
Ouch! Rupiah Kepleset, Dolar AS Balik ke Atas Rp 14.700

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Sentimen domestik dan eksternal menjadi beban bagi mata uang Tanah Air.
Pada Selasa (22/9/2020), US$ 1 setara dengan Rp 14.680 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat tipis 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Namun tidak butuh waktu lama bagi rupiah untuk terpeleset ke jalur merah. Pada pukul 09:06 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.717 di mana rupiah melemah 0,18%.
Dari dalam negeri, ada beberapa sentimen yang membebani rupiah. Satu, rupiah sudah menguat selama lima hari perdagangan beruntun. Dalam lima hari tersebut, apresiasi rupiah mencapai 1,14%.
Penguatan yang sudah cukup tajam ini menyimpan risiko koreksi teknikal. Investor yang merasa sudah mendapat banyak keuntungan tentu akan tergoda untuk mencairkannya. Rupiah pun terkena tekanan jual dan melemah.
Dua, permintaan valas korporasi meningkat jelang akhir sebuah kuartal. Kebetulan sekarang sudah di penghujung kuartal III-2020.
Dunia usaha membutuhkan valas untuk membayar utang, dividen, dan sebagainya. Lagi-lagi rupiah terpapar tekanan jual sehingga bergerak melemah.
Tiga, sepertinya pelaku pasar masih mencemaskan dinamika hubungan pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Belum lama-lama ini, rancangan amandemen Undang-undang (UU) BI usulan BI kembali beredar. Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah keterlibatan pemerintah dalam penentuan kebijakan moneter.
"Sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan untuk menetapkan kebijakan umum di bidang moneter yang dihadiri oleh seorang atau lebih menteri di bidang perekonomian serta Menteri Keuangan yang mewakili pemerintah dengan hak bicara dan hak suara," tulis pasal 43 ayat 1 RUU tersebut.
Dalam mengelola ekonomi, independensi bank sentral adalah harga mati. Tidak bisa ditawar lagi. Bank sentral yang 'disusupi' menyebabkan kebijakan moneter menjadi tidak kredibel, penuh kepentingan (terutama politik), dan membahayakan ekonomi secara keseluruhan.
"Jika peran pemerintah dalam komite pembuat kebijakan moneter menjadi terlalu dominan, maka BI akan terjebak dalam intervensi politik. Salah satu risiko yang cukup nyata adalah penundaan penghentian kebijakan monetisasi utang untuk kebutuhan penanganan pandemi," kata Anushka Shah, Senior Analyst Moody's Investor Service, seperti dikutip dari Reuters.
