Ouch! Rupiah Kepleset, Dolar AS Balik ke Atas Rp 14.700

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 September 2020 09:10
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Sentimen domestik dan eksternal menjadi beban bagi mata uang Tanah Air.

Pada Selasa (22/9/2020), US$ 1 setara dengan Rp 14.680 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat tipis 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Namun tidak butuh waktu lama bagi rupiah untuk terpeleset ke jalur merah. Pada pukul 09:06 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.717 di mana rupiah melemah 0,18%.

Dari dalam negeri, ada beberapa sentimen yang membebani rupiah. Satu, rupiah sudah menguat selama lima hari perdagangan beruntun. Dalam lima hari tersebut, apresiasi rupiah mencapai 1,14%.

Penguatan yang sudah cukup tajam ini menyimpan risiko koreksi teknikal. Investor yang merasa sudah mendapat banyak keuntungan tentu akan tergoda untuk mencairkannya. Rupiah pun terkena tekanan jual dan melemah.

Dua, permintaan valas korporasi meningkat jelang akhir sebuah kuartal. Kebetulan sekarang sudah di penghujung kuartal III-2020.

Dunia usaha membutuhkan valas untuk membayar utang, dividen, dan sebagainya. Lagi-lagi rupiah terpapar tekanan jual sehingga bergerak melemah.

Tiga, sepertinya pelaku pasar masih mencemaskan dinamika hubungan pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Belum lama-lama ini, rancangan amandemen Undang-undang (UU) BI usulan BI kembali beredar. Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah keterlibatan pemerintah dalam penentuan kebijakan moneter.

"Sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan untuk menetapkan kebijakan umum di bidang moneter yang dihadiri oleh seorang atau lebih menteri di bidang perekonomian serta Menteri Keuangan yang mewakili pemerintah dengan hak bicara dan hak suara," tulis pasal 43 ayat 1 RUU tersebut.

Dalam mengelola ekonomi, independensi bank sentral adalah harga mati. Tidak bisa ditawar lagi. Bank sentral yang 'disusupi' menyebabkan kebijakan moneter menjadi tidak kredibel, penuh kepentingan (terutama politik), dan membahayakan ekonomi secara keseluruhan.

"Jika peran pemerintah dalam komite pembuat kebijakan moneter menjadi terlalu dominan, maka BI akan terjebak dalam intervensi politik. Salah satu risiko yang cukup nyata adalah penundaan penghentian kebijakan monetisasi utang untuk kebutuhan penanganan pandemi," kata Anushka Shah, Senior Analyst Moody's Investor Service, seperti dikutip dari Reuters.

Sementara dari sisi eksternal, investor mencemaskan risiko pengetatan pembatasan sosial (social distancing) di sejumlah negara akibat lonjakan penderita virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Eropa kini sedang jadi sorotan.

Mulai pekan ini, Kota Nice, Marseille, dan Bordeaux di Prancis melarang warga berkumpul lebih dari 10 orang di tempat umum. Sementara pemerintah Inggris mulai berpikir untuk menaikkan 'dosis' social distancing dari saat ini berlaku yaitu larangan berkumpul lebih dari enam orang (rule of six).

"Saya tidak mau memberlakukan lockdown (karantina wilayah) nasional jilid II, sama sekali tidak. Namun kalau Anda lihat apa yang terjadi sekarang, Anda pasti berpikir apakah perlu untuk menerapkan sesuatu yang lebih dari rule of six," kata Boris Johnson, Perdana Menteri Inggris, seperti diwartakan Reuters.

Mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah pasien positif corona di Benua Biru per 21 September adalah 5.236.252 orang. Bertambah 38.855 orang (0,75%) dibandingkan sehari sebelumnya.

Dalam 14 hari terakhir (8-21 September), rata-rata pasien baru bertambah 48.983 orang dalam sehari. Melonjak dibandingkan 14 hari sebelumnya yaitu 37.622 orang.

"Eropa sepertinya mulai 'kalah perang'. Ketika banyak berita buruk berdatangan, maka keinginan untuk mengambil risiko tentu berkurang," kata Edward Moya, Analis OANDA, sebagaimana dikutip dari Reuters.

Pandemi virus corona yang semakin tidak terkendali membuat prospek pemulihan ekonomi menjadi samar-samar. Kalau semakin banyak wilayah yang mengetatkan pembatasan sosial, warga diminta sebisa mungkin untuk #dirumahaja, tentu roda ekonomi akan macet bahkan mungkin berhenti sama sekali.

Oleh karena itu, sepertinya dunia masih akan terjebak dalam resesi ekonomi hingga virus corona berhasil ditumpas. Suramnya prospek ekonomi membuat investor tidak mau macam-macam, lebih baik main aman saja.

Akibatnya, investor menerapkan social distancing terhadap aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Rupiah jadi sulit menguat.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular