
Morgan Stanley Sebut Mata Uang Ini Terbaik, Dolar AS Kah?

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank investasi global yang berbasis di New York, Morgan Stanley, menilai mata uang yang masuk kategori aset aman (safe haven) untuk diperdagangkan dan terbaik hingga sisa tahun ini yakni dolar Amerika Serikat (AS).
Kendati Morgan Stanley juga menilai mata uang yen Jepang dan franc Swiss juga masih punya kesempatan menjadi 'taruhan' investasi yang relatif aman di pasar valas (valuta asing) global.
Kurs dolar AS, alias greenback ambruk ke level terendah dalam 27 bulan terakhir pada Selasa lalu (18/8/2020) terhadap sejumlah mata uang utama lainnya. Hal itu tercermin dari indeks dolar yang mencapai 92,477, level penurunan yang tidak pernah disentuh sebelumnya sejak Mei 2018, karena investor mulai berani mengambil risiko untuk beralih ke pasar saham.
Di pasar saham, Indeks S&P 500, salah satu indeks acuan di bursa Wall Street AS, naik ke level tertinggi setelah mampu mencatatkan penguatan. Indeks saham ini pulih dari kerugian pascaterdampak Covid-19 dengan mencetak reli lebih dari 54% dari level terendah yang dialami pada Maret lalu.
"Kami memperkirakan dolar AS (USD) menjadi mata uang safe haven terbaik, terutama saat ini, karena suku bunga AS yang lebih rendah membuatnya menjadi mata uang yang lebih menarik untuk transaksi carry trade," tulis analis Morgan Stanley dalam catatan penelitian, dikutip CNBC International, Kamis (20/8/2020).
Carry trade adalah trading valas dengan memanfaatkan selisih atau margin dari tingkat suku bunga antara dua mata uang.
Trader yang melalukan carry trader bisa tekor jika nilai mata uang yang dipinjam untuk membiayai carry trade tersebut menguat, atau mata uang targetnya melemah, dan bisa jadi kombinasi dari keduanya.
Carry trade terjadi ketika investor meminjam dalam mata uang berimbal hasil (yield) rendah seperti dolar AS atau yen untuk membeli investasi di aset berimbal hasil lebih tinggi di tempat lain untuk mendapatkan margin bunga.
Di tengah ketidakpastian akibat pandemi ini, investor dapat menguangkan aset berimbal hasil tinggi tersebut dan mengembalikannya ke mata uang yang dipinjam, yang pada gilirannya dapat memperkuat mata uang tersebut.
Hanya saja, analis Morgan Stanley tetap menegaskan investor perlu hati-hati lantaran risiko tetap ada saat ini. Oleh karena itu mereka mempertahankan analisis bahwa dolar AS masih punya "kecenderungan bearish" atau berpotensi melemah.
Sejumlah mata uang dunia mendapat sentimen positif, terpengaruh kekhawatiran di kalangan investor pada awal tahun ini, yang mendorong greenback ke level tertinggi dalam 3,5 tahun terakhir pada Maret lalu, ketika pandemi virus corona menyebar ke AS.
Saat ini, ketika investor mulai beralih kembali ke aspek fundamental, dolar AS pun melemah terhadap mata uang global.
Beberapa ahli strategi mata uang mengatakan bahwa ketidakpastian politik di AS, termasuk kebuntuan soal stimulus virus corona dari pemerintahan Presiden AS Donald Trump, juga menjadi sentimen negatif yang menekan dolar AS.
"Semakin lama kebuntuan di DC [Washington] terjadi, semakin besar pula bahaya bahwa aksi jual dolar dapat berubah menjadi kekalahan [pelemahan dolar]," tulis Boris Schlossberg, Direktur Pelaksana di BK Asset Management, dalam catatannya hari Selasa, dikutip CNBC.
Dinamika yen dan franc Swiss
Sementara itu, menurut analis Morgan Stanley, mata uang yen Jepang dan franc Swiss tetap menjadi surga bagi para trader, kedua mata yang ini mengalami dinamika pergeseran.
"Analisis korelasi dan arus terbaru menunjukkan bahwa USD/JPY bahkan bisa reli saat kekhawatiran investor berlawanan dengan persepsi pasar. Kami melihat bahwa investor Jepang benar-benar membeli aset asing pada saat ... ketidakpastian dan tidak melakukan repatriasi [dana], "kata mereka.
Yen, secara tradisional, dipandang sebagai mata uang dengan imbal hasil rendah karena Bank of Japan (BoJ), bank sentralnya, secara historis masih menjadi salah satu bank sentral yang menerapkan suku bunga acuan terendah di antara negara-negara maju.
Besaran suku bunga BoJ yang negatif diterapkan guna menjaga kebijakan jangka pendek di Negeri Sakura. Para pembuat kebijakan di BoJ secara umum terlihat berusaha mempertahankan kebijakan yang akan membantu melemahkan yen.
"Potensi apresiasi franc Swiss dibatasi oleh intervensi valas dari Bank Nasional Swiss," tambah analis Morgan Stanley.
Sebagai catatan, BoJ mempertahankan suku bunga di teritori negatif. Dalam pertemuan kebijakan yang berakhir Rabu (15/7/2020), BoJ memutuskan untuk mempertahankan suku bunga jangka pendeknya di -0,1%, target imbal hasil 10 tahun di kisaran nol, dan tidak mengubah pembelian asetnya.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Applause buat Rupiah! Tutup Pekan Terakhir 2020 dengan Manis
