Jakarta, CNBC Indonesia - Seperti yang sudah diperkirakan, Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan. Di tengah ancaman resesi, ekonomi Indonesia membutuhkan dukungan dari segala lini, termasuk kebijakan moneter.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 16-17 September 2020 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 4%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,75%. Keputusan ini konsisten dengan perlunya menjaga stabilitas eksternal, di tengah inflasi yang diprakirakan tetap rendah. Bank Indonesia menekankan pada jalur kuantitas melalui penyediaan likuiditas untuk mendorong pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19," papar Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam keterangan usai RDG.
Di satu sisi, keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan dapat dimaklumi. Sebab bagaimana pun mandat BI sesuai UU No 3/2004 adalah menjaga stabilitas nilai rupiah.
Mata uang Tanah Air memang tertekan pada kuartal III-2020. Sejak akhir Juni hingga kemarin, rupiah melemah 4,55% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah jadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia.
Jika suku bunga acuan dipangkas, maka imbalan berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah (utamanya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) akan ikut turun. Ini bisa membuat investor kurang tertarik masuk ke pasar keuangan Tanah Air sehingga menyebabkan rupiah melemah lebih dalam lagi.
Namun di sisi lain, ekonomi Indonesia tengah menghadap ancaman yang luar biasa. Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) telah memukul dua sisis ekonomi sekaligus, penawaran dan permintaan.
Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) demi meredam penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini membuat aktivitas masyarakat menjadi terbatas. Hasilnya, output ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mengalami kontraksi alias pertumbuhan negatif 5,32%.
Pada kuartal III-2020, kemungkinan besar kontraksi masih akan terjadi. Kontraksi PDB dalam dua kuartal beruntun namanya resesi. Jadi Indonesia sedang berada di bibir jurang resesi.
Pemerintah memang sudah menganggarkan anggaran stimulus fiskal. Dana yang disediakan adalah Rp 695,2 triliun yang terbagi menjadi:
- Penanganan aspek kesehatan Rp 87,55 triliun.
- Perlindungan sosial Rp 203,9 triliun.
- Insentif usaha Rp 120,61 triliun.
- Pembiayaan korporasi Rp 53,57 triliun.
- Sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah Rp 106,11 triliun.
Namun perlu diingat, stimulus fiskal ini sifatnya adhoc. Sekali pukul, belum tentu tahun depan ada lagi. Tidak bisa diharapkan untuk jangka panjang.
Agar ekonomi bisa pulih dalam jangka menengah panjang, konsumsi rumah tangga dan investasi harus dibangkitkan. Sebab dua pos ini adalah menyumbang terbesar dala pembentukan PDB nasional. Jika keduanya bangkit, maka niscaya kontraksi akan berakhir dan ekonomi Ibu Pertiwi kembali tumbuh positif.
Bagaimana caranya untuk menggairahkan konsumsi dan investasi? Suku bunga bisa menjadi solusi.
Ketika suku bunga (terutama kredit perbankan) murah, maka rumah tangga dan dunia usaha akan tertarik untuk mengakses kredit. 'Darah' dari perbankan ini menjadi bekal untuk melakukan ekspansi.
Supaya suku bunga perbankan turun, ada baiknya dipelopori oleh suku bunga acuan. Penurunan suku bunga acuan akan mempengaruhi suku bunga di Pasar Uang Antar-Bank (PUAB), dan kemudian suku bunga simpanan, lalu akhirnya ke suku bunga kredit.
Sepanjang 2020, BI 7 Day Reverse Repo Rate sudah turun 100 basis poin (bps). Dalam periode yang sama, rata-rata suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) di bank komersial turun 62 bps.
Perbankan sudah merespons penurunan suku bunga acuan (meski belum maksimal). Oleh karena itu, penurunan suku bunga acuan diharapkan mampu menurunkan suku bunga kredit lebih jauh lagi.
Mengutip Analisis Hasil Survei Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha keluaran Badan Pusat Statistik (BPS), tidak ada pengusaha (baik kecil maupun besar) yang memandang stabilitas nilai tukar sebagai bantuan yang dibutuhkan untuk menghadapi dampak pagebluk virus corona. Malah banyak pengusaha yang mendambakan relaksasi/penundaan pembayaran kredit.
Salah satu cara agar perbankan bisa memberikan keringanan pembayaran kredit adalah likuiditas harus memadai. Ini bisa terjadi saat biaya dana perbankan turun, yang bisa diwujudkan dengan penurunan suku bunga acuan.
Saat beban pengusaha berkurang, maka ekspansi bisa dilakukan. Ekspansi usaha berarti penciptaan lapangan kerja, pengurangan pengangguran, dan pengentasan kemiskinan. Indonesia bisa cepat mentas dari 'lumpur' resesi sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, MH Thamrin diharapkan bisa ikut memainkan perannya dalam mengangkat derajat rakyat Indonesia. Penurunan suku bunga acuan bisa menjadi upaya menuju ke sana.
Bagaimana, Pak Gubernur Perry...?
TIM RISET CNBC INDONESIA