Mei 2018.
Namun kini, euro kembali ke kisaran US$ 1,7. Pergerakan euro cukup menentukan kinerja dolar AS, sebab berkontribusi sebesar 57,6% terhadap pembentukan indeks dolar AS. Indeks tersebut menjadi tolak ukur kekuatan dolar AS, dan kerap mempengaruhi pergerakan mata uang lainnya, termasuk rupiah.
Berbalik arahnya euro terjadi akibat kasus pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang kembali menanjak di Benua Biru.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di Eropa per 14 Oktober adalah 7.219.501 orang. Bertambah 100.256 orang (1,41%) dibandingkan sehari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir (1-14 Oktober), rata-rata pasien baru bertambah 95.488 orang per hari. Melonjak dibandingkan 14 hari sebelumnya yaitu 64.626 orang per hari.
Ini membuat sejumlah negara Eropa kembali memperketat pembatasan sosial (social distancing) demi meredam penularan virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut. Pemerintah Prancis mulai hari ini memberlakukan status darurat kesehatan nasional.
"Pandemi virus corona merupakan bencana kesehatan. Ini memberi justifikasi pemberlakuan kondisi darurat sehingga pemerintah dapat melakukan berbagai langkah yang proporsional untuk menurunkan risiko gangguan kesehatan masyarakat," sebut keterangan resmi pemerintah Prancis, seperti dikutip dari Reuters.
Outlook perekonomian Eropa kian memburuk, mengingat Inggris akan keluar dari Uni Eropa di akhir tahun ini. Jika hingga penghujung tahun nanti kedua belah pihak tidak mencapai kata sepakat untuk beberapa hal, terutama masalah perdagangan, maka akan terjadi Hard Brexit, Artinya Inggris akan keluar begitu saja, tanpa ada perjanjian apapun, seperti perjanjian dagang sehingga produk dari Inggris tidak bisa bebas masuk ke pasar tunggal Uni Eropa, begitu juga sebaliknya.
Alhasil, perekonomian Eropa diprediksi akan terpukul hebat. Reuters mengutip The Times yang mendapat bocoran dokumen Pemerintah Inggris, melaporkan produk domestik bruto (PDB) Inggris diprediksi akan mengalami kontraksi hingga 9,5% jika terjadi Hard Brexit.
Perekonomian Inggris akan kehilangan sebesar 66 miliar poundsterling, dan industri finansial diramal kehilangan pendapatan hingga 38 miliar poundsterling.
Kurs poundsterling juga sudah kembali dalam tren menurun. Sebagai informasi, poundsterling berkontribusi 11,9% membentuk indeks dolar AS, berada di urutan ketiga terbesar, di bawah yen yang menyumbang 13,6%.
Ketika euro dan poundsterling kompak melemah maka indeks dolar AS kemungkinan besar akan terus menanjak.
(pap/pap)