Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (The Fed) mengumumkan kebijakan moneter Kamis (17/9/2020) dini hari waktu Indonesia.
Bisa dikatakan, pengumuman tersebut menjadi "antiklimaks" dari rentetan kebijakan moneter yang dilakukan sepanjang tahun ini, merespon kemerosotan ekonomi akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19).
Pada acara simposium Jackson Hole akhir Agustus lalu, bos The Fed, Jerome Powell, mengubah pendekatannya terhadap target inflasi. Sebelumnya The Fed menetapkan target inflasi sebesar 2%, ketika sudah mendekatinya maka bank sentral paling powerful di dunia ini akan menormalisasi suku bunganya, alias mulai menaikkan suku bunga.
Kini The Fed menerapkan "target inflasi rata-rata" yang artinya The Fed akan membiarkan inflasi naik lebih tinggi di atas 2% "secara moderat" dalam "beberapa waktu", selama rata-ratanya masih 2%.
Dengan "target inflasi rata-rata" Powell mengatakan suku bunga rendah bisa ditahan lebih lama lagi.
Kebijakan tersebut kemungkinan menjadi "pamungkas" bagi The Fed, sebab pada saat pengumuman dini hari tadi, The Fed tidak memberikan perubahan apapun, malah menunjukkan sikap optimistis perekonomian AS akan segera pulih dari resesi.
Suku bunga tetap sebesar <0,25%, sementara nilai pembelian aset (quantitative easing/QE) tidak akan ditingkatkan. Untuk diketahui, QE The Fed saat ini nilainya tak terbatas, artinya berapapun akan digelontorkan guna memacu perekonomian.
Kebijakan QE tanpa batas tersebut membuat pasar tidak tahun pasti berapa nilai QE yang digelontorkan The Fed per bulannya.
Nilai QE yang digelontorkan The Fed bisa terlihat dari Balance Sheet yang dimiliki. Semakin banyak aset (obligasi dan surat berharga lainnya) yang dibeli, maka nilai Balance Sheet akan semakin besar.
Data dari Federal Reserve menunjukkan hingga 8 September lalu, total Balance Sheet The Fed sebesar US$ 7,01 triliun, tetapi laju kenaikannya landai, bahkan sudah lebih rendah ketimbang bulan Juni lalu yang mencapai US$ 7,168 triliun.
Balance Sheet The Fed mengalami lonjakan signifikan pada periode Maret yang masih di kisaran US$ 4,3 triliun sampai Juni yang lebih dari dari US$ 7 triliun.
Artinya, selepas bulan Juni, pembelian aset The Fed tidak sebesar bulan-bulan sebelumnya, dan kemungkinan ke depannya juga tidak besar lagi.
Hal terbaru yang diberikan The Fed adalah kejelasan mengenai suku bunga yang tidak akan dinaikkan hingga tahun 2023. Selain itu, inflasi yang menjadi salah satu indikator The Fed dalam mengubah kebijakannya juga diprediksi tidak akan mencapai 2% sampai 2023.
Anggota komite pembuat kebijakan (Federal Open Market Committee/FOMC) merevisi target pertumbuhan ekonomi AS. Untuk tahun ini, kontraksi produk domestik bruto (PDB) diprediksi sebesar 3,7%, jauh lebih baik dari perkiraan sebelumnya minus 6,5%.
Karena kontraksi tahun ini lebih baik, pertumbuhan ekonomi di tahun-tahun berikutnya direvisi menjadi lebih rendah. Hal ini terjadi karena low base effect di tahun ini yang tidak sedalam prediksi sebelumnya.
FOMC melihat di tahun 2021 PDB tumbuh 4% lebih rendah dari proyeksi Juni lalu sebesar 5%. Sementara di tahun 2022 diturunkan menjadi 3% dari 3,5%, dan tahun 2023 sebesar 2,5%.
Inflasi tahun ini juga diproyeksikan sebesar 1,3% sampai 1,5%, jauh lebih tinggi ketimbang proyeksi sebelumnya 0,8%. Sementara tingkat pengangguran diramal menjadi 7,6%, lebih rendah dari perkirakan sebelumnya 9,3%.
Untuk diketahui, tingkat pengangguran AS di bulan Agustus sudah berada di level 8,4%, jauh lebih baik ketimbang proyeksi The Fed sebelumnya untuk tahun ini 9,3%.
Dengan proyeksi optimistis tersebut, kemungkinan besar The Fed tidak akan mengubah kebijakannya lagi, kecuali terjadi kemerosotan signifikan di perekonomian AS.
Dengan proyeksi kebangkitan ekonomi yang optimistis, dan tidak ada perubahan kebijakan sama sekali, dolar AS menjadi aset yang terlihat paling diuntungkan. Indeks dolar AS hari ini sempat menguat 0,41% ke 93,592.
Indeks dolar AS tersebut dibentuk dari enam mata uang, euro, yen, poundsterling, dolar Kanada, franc Swiss, dan krona Swedia, tetapi juga menjadi tolak ukur kekuatan dolar AS.
Mata uang pembentuk dolar indeks tersebut bank sentralnya juga menerapkan suku bunga rendah, sehingga imbal hasil yang diberikan tentunya tidak terlalu jauh.
Berbeda dengan Indonesia dimana suku bunga masih 4%, ada selisih yang cukup lebar, sehingga ada peluang rupiah masih bisa menguat melawan dolar AS dengan kebijakan yang diterapkan The Fed. Apalagi jika perekomian AS bangkit yang membuat sentimen pelaku pasar membaik, aliran modal tentunya akan masuk ke negara emerging market, seperti Indonesia. Rupiah pun punya tenaga untuk menguat.
Sementara itu, pasar saham, khususnya Wall Street, belum menunjukkan reaksi positif dari kebijakan The Fed tersebut. Maklum saja, Wall Street sudah memecahkan rekor tertiggi beberapa pekan lalu, sehingga tanpa tambahan stimulus dari The Fed, kinerjanya jadi melempem.
Tetapi, suku bunga rendah yang ditahan dalam waktu yang cukup lama sebenarnya memberikan sentimen positif ke bursa saham.
Emas kemungkinan menjadi aset yang terancam gagal memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa lagi, seandaianya indeks dolar AS terus menguat, apalagi jika pemulihan ekonomi AS mampu mengejar Eropa.
TIM RISET CNBC INDONESIA