
Kini Waktu Yang Tepat Beli Dolar AS? Ini Sederet Alasannya

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) memang melemah melawan 0,14% melawan rupiah pada hari ini, Kamis (14/10/2020), tetapi masih perkasa melawan mayoritas mata uang Asia, serta Eropa. Kondisi saat ini sedang menguntungkan bagi dolar AS, khususnya masalah stimulus fiskal yang masih belum jelas di Negeri Paman Sam.
Hingga pukul 16:22 WIB, dari Asia hanya rupiah yang mampu menguat. Meski demikian posisi tersebut bisa saja berubah sebab pasar di negara lain masih belum tutup. Rupee India dan baht Thailand menjadi 2 mata uang dengan kinerja terburuk, melemah 0,29%.
Kinerja mata uang Eropa lebih parah lagi, euro melemah 0,36%, poundsterling merosot 042%. Franc Swiss, mata uang yang menyandang status safe haven (dengan dolar AS dan yen), melemah tipis 0,01%.
Dari Benua Amerika, dolar Kanada melemah 0,41%. Yang paling parah, dolar Australia ambrol 1,26% melawan dolar AS pada hari ini, setelah bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) mengindikasikan akan menurunkan suku bunga.
"Banyak faktor menunjukkan dolar AS bisa naik lebih tinggi lagi," kata Masafumi Yamamoto, kepala strategi mata uang di Mizuho Securities, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (14/10/2020).
"Stimulus di AS kemungkinan tidak akan cair hingga pemilihan presiden selesai. Bank sentral China meredam penguatan yuan. Tidak ada alasan membeli euro, dan banyak posisi beli (long) euro yang akan dilikuidasi," tambahnya.
Stimulus fiskal di AS menjadi krusial bagi pergerakan the greenback. Maklum saja, nilainya mencapai triliunan dolar AS, ketika cair maka jumlah uang yang beredar di perekononomian akan meningkat. Ketika jumlah uang beredar meningkat, maka nilai dolar AS akan turun.
Selain itu, cairnya stimulus fiskal juga membuat sentimen pelaku pasar membaik dan memburu aset-aset berisiko. Dolar AS yang merupakan aset safe haven menjadi kurang menarik.
Oleh karena itu, stimulus fiskal bisa memberikan pukulan ganda ke dolar AS. Tetapi itu jika stimulus tersebut cair, untuk saat ini yang terjadi malah sebaliknya.
Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengungkapkan sepertinya kesepakatan paket stimulus sulit untuk diwujudkan sebelum pemilihan presiden (pilpres) yang akan dihelat awal November mendatang.
"Untuk saat ini saya bisa bilang menyepakati sesuatu sebelum pilpres dan melaksanakannya akan sulit. Namun kami akan terus mencoba untuk mengatasi masalah ini," kata Mnuchin dalam acara Milken Institute Global Conference di Washington, seperti dikutip dari Reuters.
Kemarin, Nancy Pelosi (Ketua House of Representatives, salah satu dari dua kamar yang membentuk Kongres AS) menolak proposal paket stimulus bernilai US$ 1,8 triliun yang diajukan Gedung Putih. Angka tersebut masih di bawah usulan Partai Demokrat yaitu US$ 2,2 triliun.
Pilpres di AS akan diadakan pada 3 November mendatang, sehingga kecil kemungkinan stimulus tersebut cair dalam 2 pekan ke depan. Tanpa stimulus, pemulihan ekonomi di AS akan berjalan lambat, ketidakpastian meningkat dan dolar AS menjadi yang diuntungkan.
Mata uang euro sebelumnya sangat perkasa melawan dolar AS, sebab pemulihan ekonomi di Eropa diprediksi akan lebih cepat ketimbang Negeri Adi Kuasa. Di awal September lalu, mata uang 19 negara ini mencapai level US$ 1,2 untuk pertama kalinya sejak Mei 2018.
Namun kini, euro kembali ke kisaran US$ 1,7. Pergerakan euro cukup menentukan kinerja dolar AS, sebab berkontribusi sebesar 57,6% terhadap pembentukan indeks dolar AS. Indeks tersebut menjadi tolak ukur kekuatan dolar AS, dan kerap mempengaruhi pergerakan mata uang lainnya, termasuk rupiah.
Berbalik arahnya euro terjadi akibat kasus pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang kembali menanjak di Benua Biru.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di Eropa per 14 Oktober adalah 7.219.501 orang. Bertambah 100.256 orang (1,41%) dibandingkan sehari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir (1-14 Oktober), rata-rata pasien baru bertambah 95.488 orang per hari. Melonjak dibandingkan 14 hari sebelumnya yaitu 64.626 orang per hari.
Ini membuat sejumlah negara Eropa kembali memperketat pembatasan sosial (social distancing) demi meredam penularan virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut. Pemerintah Prancis mulai hari ini memberlakukan status darurat kesehatan nasional.
"Pandemi virus corona merupakan bencana kesehatan. Ini memberi justifikasi pemberlakuan kondisi darurat sehingga pemerintah dapat melakukan berbagai langkah yang proporsional untuk menurunkan risiko gangguan kesehatan masyarakat," sebut keterangan resmi pemerintah Prancis, seperti dikutip dari Reuters.
Outlook perekonomian Eropa kian memburuk, mengingat Inggris akan keluar dari Uni Eropa di akhir tahun ini. Jika hingga penghujung tahun nanti kedua belah pihak tidak mencapai kata sepakat untuk beberapa hal, terutama masalah perdagangan, maka akan terjadi Hard Brexit, Artinya Inggris akan keluar begitu saja, tanpa ada perjanjian apapun, seperti perjanjian dagang sehingga produk dari Inggris tidak bisa bebas masuk ke pasar tunggal Uni Eropa, begitu juga sebaliknya.
Alhasil, perekonomian Eropa diprediksi akan terpukul hebat. Reuters mengutip The Times yang mendapat bocoran dokumen Pemerintah Inggris, melaporkan produk domestik bruto (PDB) Inggris diprediksi akan mengalami kontraksi hingga 9,5% jika terjadi Hard Brexit.
Perekonomian Inggris akan kehilangan sebesar 66 miliar poundsterling, dan industri finansial diramal kehilangan pendapatan hingga 38 miliar poundsterling.
Kurs poundsterling juga sudah kembali dalam tren menurun. Sebagai informasi, poundsterling berkontribusi 11,9% membentuk indeks dolar AS, berada di urutan ketiga terbesar, di bawah yen yang menyumbang 13,6%.
Ketika euro dan poundsterling kompak melemah maka indeks dolar AS kemungkinan besar akan terus menanjak.
Rupiah menjadi satu-satunya mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS pada hari ini. Sebabnya neraca dagang yang mencetak surplus beberapa bulan terakhir.
Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini merilis data ekspor dan impor pada September 2020. Nilai ekspor tercatat US$ 14,01 miliar. Nilai tersebut mengalami penurunan sebesar 0,51% dibandingkan September 2019.
Nilai impor pada September 2020 tercatat US$ 11,57 miliar atau turun 18,88%. Sehingga neraca dagang di bulan September mengalami surplus US$ 2,44 miliar.
Surplus di bulan September tersebut membuat neraca dagang Indonesia sudah mencetak surplus dalam 5 bulan beruntun, yang dapat mempengaruhi posisi transaksi berjalan (current account) yang sudah mengalami defisit selama nyaris 1 dekade.
BI saat mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Selasa lalu memperkirakan transaksi berjalan pada kuartal III-2020 bisa mencatatkan surplus. Jika terwujud maka akan menjadi surplus pertama sejak kuartal IV-2011.
"Transaksi berjalan pada kuartal III-2020 diperkirakan akan mencatat surplus. Dipengaruhi oleh perbaikan ekspor dan penyesuaian impor sejalan dengan permintaan domestik yang belum cukup kuat," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usar Rapat Dewan Gubernur Periode September 2020, Selasa (13/10/2020).
Dengan surplus transaksi berjalan, artinya pasokan devisa cukup besar yang menjadi modal bagi rupiah untuk menguat.
Tetapi, Yang patut digarisbawahi, seandainya transaksi berjalan benar mencatat surplus, itu bukan merupakan sebuah prestasi, tetapi "berkah" di kala pandemi. Seperti yang disebutkan oleh BI, surplus neraca dagang akan membawa transaksi berjalan lepas dari defisit. Ekspor yang membaik karena perekonomian global mulai pulih, tetapi impor masih lemah. Sehingga neraca dagang bisa mencetak surplus.
Sayangnya, impor yang lemah berarti roda perekonomian di dalam negeri masih berjalan lambat, sehingga pemulihan ekonomi Indonesia kemungkinan akan berlangsung lebih lama.
Dengan kondisi tersebut, posisi rupiah sebenarnya kurang menguntungkan. Tetapi dengan pasokan devisa dari surplus transaksi berjalan, BI tentunya memiliki amunisi lebih banyak untuk menstabilkan rupiah jika kembali mendapat tekanan.
Selain dari eksternal, tekanan bagi rupiah juga datang dari internal. Jumlah kasus Covid-19 yang masih tinggi yang membawa Indonesia ke resesi untuk pertama kalinya dalam 22 tahun terakhir. Resesi sudah pasti, cuma seberapa dalam kontraksi ekonomi yang masih menjadi misteri, begitu juga kapan akan bangkit kembali.
Selain itu pelaku pasar berekspektasi BI masih akan memangkas suku bunga sekali lagi di sisa tahun ini, mengingat inflasi yang sangat rendah, sehingga memberikan ruang pemangkasan yang lebih besar.
Pada pertengahan Juli lalu, BI memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 4%.
Total di tahun ini, BI sudah memangkas suku bunga sebanyak 4 kali dengan total 100 bps. Tidak hanya memangkas suku bunga, BI juga memberikan banyak stimulus moneter, tujuannya, guna memacu perekonomian yang nyungsep.
Penurunan suku bunga oleh BI menjadi salah satu penyebab melempemnya rupiah. Rupiah merupakan mata uang yang mengandalkan yield tinggi untuk menarik minat investor. Kala suku bunga dipangkas, yield tentunya juga akan menurun, sehingga rupiah menjadi kurang menarik.
Rupiah mulai dalam tren pelemahan sejak 8 Juni lalu, saat itu rupiah berada di level Rp 13.850/US$, sementara pada hari ini di Rp 14.670/US$. Artinya selama periode tersebut rupiah melemah sekitar 6%.
Meski BI beberapa kali memberikan sinyal tidak akan memangkas suku bunga lagi, nyatanya ekspektasi di pasar masih tetap terjaga. Fitch Solutions misalnya, masih konsisten dalam beberapa bulan terakhir memprediksi BI masih akan memangkas suku bunga lagi hingga menjadi 3,75%.
Selain itu, hasil survei 2 mingguan Reuters pertengahan September lalu menunjukkan pelaku pasar kurang berminat terhadap rupiah karena cemas akan rencana revisi undang-undang BI, membuat bank sentral tidak lagi independen, dan rentan mengalami intervensi yang bersifat politis.
Bank investasi Societe Generale dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters memprediksi rupiah akan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia di semester II tahun ini. Menurut bank yang berbasis di Prancis tersebut, sebagai aset dengan imbal hasil tinggi, rupiah masih akan dikalahkan oleh rupee India meski yield yang diberikan lebih rendah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukan Pamer, Cek Nih Keperkasaan Rupiah Lawan Mata Uang Dunia
