Nama Sabana Prawirawidjaja mencuri perhatian pelaku pasar dalam sepekan terakhir usai transaksi jumbo yang dilakukannya di saham perusahaannya sendiri, PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk (ULTJ), produsen susu Ultramilk, Teh Kotak, Sari Kacang Ijo, dan Sari Asem Asli ini.
Kamis 13 Agustus, memang ada transaksi harian yang gede banget di Bursa Efek Indonesia (BEI). Nilainya mencapai Rp 10,6 triliun, di atas hari-hari biasanya yang paling banter sekitar Rp 6-8 triliun.
Ternyata tingginya jumlah transaksi tersebut disokong oleh transaksi gede di pasar negosiasi (satu dari tiga pasar di BEI selain pasar reguler dan pasar tunai) atas saham ULTJ.
PT Shinhan Sekuritas, perusahaan efek berkode broker AH, melakukan pembelian saham ULTJ lewat pasar negosiasi sebanyak 13 juta lot (1,3 miliar saham) di harga Rp 1.600/saham dengan nilai transaksi menembus Rp 2,1 triliun. Pembelian AH ini dilakukan dari broker penjual yakni PT Net Sekuritas (OK).
Awalnya belum terungkap siapa investor pembeli lewat broker AH. Namun data pemegang saham di atas 5% yang dipublikasikan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) per 14 Agustus menunjukkan, Sabana Prawirawidjaja yang memborong 1,3 miliar saham ULTJ (lewat pasar nego).
Sabana adalah generasi kedua, atau anak dari Ahmad Prawirawidjaja, pendiri dan pemilik perusahaan Ultrajaya.
Faktanya, data kepemilikan saham di atas 5% atas satu emiten yang dipublikasikan KSEI per 19 Agustus menunjukkan, memang tak ada lagi kepemilikan di atas 5% dari Indolife di ULTJ. Ada kemungkinan Indolife melepas mayoritas kepemilikannya sehingga porsinya di bawah 5% dan tidak tercatat dalam data KSEI lagi.
Padahal di akhir tahun lalu, Indolife masih memegang 1.731.034.000 saham atau 14,98% saham ULTJ. Dengan asumsi harga saham ULTJ pada akhir Desember Rp 1.680, maka nilai kepemilikan Indolife di ULTJ mencapai Rp 2,91 triliun.
Mengacu data KSEI per 19 Agustus tersebut, Indolife hanya tercatat memegang saham beberapa emiten dengan porsi di atas 5%. Deretan emiten tersebut yakni PT Bank Ina Perdana Tbk (BINA) sebanyak 21,47% (1.214.051.129), emiten suku cadang PT Nipress Tbk (NIPS) 7,59% (124.057.589), emiten pemilik Bali United, PT Bali Bintang Sejahtera Tbk (BOLA) 5,39% (323.168.000), GDWU 5,66% (14.263.940), dan PT Jembo Cable Company Tbk (JECC) 17.58% (26.578.300).
Dengan pembelian Sabana mencapai 1,3 miliar ULTJ senilai Rp 2,1 triliun, maka porsi saham menjadi 18,10% atau sebanyak 2.091.675.200 saham.
Kalau dihitung dengan asumsi harga saham ULTJ pada perdagangan 19 Agustus Rp 1.650/saham, maka nilai saham Sabana di Ultrajaya mencapai Rp 3,45 triliun. Sepekan terakhir saham ULTJ hanya menguat 2,48%.
Porsi ini belum dihitung dengan bagian Sabana di PT Prawirawidjaja Prakarsa, salah satu pemegang saham ULTJ. Saham Prawirawidjaja Prakarsa, mengacu data lapkeu ULTJ per 2019, dimiliki oleh Sabana (75%), Supiandi Prawirawidjaja (12,5%), dan Samudera Prawirawidjaja (12,5%). Sabana dan Supiandi adalah kakak-beradik pendiri perusahaan.
Meski membeli saham ULTJ Rp 2,1 triliun tersebut, tapi secara total hingga 19 Agustus, Sabana sebetulnya sudah menjual 1.584.390.100 saham perusahaan, dengan nilai mencapai Rp 2,61 triliun bila memakai asumsi harga saham Rp 1.650/saham.
Sabana Prawirawidjaja adalah anak tertua dari keluarga pendiri Ultrajaya yang dibangun oleh ayahnya, Ahmad Prawirawidjaja.
Hingga saat ini masih menjabat Presiden Direktur Ultrajaya yang didudukinya sejak 1971 atau sudah 49 tahun, hampir 5 dasawarsa memimpin perusahaan.
Tahun 2019, usianya menyentuh 79 tahun, atau kelahiran tahun 1940. Artinya pada saat menjabat bos besar Ultrajaya, usianya kala itu baru 31 tahun. Pengangkatan terakhir Sabana menjadi Presdir berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada 27 Juni 2019.
Di bawah kepemimpinannya, Ultraja mencapai kinerja positif. Bahkan di tengah pandemi Covid-19, performa Ultrajaya masih moncer.
Penjualan perusahaan pada semester I-2020 justru naik 1,68% menjadi Rp 3,02 triliun dari periode yang sama tahun lalu Rp 2,97 triliun di saat perusahaan lain mati-matian mempertahankan performa bisnis. Bahkan karyawan perusahaan pun pada Agustus ini masih sama dengan Desember tahun lalu sebanyak 1.097 orang.
Laba bersih ULTJ juga naik 9,2% menjadi Rp 554,95 miliar per semester I-2020, dari semester I-2019 sebesar Rp 508,58 miliar.
Kendati laba masih naik, dampak pandemi tetap ada. Sebab itu manajemen di bawah kepemimpinan Sabana menegaskan perseroan tetap mengambil strategi terbaik guna menjaga kinerja tetap positif.
"Manajemen menyadari permasalahan ini dan telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi dengan mengelola sumber daya dan operasi dengan hati-hati. Sampai saat ini belum dapat dipastikan bagaimana fenomena ini [Covid-19] mempengaruhi operasi perusahaan di masa yang akan datang," kata Eddi Kurniadi, Sekretaris Perusahaan, dalam keterbukaan informasi di BEI.
Perseroan juga memproyeksikan ada penurunan pendapatan dan laba bersih sebesar 25% tahun ini.
Tahun lalu, penjualan ULTJ naik 14,0% atau sebesar Rp 768,5 miliar dibandingkan 2018 yaitu dari Rp 5,47 triliun menjadi Rp 6,24 triliun.
Pendapatan terbesar masih diperoleh dari penjualan produk minuman yaitu 97% dari seluruh total penjualan bersih, sedangkan pendapatan dari penjualan produk makanan hanya 3%. Laba bersih tahun lalu mencapai Rp 1,04 triliun, naik 47.6% dari tahun sebelumnya Rp 701,6 miliar.
"Pencapaian tersebut menunjukkan bahwa kami berhasil mengatasi setiap tantangan-tantangan yang datang, dan mencerminkan upaya dan kerja keras semua pihak di dalam perseroan, yang bekerjasama dalam menjalankan semua kebijakan yang telah ditentukan," kata Sabana, dikutip dari laporan keuangan Desember 2019.
Perseroan, katanya, melakukan rekayasa atas beberapa rencana yang telah ditentukan sehingga berhasil memperoleh kinerja positif di tengah semakin banyaknya varian produk-produk UHT (Ultra High Temperature) yang beredar di pasar yang mengakibatkan semakin ketatnya persaingan. Tak hanya tantangan persaingan, sentimen lain ialah kondisi nilai tukar mata uang rupiah yang masih sangat berfluktuasi meski perseroan meyakini peluang di bisnis ini masih sangat besar dan potensial.
Selain menjabat Presdir Ultrajaya selama hampir 50 tahun, Sabana juga menduduki posisi sebagai Komisaris di PT Kraft Ultrajaya Indonesia sejak 1994, Presiden Komisaris PT Campina Ice Cream Industry Tbk (sejak 1995, kini diganti Yutianto Isnandar), dan Direktur Utama PT Ultra Sumatera Dairy Farm sejak 2018.
 Foto: Screentshot Lapkeu ULTJ Screentshot Lapkeu ULTJ |
Dia juga memegang posisi Komisaris PT Ultra Peternakan Bandung Selatan sejak 2008, Komisaris Utama PT Ito En Ultrajaya Wholesale sejak 2013, dan Komisaris PT Ultrajaya Ito En Manufacturing sejak tahun 2013. Sabana adalah alumnus General Management, Nan Yang University, Singapore, sebagaimana terungkap dalam profil Sabana di laporan keuangan tahunan 2019.
Adiknya, Supiandi Prawirawidjaja, kelahiran 1944, juga menjadi salah seorang pendiri perseroan.
Supiandi pernah menjabat sebagai Wakil Direktur Perseroan (1971-1980) dan diangkat sebagai Presiden Komisaris Ultrajaya sejak 1980 atau saat usianya 36 tahun. Dia menempuh pendidikan di bidang Business Administration, Nan Yang University, Singapore dan lulus tahun 1967.
 Foto: Screentshot Lapkeu ULTJ Screentshot Lapkeu ULTJ |
Saudara lainnya, Suhendra Prawirawidjaja, kelahiran 1968, menjabat Komisaris Ultrajaya sejak 2019. Supiandi juga menjabat sebagai pengelola CH Art & Poetry Studio (1999-sekarang). Suhendra menempuh pendidikan di bidang ekonomi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ganesha dan Universitas Padjadjaran.
Nama lain yang juga terafiliasi adalah sang penerus perusahaan yakni Samudera Prawirawidjaja. Saat ini pria kelahiran 1964 ini menjabat Direktur ULTJ, yang diembannya sejak tahun 1989, atau kala usianya baru 25 tahun. Posisi itu dijabatnya setahun setelah lulus dari Southern California College, AS.
Tak hanya itu, Samudera kini juga didapuk menjadi Direktur Utama Campina Ice Cream Industry setelah sebelumnya di posisi direktur sejak 1995. Dia menjabat sebagai Direktur PT Kraft Ultrajaya Indonesia sejak 1994 dan Direktur PT Ito En Ultrajaya Wholesale sejak 2013.
Perusahaan-perusahaan tersebut adalah bagian dari jejaring bisnis Grup Ultrajaya, dengan dua perusahaan tercatat di BEI yakni Ultrajaya dan Campina Ice Cream Industry dengan kode saham CAMP.
Berikut jejaring Grup Ultrajaya:
 Foto: Bisnis Ultrajaya, Screenshot Lapkeu ULTJ |
Dengan guritanya bisnis keluarga ini, maka wajar bila Sabana dan keluarganya dimasukkan oleh Forbes dalam jajaran orang terkaya di Tanah Air atau crazy rich Indonesia. Mereka masuk urutan urutan 36 pada 2019 dengan kekayaan bersih per Desember 2019 sebesar US$ 915 juta atau setara Rp 14 triliun (asumsi kurs Rp 14.900/US$).
Di Campina Ice Cream Industry, Sabana memegang mayoritas saham sebesar 83,87% per Desember 2019.
Pemegang Saham Campina per Juni 2020
Pemegang Saham CAMP Juni 2020 | % | Jumlah Saham |
Sabana Prawirawidjaja | 83,87 | 4.936.000.000 |
Darmo Hadipranoto | 0,49 | 28.800.000 |
Justiani Hadipranoto | 0,38 | 22.400.000 |
Hendro Hadipranoto | 0,11 | 6.400.000 |
Listijani Hadipranoto | 0,11 | 6.400.000 |
Investor Publik | 15,04 | 885.000.000 |
Sumber: BEI
Berawal dari Susu Rumahan
Bisnis Ultrajaya sebetulnya bermula dari usaha keluarga yang dirintis sejak 1960-an oleh almarhum Achmad Prawirawidjaja.
Sejarah perusahaan yang terekam di laporan keuangan menceritakan, pada awalnya, perseroan hanya memproduksi produk susu yang pengolahannya dilakukan secara sederhana, dan susu pun tak bertahan lama, sehingga banyak terbuang serta tidak efisien.
Tapi pada pertengahan 1970-an, perseroan mulai memperkenalkan teknologi pengolahan secara UHT (Ultra High Temperature) dan teknologi pengemasan dengan kemasan karton aseptik (Aseptic Packaging Material).
Prosesnya begini; susu dipanaskan dengan suhu 140 derajat celcius dalam waktu 3-4 detik. Dengan teknologi pengolahan UHT ini, produk-produk minuman itu menjadi steril karena seluruh bakteri, baik yang menimbulkan penyakit maupun bakteri yang merusak minuman, menjadi terbunuh. Pemrosesan ini bertujuan membuat susu UHT lebih tahan lama meski tidak mengandung pengawet.
Susu murninya dipasok oleh para peternak sapi yang tergabung dalam Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS)-Pangalengan dan koperasi unit desa lainnya, sedangkan daun teh perseroan dipasok oleh PT Perkebunan (PTP).
Tahun 1975, mereka mulai memproduksi secara komersial produk minuman susu cair UHT dengan merek dagang Ultra Milk, lalu pada 1978 memproduksi minuman sari buah UHT dengan merek dagang Buavita, dan minuman teh UHT yakni Teh Kotak pada 1981.
Hingga Desember 2019, perseroan memproduksi lebih dari 60 macam jenis produk minuman UHT.
 Foto: Sabana Prawira/Forbes Sabana Prawira/Forbes |
Pada 1981, perseroan menandatangani perjanjian lisensi dengan Kraft General Food Ltd, AS, untuk memproduksi dan memasarkan produk- produk keju dengan merwk dagang Kraft. Tahun 1994, kerja sama ini ditingkatkan dengan mendirikan perusahaan patungan PT Kraft Ultrajaya Indonesia, yang 30% sahamnya dimiliki oleh perseroan.
Salah satu pencapaian terbaik ialah Juli 1990 saat perseroan melakukan penawaran perdana saham (initial public offering/IPO) kepada masyarakat.
Dalam IPO ini, perseroan melepas sebanyak 6.000.000 saham dengan harga penawaran Rp 7.500/saham. Hingga tahun lalu, Ultrajaya sudah tiga kali melakukan penawaran umum dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau Right Issue, yaitu 1994, 1999, dan 2004.
Perseroan juga dua kali melakukan pemecahan nilai nominal saham (stock split) yaitu pada 2000 dengan rasio 1: 5, dan 2017 dengan rasio 1:4.
Selain menitikberatkan pada susu Ultramilk dan Teh Kotak, perseroan juga fokus memproduksi minuman seperti susu cair, sari buah, teh, minuman tradisional dan minuman kesehatan. Penjualannya dilakukan melalui modern trade via minimarket, supermarket, dan hypermarket.
Di Pulau Jawa, mereka menjual produk secara langsung ke pengecer modern, pengecer tradisional dan para pedagang grosir, dengan menggunakan jaringan distribusi dari PT Nikos Distribution Indonesia, entitas anak yang 70% sahamnya dimiliki perseroan.
Di Luar Pulau Jawa, mereka menjual produk melalui kurang lebih 50 distributor yang tersebar di seluruh Indonesia. Perusahaan juga melakukan penjualan ekspor ke beberapa negara seperti Australia, Nigeria, Arab Saudi, dan AS. Di Asia, di antaranya ke Brunei Darussalam, Singapura, Korea Selatan, Kamboja, dan China.
Investasi ke bisnis es krim pertama kali dilakukan dengan masuk ke Campina tahun 1994. Masuknya keluarga Prawirawidjaja di Campina kemudian mengubah nama perusahaan Campina menjadi Campina Ice Cream Industry.
Situs perusahaan mencatat bisnis Campina berawal pada 22 Juli 1972, dimulai dari Darmo Hadipranoto beserta istri, saat membuat es krim Campina di garasi rumahnya di Jalan Gembong Sawah, Surabaya. Saat itu nama perusahaan bernama CV Pranoto.
Campina pun ikut masuk pasar modal dengan melakukan IPO pada 19 Desember 2017 dengan kode saham CAMP.
Campina mencatatkan 5,88 miliar saham yang terdiri dari saham pendiri sebanyak 5 miliar dan 885 juta saham IPO. Harga IPO sebesar Rp 330/saham sehingga CAMP mengantongi dana segar sebesar Rp 292,05 miliar.
Pemegang Saham CAMP per Juni 2020:
Pemegang Saham CAMP Juni 2020 | % | Jumlah Saham |
Sabana Prawirawidjaja | 83,87 | 4.936.000.000 |
Darmo Hadipranoto | 0,49 | 28.800.000 |
Justiani Hadipranoto | 0,38 | 22.400.000 |
Hendro Hadipranoto | 0,11 | 6.400.000 |
Listijani Hadipranoto | 0,11 | 6.400.000 |
Investor Publik | 15,04 | 885.000.000 |
Sumber: BEI
Perseroan sebetulnya cukup inovatif dengan menciptakan beberapa produk di luar susu dan laku keras. Itu pula yang membuat perusahaan konsumer asal Belanda, Unilever, via PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) kepincut.
Pada 2008, Ultrajaya pun menjual merek dagang Buavita dan Go-Go kepada Unilever Indonesia, dan mengadakan Perjanjian Produksi (Manufacturing Agreement) untuk memproduksi dan mengemas minuman UHT dengan merk dagang Buavita dan Go-Go.
"Pada Januari 2008, kami menyelesaikan akuisisi brand Buavita dari UltraJaya senilai Rp 440 miliar, sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai," tulis manajemen Unilever, dikutip dari laporan keuangan Desember 2008.
"Semua brand-brand unggulan dalam portofolio Foods telah memberikan kontribusi bagi kesuksesan pada tahun 2008, di mana Blue Band, Royco, Sariwangi, dan Bango menunjukkan kinerja sangat bagus."
"Untuk mendukung misi brand Unilever guna menambah vitalitas bagi kehidupan, divisi Customer Development memastikan bahwa produk-produk vitalitas baru, seperti Buavita dan Cone serta Stick Moo, cepat tersedia dan terlihat di hadapan para pelanggan dan pembeli," tulis Unilever.
Secara kinerja, perseroan masih membukukan laba bersih naik 9,2% menjadi Rp 554,95 miliar per semester I-2020, dari semester I-2019 sebesar Rp 508,58 miliar.
Perseroan juga baru melaksanakan pembelian kembali (buyback) saham perusahaan sebanyak 1.155.532.800 saham atau 10% dari modal disetor, per 5 Agustus lalu. Nilai buyback itu sesuai dengan rencana awal yakni sebesar Rp 1,9 triliun guna menjaga harga saham perseroan tetap di jalur positif.
"Perseroan membatasi harga maksimal pembelian kembali saham sebesar Rp 1.600/saham," tulis Eddi Kurniadi, Sekretaris Perusahaan Ultrajaya, dalam keterbukaan informasi di BEI.
Sementara, di Campina, performa agak sedikit menurun. Penjualan CAMP semester I-2020 turun 8,83% menjadi Rp 459,02 imliar dari periode yang sama tahun lalu Rp 503,48 miliar, laba pun melorot signifikan 53% menjadi Rp 14,93 miliar dari sebelumnya Rp 31,75 miliar.
"Hingga pada saat ini kami secara konsisten melaksanakan penerapan protokol kesehatan di lingkungan kerja, untuk sedapat mungkin menghindari adanya penularan Covid-19 yang terjadi di area kerja maupun seluruh area sales and distribusi Campina," kata Sagita Melati, Sekretaris Perusahaan CAMP, dalam suratnya kepada BEI.
Buyback itu, bagi manajemen, tidak berdampak signifikan terhadap kegiatan usaha ULTJ, apalagi secara fundamental modal perusahaan masih kokoh.
"Pelaksanaan buyback diharapkan tidak akan mempengaruhi kegiatan usaha dan operasional perseroan dikarenakan kami telah memiliki modal kerja yang cukup baik untuk menjalankan kegiatan usaha perseroan," kata Eddi.
Dalam hal prospek, sang Presdir Ultrajaya, Sabana Prawirawidjaja, meyakini peluang bisnis sangat terbuka. "Faktor lain yang dapat menunjang pengembangkan usaha adalah masih rendahnya tingkat konsumsi susu cair di kalangan masyarakat Indonesia, dan adanya kebiasaan di masyarakat Indonesia untuk minum teh," katanya.
"Dengan demikian, prospek pasar produk minuman susu cair dan teh yang merupakan produk-produk perseroan, khususnya yang diproses secara UHT, masih sangat baik dan menjanjikan," tegasnya, dikutip dari lapkeu Desember 2019.
Konsumer
Pada semester II-2020 ini, bisnis consumer goods yang dijalani Ultrajaya dan Campina, dinilai menjadi satu sektor prospektif. PT Danareksa Sekuritas menyebut beberapa sektor masih memiliki peluang tumbuh di antaranya konsumer, telekomunikasi, emiten rokok, dan menara telekomunikasi.
"Di tengah pandemi yang uncertain [tak pasti], beberapa sektor justru bisa tahan dan menjadi sektor potensial. Secara valuasi memang sudah cukup rendah, jadi potensi untuk naik ada," kata Direktur Utama PT Danareksa Sekuritas, Friderica Widyasari Dewi, dalam diskusi virtual, Jumat petang (3/7/2020).
Secara price to earnings ratio (PER) atau rasio harga saham terhadap laba bersih terbilang rendah (murah), sehingga ada potensi kenaikan saham-saham tersebut. PER biasa dipakai untuk melihat valuasi harga saham emiten, semakin rendah nilai PER, berarti harga saham perusahaan tersebut semakin murah, begitu sebaliknya.
PT Schroder Investment Management Indonesia (Schroders Indonesia) pun menyebut sektor defensif yakni konsumer dan telekomunikasi.
"Yang bertahan konsumer karena kebutuhan pokok di saat kondisi ekonomi lemah ini, bahkan ada beberapa barang kebutuhan pokok yang ada lonjakan karena kebijakan ini menyebabkan konsumen stocking up atau beli dalam jumlah yang lebih besar daripada ekonomi normal. Sektor paling defensif," kata Direktur Schroders Indonesia Irwanti, Selasa (14/4/2020).
"Sektor lain kena dampak negatif sedangkan dua sektor ini saja yang defensif saat sulit saat ini," imbuhnya.
Data BEI mencatat, saham ULTJ dalam sepekan terakhir hingga 19 Agustus naik 2,48% di level Rp 1.650/saham, dan sebulan naik 3,13%. Tahun berjalan atau year to date, saham ULTJ minus 1,79%. Kapitalisasinya Rp 19,06 triliun.
PER perusahaan di level 17,19 kali, Book Value per Share (nilai buku per saham/BVPS) Rp 528, dan Price to Book Value (rasio harga terhadap nilai buku/PBV) 3,13 kali.
Bandingkan dengan UNVR dengan PER 43,16 kali, BVPS Rp 231, PBV 35,50 kali, atau PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dari Grup Salim dengan PER 17,44 kali, PBV 4,10 kali, BVPS Rp 2.463, dan PT Diamond Food Indonesia Tbk (DMND) dengan PER 50 kali dan PBV 2,01%.
Jadi, ingin menjadi pemegang saham ULTJ bersama dengan keluarga Prawirawidjaja?
Semuanya kembali kepada Anda...