Pada Kamis (13/8/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.877. Rupiah melemah 0,68% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Sedangkan di pasar spot, rupiah menguat melemah 0,2% pada pukul 10:00 WIB. Mata uang Tanah Air membuka perdagangan pasar spot dengan stagnasi di Rp 14.685/US$ dan tidak butuh waktu lama untuk menyeberang ke jalur hijau. Namun kini rupiah malah merah.
Sayang sekali, karena depresiasi rupiah terjadi saat mayoritas mata uang utama Asia juga menguat di hadapan dolar AS. Sejauh ini hanya rupiah, rupee India, dolar Taiwan, dan baht Thailand yang masih melemah.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di perdagangan pasar spot pada pukul 10:03 WIB:
Tidak hanya di Asia, dolar AS juga melemah secara global. Pada pukul 09:14 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,18%.
Investor memang sedang kurang berminat terhadap mata uang Negeri Adidaya. Sebab, pembicaraan soal stimulus fiskal baru masih saja macet.
Kubu Partai Republik di House of Representatives (salah satu dari dua kamar yang membentuk Kongres AS) mengusulkan proposal stimulus baru bernilai US$ 1 triliun. Namun kubu oposisi Partai Demokrat enggan menyetujui karena merasa jumlahnya terlalu sedikit.
"Gedung Putih menghindar dari tanggung jawab untuk mengeluarkan paket stimulus dengan jumlah dan cakupan yang memadai. Kami bersedia melanjutkan negosiasi jika pemerintah sudah memiliki pandangan yang lebih serius," tegas Ketua House of Representaives Nancy Pelosi dan Pimpinan Mayoritas Senat Chuck Schumer dalam pernyataan tertulis. Pelosi dan Schumer adalah legislator dari Partai Demokrat.
Steven Mnuchin, Menteri Keuangan AS, mengungkapkan bahwa Demokrat baru ingin membuka ruang dialog jika nilai stimulus fiskal setidaknya US$ 2 triliun. Presiden Donald Trump berang.
"Chuck Schumer dan Nancy Pelosi menyandera rakyat AS demi agenda sayap kiri mereka. Negara ini tidak akan menerima hal tersebut," seru Trump, sebagaimana diberitakan Reuters.
Masih gelapnya paket stimulus baru membuat rakyat AS belum bisa menikmati Bantuan Langsung Tunai (BLT). Sebagai informasi, BLT senilai US$ 600/pekan sudah habis masa berlakunya sejak akhir bulan lalu dan tanpa paket stimulus baru maka tidak ada kelanjutannya.
Tanpa uluran tangan pemerintah, sulit untuk membuat ekonomi bergairah. Tanpa BLT, konsumsi rumah tangga AS bakal terus tertekan. Dengan porsi konsumsi rumah tangga yang mencapai lebih dari 70% terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), prospek pertumbuhan ekonomi AS menjadi suram.
Ini yang membuat pelaku pasar ragu untuk mengoleksi dolar AS. Akibatnya, tekanan terhadap mata uang ini kembali berlanjut.
"Dolar AS membutuhkan kabar positif dari pembahasan stimulus. Pasti akan ada kesepakatan, karena para politikus tidak mungkin kembali ke konstituen mereka dengan tangan hampa. Ketika itu terjadi, maka dolar AS akan punya momentum untuk menguat terhadap mata uang lain," jelas Masafumi Yamamoto, Chief Currency Strategist di Mizuho Securities yang berbasis di Tokyo, seperti dikutip dari Reuters.
Namun mengapa rupiah masih saja lesu? Kemungkinan faktor domestik menjadi pemberat langkah rupiah menuju zona hijau.
Besok, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 kepada parlemen. Investor tentu ingin mengetahui bagaimana arah kebijakan fiskal tahun depan. Apakah masih ekspansif seperti 2020, atau mulai ada konsolidasi?
Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) yang menjadi kerangka penyusunan RAPBN 2021, pemerintah mengindikasikan defisit anggaran akan ada di 5,2% dari PDB. Lebih rendah ketimbang perkiraan tahun ini yang mencapai 6,34% PDB.
Jadi walau tema besar RAPBN 2021 masih seputar pemulihan ekonomi dari dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), tetapi kemungkinan skalanya tidak semasif 2020. Ini akan mempengaruhi seberapa besar dukungan pemerintah terhadap sektor riil dan rumah tangga hingga penerbitan obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN).
Sembari menunggu kepastian soal postur kebijakan fiskal 2021, investor memilih menonton dari pinggir lapangan. Pelaku pasar belum bersedia turun gelanggang sampai ada kejelasan.
Sikap wait and see ini membuat rupiah kekurangan tenaga karena arus modal masuk yang terbatas. Hasilnya jelas, rupiah kembali menapaki jalur merah.
Kemudian, pelaku pasar juga menantikan pengumuman dari Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan. Hari ini adalah batas waktu pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi di ibu kota setelah sebelumnya diperpanjang 14 hari.
Hingga saat ini, kasus corona di Jakarta masih tinggi. Per 11 Agutsus 2020, jumlah pasien positif corona tercatat 26.642 orang. Bertambah 462 orang (1,77%) dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir (29 Juli-11 Agustus), pasien positif corona bertambah rata-rata 473,5 orang per hari. Melonjak dibandingkan 14 hari sebelumnya yaitu 352,21 orang per hari.
Oleh karena itu, kemungkinan besar Gubernur Anies dan kolega akan kembali memperpanjang PSBB Transisi. Artinya, pembukaan aktivitas ekonomi belum bisa lebih lebar lagi. Misalnya pengunjung restoran dan pusat perbelanjaan tetap dibatasi maksimal 50% dari kapasitas.
"Insya Allah diperpanjang, karena masih cukup tinggi angkanya. Akan diperketat, perkantoran, rumah sakit, semualah. Tempat umum ditingkatkan," kata Ahmad Riza Patria, Wakil Gubernur Jakarta.
Jika reopening aktivitas publik belum bisa lebih lebar lagi, maka aktivitas ekonomi di Jakarta masih relatif terbatas. Sementara Jakarta adalah kontributor utama dalam perekonomian nasional. Jadi kalau denyut nadi ekonomi Jakarta masih pelan, maka akan mempengaruhi seluruh Indonesia Raya.
 Badan Pusat Statistik DKI Jakarta |
Artinya, prospek ekonomi Indonesia masih akan diliputi ketidakpastian. Sampai kuartal II-2020 Indonesia memang masih bisa menghindari resesi. Namun kalau aktivitas warga terus-menerus terbatas, maka bukan mustahil Indonesia bakal masuk kurang resesi karena kontraksi ekonomi pada kuartal III-2020.
TIM RISET CNBC INDONESIA