Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Pasar keuangan dalam negeri bervariasi pada perdagangan awal pekan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah lebih dari 1% hingga ke bawah level 5.000.
Data perdagangan mencatat, investor asing melakukan aksi jual bersih sebanyak Rp 249 miliar di pasar reguler dengan nilai transaksi mencapai Rp 6,8 triliun.
Skandal bank raksasa yang mengelola dana mencurigakan membuat sentimen pelaku pasar global memburuk, yang turut memukul IHSG.
Skandal tersebut masih akan mempengaruhi pergerakan pasar keuangan dalam negeri hari ini, Selasa (22/9/2020). Sentimen negatif seolah datang dari 4 penjuru mata angin, sebab selain skandal perbankan, isu lain yakni Wall Street yang kembali ambrol, lonjakan kasus penyakit virus corona (Covid-19) di Inggris, hingga rencana amandemen undang-undang Bank Indonesia (BI), semuanya memberikan sentimen negatif, dan akan dibahas pada halaman 3.
Sementara itu, rupiah sukses membukukan penguatan 5 hari beruntun di awal pekan. Mata Uang Garuda menguat 0,27% ke Rp 14.690/US$ Senin kemarin, sementara dalam 5 hari terakhir, total penguatan rupiah sebesar 1,14%.
Dari pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun turun 3,8 basis poin (bps) menjadi 6,877%.
Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbalik dengan harganya. Saat harga naik, yield akan turun, sementara saat harga turun yield akan naik.
Penguatan rupiah dan SUN terjadi setelah Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada pekan lalu mengumumkan akan mempertahankan suku bunga <0,25% hingga tahun 2023.
Suku bunga rendah yang ditahan dalam waktu lama artinya yield berinvestasi di obligasi (Treasury) AS menjadi sangat rendah, bahkan bisa negatif jika memperhitungkan inflasi. Sehingga berinvestasi di AS menjadi kurang menguntungkan, dampaknya dolar AS jadi kurang bertenaga.
Perbedaan yield tersebut kian terasa ketika disandingkan dengan obligasi Indonesia. Yield obligasi tenor 10 tahun hari ini berada di level 6,877% sementara Treasury tenor yang sama di level 0,6691%. Ada selisih lebih dari 6%.
Bank Indonesia yang mempertahankan suku bunga acuan pada pekan lalu membuat selisih yield tersebut masih tetap terjaga.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 16-17 September 2020 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 4%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,75%," papar Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam keterangan usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode September 2020, Kamis (17/9/2020).
Perry mengatakan BI tetap mempertahankan suku bunga acuan pada September ini dengan mempertimbangkan berbagai hal mulai dari inflasi hingga sistem keuangan baik di domestik maupun global.
"Keputusan ini mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, di tengah inflasi yang diperkirakan tetap rendah," ujar Perry melalui konferensi pers virtual, Kamis (17/9/2020).
Bursa saham AS (Wall Street) kembali mengalami aksi jual yang masif, mengingatkan kembali ambrolnya kiblat bursa saham dunia ini pada bulan Maret lalu.
Indeks Dow Jones sempat ambrol lebih dari 900 poin, sebelum mengakhiri perdagangan di level 27.147,70 atau turun 509,72 poin (-1,8%). Sementara itu indeks S&P 500 melemah 1,2% ke 3.281,06. Untuk pertama kalinya sejak Februari lalu, indeks S&P 500 membukukan pelemahan 4 hari beruntun.
Indeks Nasdaq 0,13% ke 10.778,80. Penurunan Nasdaq menjadi yang paling rendah setelah rebound sektor teknologi yang selama ini mengalami aksi jual. Tetapi sepanjang bulan September, penurunan Nasdaq menjadi yang terbesar -8,5%, disusul S&P 500 lebih dari 6% dan Dow Jones sekitar 4,5%.
Aksi jual di sektor teknologi kembali berlanjut, yang diperparah dengan aksi jual di sektor finansial setelah munculnya skandal perbankan global.
Laporan yang disusun BuzzFeed dan International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) menyebutkan bahwa antara tahun 1999-2017 ada lebih dari US$2 triliun transaksi yang diduga sebagai aktivitas pencucian uang atau pengelolaan dana ilegal.
Pelaku pasar juga memantau perkembangan di Washington di mana para politisi berupaya mencapai kesepakatan terkait paket stimulus guna menanggulangi pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) dan membangkitkan perekonomian AS.
Nasib stimulus kian kabur setelah Trump ingin mengusulkan pengganti Hakim Mahkamah Agung Ruth Bader Ginsburg yang meninggal beberapa hari lalu.
Pertarungan antara kedua kubu di posisi hakim agung tersebut diyakini bakal menempatkan stimulus menjadi prioritas kedua karena fokus politisi Washington akan tersedot di Hakim Agung tersebut.
Kembali merosotnya Wall Street dengan berbagai sebab tersebut tentunya mengirim hawa negatif ke pasar Asia pagi ini. Maklum saja, Wall Street merupakan kiblat bursa saham dunia, pergerakannya tentu saja memberikan pengaruh ke bursa lainnya.
Sentimen negatif juga datang dari Eropa, Inggris kabarnya akan kembali melakukan karantina wilayah (lockdown) akibat jumlah kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19).
CNBC International yang mengutip BBC melaporkan Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson dikabarkan mempertimbangkan untuk kembali lockdown untuk menghentikan penyebaran Covid-19. Rencana tersebut kembali mengemuka setelah Inggris melaporkan lebih dari 4.000 kasus baru virus corona pada hari Minggu lalu.
Kepala petugas medis Inggris, Chris Whitty, kemarin memperingatkan jika tren penambahan kasus terus berlanjut dan tidak ada tindakan yang diambil, maka akan ada penambahan kasus sebanyak 50.000 per hari di pertengahan Oktober nanti.
Inggris tidak sendirian, banyak negara-negara Eropa mengalami peningkatan kasus yang signifikan setelah kebijakan lockdown dilonggarkan.
"Lebih dari setengah negara Eropa melaporkan peningkatan kasus Covid-19 lebih dari 10% dalam dua pekan terakhir. Dari semua negara tersebut, 7 negara melaporkan kasus baru bertambah lebih dari 2 kali lipat pada periode yang sama," kata Hans Kluge, Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) wilayah Eropa, sebagaimana dilansir CNBC International.
Peningkatan kasus tersebut, jika sampai memicu lockdown yang luas tentunya membuat pemulihan ekonomi kembali terganggu, bahkan bisa merosot kembali. Padahal Eropa sebelumnya digadang-gadang akan lebih cepat bangkit ketimbang Amerika Serikat.
Sementara itu skandal perbankan global mencuat setelah FinCEN Files yang berisi sekumpulan dokumen penting nan rahasia di dunia perbankan dan keuangan, bocor ke publik. Dokumen itu berisi 2.500 lembar halaman, sebagian besar adalah file yang dikirim bank-bank ke otoritas Amerika Serikat (AS) antara tahun 1999 sampai 2017.
Di dalam file tersebut terdapat skandal penggelapan dana hingga pengemplangan pajak dari lembaga keuangan besar dunia. Terdapat penjelasan soal bagaimana beberapa bank terbesar di dunia mengizinkan kriminal mentransaksikan "uang kotor" ke seluruh dunia dan nilainya mencapai sekitar US$ 2 triliun
Ada 5 bank besar yang disebut dalam file tersebut, HSBC, JPMorgan Chase, Deutsche Bank, Standard Chartered dan Bank of New York Mellon.
CNBC International yang mengutip radio Jerman, Deutsche Welle melaporkan Deutche Bank dicurigai memfasilitasi lebih dari setengah nilai transaksi tersebut.
Alhasil saham sektor finansial mengalami aksi jual Senin kemarin, mulai dari sesi Asia, Eropa, hingga ke AS.
Sentimen negatif tersebut kemungkinan akan berlanjut pada hari ini. Tidak hanya IHSG, rupiah dan SUN juga akan terkena dampaknya.
Ambrolnya bursa saham AS kemarin membuat indeks dolar menguat tajam 0,67% ke 93,546 yang merupakan level tertinggi dalam lebih dari 1 bulan terakhir.
Penguatan tersebut tentunya akan memukul rupiah pada perdagangan hari ini.
Sementara itu dari dalam negeri, rencana amandemen undang-undang Bank Indonesia (BI) masih menjadi sorotan investor asing. Aliran modal asing dilaporkan mulai keluar dari pasar obligasi Indonesia, yang tentunya bisa memberikan efek negatif ke pasar keuangan.
"Sejak arus modal keluar yang sangat besar kami melihat pasca lonjakan awal Covid ... arus modal benar-benar sangat lesu dalam hal minat asing untuk obligasi Indonesia," kata Stuart Ritson, manajer portofolio utang pasar berkembang di Aviva Investors, sebagaimana dilansir Reuters, Senin (21/9/2020).
"Tentu saja berita utama seperti yang telah kita lihat selama beberapa minggu terakhir yang mempertanyakan independensi bank sentral kemungkinan akan membuat investor lebih berhati-hati dalam mengalokasikan modal," tambahnya.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Pidato Gubernur Bank Sentral Inggris (14:30 WIB)
- Current Account Hong Kong (15:30 WIB)
- Testimoni Ketua The Fed, Jerome Powell (21:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (kuartal II-2020 YoY) | -5,32% |
Inflasi (Agustus 2020 YoY) | 1,32% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2020) | 4% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -6,34% PDB |
Transaksi berjalan (kuartal II-2020) | -1,18% PDB |
Neraca pembayaran (kuartal II-2020) | US$ 9,24 miliar |
Cadangan devisa (Agustus 2020) | US$ 137,04 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA