
Tak Meroket Lagi, Harga Batu Bara Berakhir Drop!

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara mulai menunjukkan sinyal penurunan setelah reli tak terbendung sejak minggu kedua bulan September lalu. Kemarin, Rabu (7/10/2020) harga batu bara ditutup terkoreksi.
Harga batu bara termal acuan Newcastle untuk kontrak yang aktif ditransaksikan drop nyaris 1% ke US$ 61,35/ton. Pada perdagangan sehari sebelumnya, harga batu bara ditutup di level US$ 61,95/ton.
Kenaikan harga batu bara yang belakangan terjadi memang dipicu oleh ketatnya pasokan domestik China sehingga membuat harga batu bara domestiknya melonjak tinggi melebihi target informal yang sudah ditetapkan oleh otoritas China.
Harga batu bara termal Qinhuangdao untuk kalori 5.500 Kcal/Kg pada akhir pekan lalu menguat 2,9% ke RMB 612/ton atau setara dengan US$ 90,13/ton. Harga tersebut tergolong kemahalan karena sudah berada di atas 'green zone' di rentang RMB 500 - RMB 570 per ton.
Green zone merupakan target informal otoritas China untuk tetap menjaga keberlanjutan bisnis para penambang batu bara serta margin perusahaan utilitas. Dengan harga batu bara domestik yang sudah mahal, maka banyak yang tertarik untuk membeli batu bara impor karena harganya lebih murah.
Kenaikan minat ini juga turut mendongkrak harga batu bara lintas laut (seaborne). Meski China mulai ketat menerapkan kuota impor pada kuartal kedua dan ketiga, tetapi dengan ketatnya pasokan ada kemungkinan beberapa wilayah mulai melonggarkannya. Apalagi memasuki periode akhir tahun kebijakan kuota impor akan diperbarui.
Di sisi lain adanya kemungkinan disrupsi pasokan akibat cuaca yang lebih basah akibat La Nina juga berpotensi memicu terjadinya disrupsi rantai pasok batu bara di kawasan Asia Pasifik di tengah upaya pemangkasan produksi di Australia jelang libur natal.
Sampai dengan akhir tahun atau bahkan awal tahun depan, seiring dengan membaiknya prospek permintaan batu bara terutama dari China seiring juga dengan aktivitas perekonomian yang mulai pulih, harga batu bara kemungkinan akan ikut terdongkrak.
Namun untuk jangka yang relatif lebih panjang, komoditas ini mendapat berbagai ancaman dari sumber energi substitusinya terutama untuk yang sifatnya energi alternatif ramah lingkungan.
Batu bara banyak digunakan di berbagai industri seperti pembuatan baja dan pupuk. Namun kebanyakan batu legam ini dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Salah satu konsumen batu bara terbesar di dunia yakni India berencana untuk benar-benar mengurangi ketergantungannya terhadap batu bara untuk pembangkit listrik 2030 nanti.
"Sumber bahan bakar non-fosil akan mencapai sebanyak 60 persen dari kapasitas pembangkit kita pada tahun 2030," kata menteri listrik Raj Kumar Singh kemarin kepada Argus Media. Di India, sumber non-termal, seperti nuklir, tenaga air dan energi terbarukan, saat ini mencapai 38,5% dari kapasitas terpasang.
Delhi membuat komitmen internasional lima tahun lalu bahwa sebanyak 40% dari kapasitas pembangkit secara keseluruhan akan didasarkan pada sumber energi yang lebih bersih pada tahun 2030, sebuah tujuan yang akan dicapai negara tersebut pada awal tahun ini. Ini jelas menjadi sentimen negatif untuk batu bara.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ogah Ambles, Harga Batu Bara Balik Menguat Kemarin