
Dolar AS Terpuruk! Euro dan Poundstreling Kompak Melesat

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar euro dan poundsterling menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (5/8/2020). Euro saat ini mendekati lagi level terkuat dalam 2 tahun terakhir, sementara poundsterling di level tertinggi 5 bulan.
Pada pukul 19:18 WIB, euro menguat 0,5% ke US$ 1,1859 dan poundserling menguat 0,55% ke US$ 1.3132 di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Dolar AS sedang terpuruk pada perdagangan hari ini, bahkan sebenarnya dalam beberapa pekan terakhir, sebabnya Negeri Paman Sam diperkirakan akan tertinggal dalam hal pemulihan ekonomi yang mengalami resesi ketimbang negara-negara Eropa.
Apalagi stimulus berupa bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi para korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebesar US$ 600/pekan sudah habis masa berlakunya pada akhir pekan lalu. Paket stimulus selanjutnya masih belum ada kejelasan, pembahasannya masih macet di Kongres (Parlemen) AS.
Partai Republik di House of Representatives (salah satu dari dua kamar parlemen di AS) mengajukan proposal stimulus senilai US$ 1 triliun. Namun hingga saat ini belum ada kata sepakat. Bahkan terjadi penolakan di internal Republik sendiri, karena total stimulus yang mencapai US$ 3 triliun dinilai sudah terlalu banyak.
BLT bagi para korban PHK menjadi sangat penting, karena dapat meningkatkan konsumsi. Dan belanja rumah tangga merupakan tulang punggung perekonomian AS, yang berkontribusi sekitar 70% terhadap produk domestik bruto (PDB).
"Kegagalan mencapai kesepakatan paket stimulus telah menekan dolar AS. Jadi, jika mereka (Kongres AS) dalam beberapa hari ke depan, maka dolar AS akan rebound. Tapi, saya pikir dolar AS masih akan lemah di sisa tahun ini" kata Imre Speizer, analis mata uang di Westpac Auckland, sebagaimana dilansir CNBC International.
Sebelum BLT tersebut expired, dolar AS juga sudah menunjukkan kinerja yang buruk. Sepanjang bulan Juli baik euro mampu melesat 4,83% sementara poundsterling 5,56%. Penguatan euro terlihat wajar mengingat gelontoran stimulus besar di Eropa guna membangkitkan kembali perekonomian. Kemudian data-data terbaru menunjukkan sektor manufaktur di zona euro kembali berekspansi, artinya roda perekonomian mulai berjalan lagi.
Sementara penguatan poundsterling terbilang cukup mengejutkan mengingat kondisi Inggris yang masih dipenuhi ketidakpastian, tidak hanya pemulihan ekonomi yang nyungsep akibat pandemi Covid-19, tetapi juga masalah keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau yang dikenal dengan Brexit.
Brexit menjadi penting karena menentukan nasib Inggris untuk jangka panjang. Inggris saat ini masih dalam masa transisi hingga akhir tahun setelah resmi bercerai dengan Uni Eropa.
Selama masa transisi, belum ada perubahan status Inggris di pasar tunggal Eropa, artinya produk dari Inggris masih bebas keluar masuk di Benua Biru. Jika sampai 31 Desember nanti tidak ada kesepakatan, maka Inggris akan keluar dari pasar tunggal, artinya akan ada tarif ekspor-impor yang akan dikenakan.
Bila hal ini sampai terjadi, maka perekonomian Inggris terancam merosot lebih dalam. Apalagi saat ini pandemi penyakit akibat virus corona sudah membuat perekonomian global menuju jurang resesi.
Oleh karena itu penguatan poundsterling menjadi cukup mengejutkan. Tetapi di sisa tahun ini diramal akan kembali melemah oleh ahli strategi mata uang dari Bank of America Merril Lynch.
"Nasib poundsterling akan ditentukan oleh kebijakan moneter, kebangkitan perekonomian setelah dihantam pandemi, serta negosiasi Brexit, yang masih alot" kata ahli strategi tersebut, sebagaimana dilansir Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ekonomi Global DIprediksi Makin Nyungsep, Dolar AS Diburu