Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Indonesia terancam jatuh ke jurang resesi. Agar terhindar dari kontraksi yang berlanjut ke kuartal III-2020, pemerintah terus berupaya untuk mendongkrak daya beli masyarakat yang terkikis selama masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Namun jalan ke depan masih penuh tantangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada periode April-Juni 2020 tercatat menyusut 5,32%. Anjloknya konsumsi masyarakat jadi dalang dari kontraksi output perekonomian Tanah Air.
Konsumsi rumah tangga merupakan tulang punggung ekonomi. Kontribusinya terhadap PDB mencapai 54,2% tahun lalu.
Ketika masyarakat mengerem belanjanya karena berjaga-jaga jika kondisi akan semakin memburuk atau bahkan karena pendapatan menurun dan daya beli terkikis tentulah ini jadi ancaman bagi perekonomian domestik.
Lihat saja ketika konsumsi masyarakat terkontraksi 5,51% (yoy), pertumbuhan ekonomi juga jatuh ke zona negatif. Pemerintah terus mengupayakan agar tulang punggung RI tak terus menerus keropos digerogoti virus ganas yang saat ini menyebabkan pandemi global.
Salah satunya adalah menggeber bantuan sosial alias bansos. Bantuan dari pemerintah ini disalurkan baik dalam bentuk tunai maupun non-tunai seperti Program Keluarga Harapan (PKH), kartu sembako, gaji ke-13 untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), hingga tunjangan untuk 15,7 juta karyawan swasta dengan gaji di bawah Rp 5 juta/bulan.
Selama pandemi berlangsung daya beli masyarakat Indonesia memang terganggu. Hal ini dibuktikan dengan berbagai indikator mulai dari survei sosial demografi BPS yang menyatakan pendapatan 4 dari 10 orang berkurang hingga tingkat inflasi inti yang terus melambat.
Bansos yang dikucurkan pemerintah ini diharapkan mampu mendongkrak konsumsi masyarakat sehingga bisa menyelamatkan perekonomian Indonesia dari resesi. Terlepas dari berbagai perdebatan soal definisi resesi, prospek perekonomian Indonesia ke depan masih dibayangi dengan ketidakpastian.
Perlu juga untuk melihat indikator pengeluaran lain pembentuk PDB, mulai dari aktivitas perdagangan yang tercermin dari ekspor dan impor, investasi/Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), hingga konsumsi pemerintah.
Selain konsumsi masyarakat, pos PMTB juga berkontribusi besar terhadap perekonomian Tanah Air. Kontribusinya tercatat mencapai 30%. Selain itu aktivitas perdagangan juga punya andil besar. Sehingga apakah kontraksi masih akan berlanjut atau tidak akan sangat bergantung juga dengan dua indikator tersebut.
Mari tengok data perdagangan terlebih dahulu. Pada Juni 2020, BPS melaporkan ekspor Indonesia sebesar US$ 12,03 miliar tumbuh 15% dari bulan Mei dan 2,3% dari tahun lalu.
Relaksasi lockdown di berbagai negara di dunia terutama mitra dagang utama Indonesia seperti China dan India membuat permintaan terhadap komoditas dari Indonesia terutama untuk jenis minyak nabati sawit membaik. Alhasil harga CPO pun ikut terdongkrak.
BPS mencatat ekspor komoditas pertanian di bulan Juni mungkat 34,36% (yoy). Selain minyak sawit, Indonesia juga mengekspor komoditas lain yaitu batu bara.
Berbeda dengan permintaan CPO yang membaik, permintaan terhadap batu bara masih belum bisa dibilang membaik terutama karena harga gas yang rendah, tekanan untuk beralih ke sumber energi primer yang lebih ramah lingkungan hingga ketidakpastian kebijakan impor China.
Alhasil harga batu bara acuan terus tergerus. Kementerian ESDM mematok Harga Batu Bara Acuan (HBA) Agustus kembali melemah ke US$ 50,39/ton dan menjadi yang terendah dalam empat tahun terakhir.
Pada Juni, ekspor komoditas pertambangan justru mencatatkan penurunan hingga 17% (yoy). Harga komoditas migas yang juga tertekan membuat ekspor migas juga mengalami kontraksi. Sementara itu ekspor untuk barang dari industri pengolahan mengalami kenaikan 7% (yoy)
Meski ada kenaikan aktivitas ekspor di bulan Juni, tetapi pada kuartal kedua tahun ini ekspor masih mencatatkan pertumbuhan negatif di angka -11,66% (yoy).
Beralih ke impor, pada bulan Juni, Indonesia masih mencatatkan penurunan impor. BPS mencatat impor di akhir kuartal kedua tahun ini terkontraksi 6,4% (yoy). Kontraksi impor dipicu oleh masih anjloknya impor bahan baku/penolong yang jadi penyumbang terbesar impor bulan Juni.
Impor nonmigas mengalami kontraksi, antara lain pada mesin-mesin/pesawat mekanik, mesin/peralatan listrik, plastik dan barang dari plastik, serta besi dan baja. Impor migas terkontraksi seiring dengan penurunan nilai dan volume impor migas. Impor jasa terkontraksi seiring dengan menurunnya jasa angkutan untuk ekspor impor barang.
Pada kuartal kedua impor RI masih turun 16,96% (yoy). Penurunan impor yang jauh lebih dalam daripada ekspor membuat neraca dagang RI membaik yang berujung pada net ekspor yang membaik juga.
Hanya saja, penurunan aktivitas impor terutama untuk kategori barang modal juga akan mempengaruhi PMTB. Pertumbuhan barang modal jenis mesin dipengaruhi oleh terkontraksinya nilai impor dan produksi domestik.
Terkontraksinya barang modal jenis kendaraan dipengaruhi oleh menurunnya barang modal seluruh jenis kendaraan, baik yang berasal dari domestik maupun impor. Hampir seluruh barang modal jenis peralatan lainnya mengalami kontraksi, baik yang berasal dari domestik maupun impor.
Bangunan dan konstruksi lain mengalami kontraksi disebabkan oleh penurunan kegiatan pembangunan di sebagian besar provinsi. Realisasi Belanja Modal Pemerintah Pusat kuartal II-2020 meningkat sebesar 0,39% dibanding kuartal II-2019.
BKPM melaporkan nilai investasi pada kuartal II-2020 adalah Rp 191,9 triliun. Turun 4,3% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy). Pada kuartal I-2020, realisasi investasi masih bisa tumbuh 8% (yoy).
Penanaman Modal Dalam Negeri (PDMN) tercatat Rp 94,3 triliun, turun 1,4% (yoy). Sedangkan Penanaman Modal Asing (PMA) adalah Rp 97,6 triliun, turun 6,9% (yoy).
Secara umum PMTB pada kuartal kedua mengalami kontraksi sebesar 8,61% (yoy). Sejatinya pos ini sudah melambat sejak kuartal ketiga tahun 2018.
Ekonomi Indonesia yang sangat bergantung pada pergerakan harga komoditas serta aliran dana asing jelas membuat ekonomi domestik sangat sensitif terhadap gejolak eksternal. Apalagi negara-negara mitra dagang Indonesia dan investor seperti Singapura mengalami resesi yang parah.
Peluang ekonomi Indonesia mengalami kontraksi di kuartal ketiga masih terbuka. Hal ini pun diungkapkan juga oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dia menegaskan Indonesia belum jatuh ke jurang resesi, jika melihat data pertumbuhan secara kuartalan dan secara year on year (tahunan).
"Sebetulnya kalau year-on-year kita belum resesi. Biasanya dilihat resesi adalah year-on-year dua kuartal berturut-turut. Ini pertama kalinya kuartal II-2020 Indonesia terkontraksi," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers KSSK, Rabu (5/8/2020).
"Kalau kuartal III kita bisa hindarkan (dari pertumbuhan negatif), maka kita insya Allah secara teknikal tidak mengalami resesi," sambung dia.
Indonesia, kata Sri Mulyani masih punya peluang untuk lolos dari resesi ekonomi. Ia memperkirakan ekonomi nasional masih bisa berbalik tumbuh positif pada kuartal III-2020.
Kendati demikian, Sri Mulyani juga tida menampik, adanya kemungkinan perekonomian Indonesia pada kuartal III-2020 tumbuh negatif. Mengingat pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2020, terkontraksi sangat dalam, yakni minus 5,32%.
TIM RISET CNBC INDONESIA