Rupiah Masih Lesu Nih, Belum Move On dari Isu Resesi?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 September 2020 09:27
Penukaran Uang Kusam
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Namun sepertinya isu resesi ekonomi Indonesia sudah dilupakan pelaku pasar. Depresiasi rupiah lebih disebabkan oleh dolar AS yang memang sedang mendapat angin.

Pada Rabu (23/9/2020), US$ 1 dihargai Rp 14.750 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dengan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya alias stagnan.

Namun tidak lama kemudian rupiah masuk ke jalur merah. Pada pukul 09:14 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.760 di mana rupiah melemah tipis 0,07%.

Kemarin, rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan pelemahan 0,41% di hadapan dolar AS. Rupiah jadi mata uang paling lemah di Asia.

Salah satu isu yang membebani rupiah kemarin adalah proyeksi terbaru pemerintah soal pertumbuhan ekonomi. Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, mengungkapkan bahwa ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 kemungkinan mengalami kontraksi -1% hingga -2,9%.

Artinya, Indonesia akan sah dan meyakinkan masuk jurang resesi. Sebab pada kuartal sebelumnya Produk Domestik Bruto (PDB) Tanah Air juga terkontraksi -5,32%. Kontraksi ekonomi dua kuartal beruntun adalah definisi resesi.

Namun investor tidak mau terlalu lama larut dalam duka. Oke, PDB kuartal III-2020 memang kemungkinan besar negatif dan Indonesia mengalami resesi. Namun perlu dicatat bahwa PDB adalah salah satu data berjenis kelamin lagging indicators.

Dia baru diketahui setelah peristiwa terjadi. Begitu angkanya didapat, kejadiannya sudah berlalu, sudah basi.

Untuk menentukan langkah, pelaku pasar lebih menyukai leading indicators, data yang memberi gambaran kira-kira ke mana ekonomi akan melangkah. Ekspansif atau kontraktif.

Contoh leading indicators adalah Purchasing Manager's Index (PMI) dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Dua data ini bisa memberi kisi-kisi bagaimana dunia usaha dan rumah tangga memandang situasi ekonomi terkini dan beberapa bulan mendatang.

Pasar memang pasti merespons isu resesi, dan responsnya pasti negatif. Namun itu tidak akan lama, karena kemudian disadari bahwa itu semua sudah berlalu.

Tidak perlu lama-lama menyesali masa lalu, lebih baik menatap masa depan. Jadi biasanya memang reaksi pasar terhadap isu resesi tidak akan bertahan lama.

Meski isu resesi sudah memudar, tetapi rupiah tetap sulit menguat. Maklum, dolar AS sedang perkasa. Pada pukul 09:15 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,13%.

Dolar AS tersulut oleh pernyataan Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Jerome 'Jay' Powell. Dalam paparan di hadapan Komite Jasa Keuangan House of Representatives (salah satu dari dua kamar legistatif di AS), Powell mengungkapkan pihaknya siap untuk memberikan dukungan lanjutan bagi pelaku usaha kecil yang terdampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Salah satu opsi yang akan dipelajari adalah pemberian hibah. Sebab kalau bentuknya adalah jaminan kredit, mekanismenya akan lebih sulit. Komitmen The Fed ini membuat pelaku pasar semringah.

Dukungan The Fed diharapkan mampu mendongrak ekonomi Negeri Paman Sam, negara dengan jumlah kasus corona terbanyak di dunia.

"Kita semua khawatir bahwa prospek ekonomi dalam jangka pendek akan suram. Namun jangan lupa, ini adalah jangka pendek. Kekhawatiran ini akan terhapus karena tetap ada harapan dalam jangka menengah-panjang," tegas Jim Paulsen, Chief Investment Strategist di The Leuthold Group yang berbasis di Minneapolis, seperti dikutip dari Reuters.

Kemudian, Presiden The Fed Chicago Charles Evans mengungkapkan bahwa seiring pemulihan ekonomi secara bertahap, bukan tidak mungkin bank sentral akan mengurangi 'dosis' stimulus moneter. Misalnya dengan mengurangi pembelian aset-aset keuangan.

"Saya terbuka, kami akan mendiskusikan soal itu," ujarnya dalam pertemuan Official Monetary and Financial Institutions Forum, seperti dikutip dari Reuters.

Tidak hanya itu, Evans juga menyinggung soal peluang menaikkan suku bunga acuan. Menurutnya, bisa saja Federal Funds Rate dinaikkan sebelum inflasi menyebtuh angka 2%.

Tahun ini, rata-rata inflasi AS diperkirakan sekitar 2%. Kira-kira inflasi baru bisa mencapai rata-rata 2% pada 2026 atau 2028.

"Oleh karena itu, kami bisa mulai menaikkan suku bunga sebelum inflasi mencapai rata-rata 2%," ungkapnya.

Peluang soal kenaikan suku bunga, meski baru sebatas omongan di mulut saja, sudah membuat investor beraksi. Dolar AS kembali jadi buruan, sehingga mampu perkasa di hadapan mata uang dunia, termasuk rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular