Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar modal nasional pada perdagangan Selasa (1/9/2020) sempat jatuh terpukul data inflasi Agustus yang masih muram, tetapi bangkit berkat data manufaktur yang terindikasi membaik. Hari ini, saatnya outward looking, memperhatikan sentimen pasar global menyusul beberapa rilis data penting perekonomian.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan pertama September, Selasa (1/9/20) ditutup terbang 1,38% di level 5.310,67 setelah sempat terdesak ke jalur merah pada penutupan sesi pertama.
Pada penutupan sesi satu, IHSG melemah 1,04 poin (-0,02%). Investor asing melakukan aksi jual bersih sebanyak Rp 491 miliar di pasar reguler, dari nilai transaksi harian Rp 8 triliun. Koreksi terjadi setelah Badan Pusat Statistik (BPS) merilis deflasi Agustus.
Inflasi bulan lalu -0,05% secara bulanan (month-to-month/MtM) alias deflasi. Sementara itu inflasi tahunan (year-on-year/YoY) tercatat sebesar 1,32%. Ini mengindikasikan permintaan masyarakat masih lemah akibat pandemi.
Akan tetapi tanda kebangkitan perekonomian Indonesia datang dari IHS Markit yang melaporkan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia periode Agustus 2020 berada di 50,8 atau naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 46,9.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal. Kalau sudah di atas 50, berarti pelaku usaha terindikasi siap melakukan ekspansi. Akibatnya, optimisme pasar mengembang dan IHSG pun terbang sampai dengan sesi penutupan.
Hal serupa terjadi di pasar uang di mana rupiah membuka perdagangan di level Rp 14.530/US$, atau menguat 0,21%. Namun tidak lama kemudian, Mata Uang Garuda ini langsung masuk ke zona merah, melemah 0,34% ke Rp 14.610/US$ jelang rilis inflasi.
Namun pada penutupan perdagangan, penguatan rupiah mereda menyusul rilis PMI manufaktur. Kurs mata uang nasional ini berada di level Rp 14.565/US$, atau melemah tipis 0,04% di pasar spot.
Sementara itu, harga obligasi pemerintah bergerak mixed. Investor memburu Surat Berharga Negara (SBN) berjatuh tempo pendek, sementara instrumen serupa berjatuh tempo panjang cenderung dihindari, kecuali SBN 10 tahun.
Hal ini terlihat dari penurunan yield (imbal hasil) SBN tenor 1, 5, dan 10 tahun, sedangkan yield SBN bertenor 15, 20 dan 30 tahun justru naik. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang turun. Demikian juga sebaliknya.
Yield SBN dengan tenor 10 tahun yang merupakan acuan harga obligasi negara mengalami penurunan ke level 6,858%. Dengan kata lain, investor masih optimistis di pasar obligasi, sehingga terjadi aksi beli yang mendongkrak harganya.
Bursa saham Amerika Serikat (AS) menutup perdagangan Selasa (1/9/2020) di jalur hijau berkat penguatan saham teknologi. Indeks Dow Jones Industrial Average menguat 215,6 poin (+0,8%) ke 28.645,66, Nasdaq reli 1,4% ke 11.939,67 dan S&P 500 naik 0,8% ke 3.526,65.
Saham Apple memimpin dengan lonjakan harga sebesar 4%, menyusul pemecahan nilai nominal saham (stock split) yang membuat saham mereka menjadi lebih murah dan analis mendongkrak target harga saham perseroan.
Sementara itu, harga saham Zoom melesat 40% lebih setelah melaporkan kinerja kuartalan yang fantastis pada kuartal kedua 2020. Penyedia aplikasi telekonferensi iitu mencetak pendapatan US$ 663,5 juta, atau di atas ekspektasi analis yang mematok US$500 juta.
Penguatan indeks bursa AS tersebut juga didorong data manufaktur yang lebih baik dari ekspektasi. Institute for Supply Management (ISM) menyebutkan Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers'Index/PMI) di level 56, atau yang tertinggi dalam 19 bulan terakhir.
Ini mengindikasikan bahwa sektor manufaktur Negara Adidaya itu kian optimistis dan tengah berkembang. Angka di atas 50 mengindikasikan ekspansi, dan sebaliknya di bawah 50 menunjukkan kontraksi.
"Seiring dengan pemulihan ekonomi, saya pikir anda akan melihat lebih banyak saham turut serta dalam reli ini," tutur Brent Schutte, Kepala Perencana Investasi Northwestern Mutual Wealth Management, sebagaimana dikutip CNBC International.
Penguatan saham teknologi sepanjang Agustus mendorong indeks Nasdaq melonjak 9,6% atau menjadi kinerja bulanan terbaik sejak 2000. Indeks S&P 500 dan Dow Jones juga mencetak kinerja terbaik mereka sejak 30 tahun terakhir pada Agustus.
Indeks S&P 500 telah menguat 7,2% sepanjang Agustus, mencetak kinerja terbaik sejak 1984. Sementara itu, indeks Dow Jones melesat lebih dari 8% dan menuju bulan Agustus terbaiknya dalam 36 tahun terakhir.
Selain itu, saham Walmart juga melesat-lebih dari 6%-setelah perusahaan peritel itu berencana merils program keanggotaannya, yakni Walmart+, bulan ini. Saham Tesla anjlok 4,7% setelah perseroan mengumumkan rencana menjual saham dengan target senilai US$ 5 miliar.
"Manakala kisah seputar pertumbuhan dan momentum menjadi pendorong utama keuntungan mereka, faktor nilai dan siklikal juga turun berperan serta di sini," tutur Mark Hackett, Kepala Riset Investasi Nationwide, dalam laporan risetnya sebagaimana dikutip CNBC International.
Namun harap diperhatikan, September secara historis dikenal sebagai bulan yang buruk bagi Wall Street sejak 1950. Data Almanac menyebutkan indeks Dow Jones melemah rata-rata sebesar 0,7% pada September sedangkan indeks S&P 500 rata-rata turun 0,5%.
Secara fundamental, perekonomian dunia memang masih belum pulih, akibat krisis pandemi yang memicu pembatasan sosial dan bahkan karantina wilayah (lockdown). Namun, naga-naganya, aktvitas manufaktur negara maju mulai berangsur membaik terlihat dari positifnya data Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) baru-baru ini.
Institute for Supply Management (ISM) menyebutkan PMI di level 56, yang merupakan angka tertinggi dalam 19 bulan terakhir. Ini mengindikasikan bahwa sektor manufaktur Negara Adidaya itu kian optimistis dan tengah berkembang. Angka di atas 50 mengindikasikan ekspansi, dan sebaliknya di bawah 50 menunjukkan kontraksi.
Optimisme itu sejalan dengan penguatan harga komoditas utama dunia sepanjang bulan lalu, yang mengindikasikan pertumbuhan permintaan di pasar menguat karena aktivitas industri mulai bergeliat. Pada Agustus, minyak mentah mencatatkan kinerja terbaik di antara tiga komoditas utama Indonesia. Minyak sawit mentah (CPO) berada di posisi kedua, disusul batu bara.
Pelaku pasar bakal mencari konfirmasi tambahan seputar sinyal adanya geliat perekonomian global dari data-data industri yang bakal dirilis hari ini. Pagi ini, American Petroleum Institute (API) melaporkan bahwa stok minyak mentah Amerika Serikat (AS) Agustus ternyata berkurang 6,36 juta barel, melanjutkan penurunan pada bulan Juli sebesar 4,5 juta barel.
Ini jauh lebih besar dari konsensus pasar yang dihimpun Tradingeconomics yang berujung pada estimasi penurunan sebesar 1,95 juta barel saja. Artinya, konsumsi energi utama dunia tersebut lagi ngegas. Saham-saham minyak yang selama ini sudah "berdarah-darah" pun berpeluang menjadi sasaran beli, guna menjaring keuntungan jangka pendek.
Dari Korea Selatan, inflasi Agustus bakal dirilis di mana pelaku pasar memperkirakan angkanya bakal meningkat menjadi 0,4% (secara tahunan), dari posisi sebelumnya 0,3%. Dengan kata laiin, konsumsi masyarakat Negeri Ginseng ini diekspektasikan membaik yang bakal kian memicu permintaan di sektor riil.
Kembali ke AS, bakal ada rilis data pesanan pabrik (di luar sekor transportasi) per Juli, di mana Tradingeconomics memperkirakan angkanya bakal bertumbuh menjadi 4,5% dari posisi sebulan sebelumnya 4,4%.
Jika data-data yang semarak tersebut menyerbu pasar global hari ini, maka tak ada alasan kuat bagi IHSG untuk bermuram durja.
Berikut sejumlah rilis data yang terjadwal untuk hari ini.
- Inflasi Korea Selatan per Agustus (06:00 WIB)
- Penjualan mobil Amerika Serikat (AS) per Agustus (07:00 WIB)
- Pertumbuhan PDB Australia per Q2-2020 (08:00 WIB)
- RUPST PT Bank Capital Indonesia Tbk (10:00 WIB)
- RUPST PT Bank Negara Indonesia Tbk (14:00 WIB)
- Rilis data tenaga kerja ADP AS (19:00 WIB)
- Pesanan pabrik AS per Juli (21:00 WIB)
- Rilis data stok bensin & minyak AS (21:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (kuartal II-2020 YoY) | -5,32% |
Inflasi (Agustus 2020 YoY) | 1,32% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2020) | 4% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -6,34% PDB |
Transaksi berjalan (kuartal I-2020) | -1,42% PDB |
Neraca pembayaran (kuartal I-2020) | -US$ 8,54 miliar |
Cadangan devisa (Juli 2020) | US$ 135,1 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA