
Duh! Spekulan Borong Dolar AS Senilai Rp 57 Triliun, Ada Apa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Ada kabar kurang sedap bagi rupiah yang bisa membuatnya tertekan melawan dolar Amerika Serikat (AS). Para spekulan meningkatkan posisi beli kontrak dolar AS lebih dari dua kali lipat dalam sepekan saja.
Kenaikan posisi beli dengan jumlah yang signifikan menjadi indikasi para spekulan melihat dolar AS akan menguat ke depannya.
Berdasarkan data dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC) yang dirilis Sabtu lalu, spekulan menambah posisi beli bersih (net long) dolar AS sebesar US$ 4 miliar atau sekitar Rp 57 triliun (kurs Rp 14.340/US$) menjadi US$ 7,88 miliar pada pekan yang berakhir 15 Maret, dibandingkan pekan sebelumnya US$ 3,88 miliar.
Posisi net long tersebut merupakan kontrak dolar AS melawan yen, euro, poundsterling, franc Swiss, dolar Kanada, dan dolar Australia, ditambah dolar Selandia Baru serta beberapa mata uang emerging market.
Kenaikan tersebut membuat posisi net long dolar AS naik ke level tertinggi sejak akhir Januari, naik dari level terendah 7 bulan.
Aksi spekulan tersebut dilakukan sebelum bank sentral AS (The Fed) mengumumkan kebijakan moneternya pada pekan lalu. Artinya, spekulan melihat kebijakan The Fed bisa membuat dolar AS menguat.
Seperti diketahui pada Kamis (17/3) dini hari waktu Indonesia, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5%. Ini merupakan kali pertama The Fed menaikkan suku bunga sejak tahun 2018.
Bank sentral paling powerful di dunia ini juga mengindikasikan di akhir tahun nanti suku bunga akan sangat agresif dalam menaikkan suku bunganya di tahun ini.
Dalam dot plot yang dirilis, sebanyak 10 anggota Komite Kebijakan Moneter (Federal Open Market Committee/FOMC) melihat suku bunga bisa dinaikkan hingga 7 kali di tahun ini, sebanyak 8 anggota lainnya bahkan melihat bisa lebih dari itu.
Dengan kenaikan sebanyak 7 kali, maka di akhir tahun ini suku bunga akan berada di kisaran 1,75% - 2%. The Fed akan melakukan 6 kali lagi rapat kebijakan moneter di 2022, artinya akan selalu ada kenaikan sebesar 25 basis poin di setiap pertemuan.
Selain mengerek suku bunga, The Fed juga berencana mengurangi nilai neracanya, hal ini bisa menyerap likuiditas lebih besar. Meski demikian, belum ada detail berapa besar nilai neraca yang akan dikurangi, Powell hanya mengindikasikan kebijakan tersebut akan dimulai pada bulan Mei.
Pengurangan nilai neraca tersebut bisa menyerap likuiditas di perekonomian AS, dengan kata lain jumlah dolar AS yang beredar akan berkurang. Hal ini tentunya bisa berdampak pada penguatan dolar AS, apalagi jika The Fed bertindak lebih agresif lagi.
Beberapa pejabat elit The Fed menginginkan suku bunga dinaikkan lebih tinggi lagi di tahun ini.
"Perekonomian kemungkinan akan menghadapi tekanan tinggi inflasi yang tinggi. The Fed perlu bertindak lebih agresif sehingga kebijakan moneter menjadi kontraktif agar membawa perekonomian ke ekuilibrium dengan target inflasi 2%," kata Presiden Fed wilayah Mnneapolis, Neel Kashkari, sebagaimana dilansir Reuters, Sabtu (19/3).
Presiden The Fed St. Louis, James Bullard menjadi yang paling bullish. Bullard pada pekan lalu sebenarnya memilih kenaikan sebesar 50 basis poin, dan menginginkan di akhir tahun nanti suku bunga mencapai 3%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Alamak! Cadev Ambles US$ 3,6 Miliar, BI Banyak Intervensi?