Review Emiten

Tiga Dekade Listing, Inilah Peluang BUMI untuk 'Come Back'

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
04 August 2020 19:40
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (tengah), Presiden Direktur PT BUMI Resources Tbk. Saptari Hoedaja (kanan), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Arifin Tasrif (kedua kiri) bersama Sekretaris Kabinet Indonesia Maju, Pramono Anung (kiri) dan Ketua IMA, Ido Hutabarat (kedua kanan) dalam malam penganugerahan IMA Award 2019. (Dok. BUMI Resources)
Foto: Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (tengah), Presiden Direktur PT BUMI Resources Tbk. Saptari Hoedaja (kanan), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Arifin Tasrif (kedua kiri) bersama Sekretaris Kabinet Indonesia Maju, Pramono Anung (kiri) dan Ketua IMA, Ido Hutabarat (kedua kanan) dalam malam penganugerahan IMA Award 2019. (Dok. BUMI Resources)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tiga dekade mencatatkan saham dan jatuh-bangun di PT Bursa Efek Indonesia (BEI), raksasa batu bara nasional PT Bumi Resources Tbk (BUMI) "angkat sauh" menuju beyond coal (tak sekadar batu bara).

Tercatat di bursa pada 30 Juli 1990, BUMI semula adalah emiten properti bernama PT Bumi Modern yang mengelola hotel dan jasa wisata. BUMI mengajukan izin pencatatan saham perdana (Initial Public Offering/IPO) lewat surat nomor BM-17/J/90 pada 16 April 1990.

Permohonan IPO diajukan oleh AJB Bumiputera 1912 (Bumiputera) selaku pemilik 100% saham Bumi Modern, setelah membeli saham Bumi Modern lainnya milik pengusaha nasional Peter Sondakh dan H.A. Latief Thoyeb, masing-masing pada tahun 1983 dan 1985.

Izin IPO, atau pernyataan efektif, Otoritas Jasa Keuangan (dulu Badan Pengawas Pasar Modal/Bapepam) terbit pada 18 Juni 1990. Perseroan menawarkan 10 juta sahamnya (29% dari total saham disetor) seharga Rp 4.500 per unit, sehingga meraup dana segar Rp 45 miliar.

 

Pasca IPO, publik memiliki 29% saham BUMI dan 71% lainnya dipegang Bumiputera. Tiga tahun kemudian, investor kelas kakap masuk yakni PT Taspen (persero), PT Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek)-kini PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan Pelician Holdings Limited.

Hingga tahun 1997, BUMI memiliki aset perhotelan berupa hotel bintang lima Hyatt Regency Surabaya, yang dikelola oleh Hyatt International Asia Pacific Limited. Di luar itu mereka memiliki aset perkantoran dan bisnis jasa pariwisata.

Perubahan drastis BUMI terjadi setelah pengusaha nasional Grup Bakrie masuk ke perseroan, mengubah secara radikal bisnis intinya, hingga membuat sahamnya meroket ke level tertinggi sepanjang sejarah pencatatannya.

Menurut neraca keuangan BUMI, Grup Bakrie mulai masuk menjadi pemegang saham perseroan pada 20 Juni 1997 atau ketika krisis keuangan Asia mendera, dan menjatuhkan harga aset-aset properti, termasuk yang dikelola Bumi Modern.

Di tengah kondisi krisis yang memicu likuiditas ketat, PT Bakrie Capital Indonesia (Bakrie Capital) masuk menjadi penyelamat dengan melakukan penawaran tender (tender offer) atas saham BUMI sebanyak 25%, setelah mengakuisisi 58,15% saham BUMI milik AJB Bumiputera.

Selanjutnya pada 29 Agustus 1997, Bakrie kembali memperoleh 33,9% saham BUMI milik Bumiputera. Dus, Bakrie Capital memegang 58,9% saham BUMI yang saat itu masih merupakan perusahaan yang bergerak di bisnis perhotelan dan pariwisata.

Dengan kepemilikan di atas 51%, maka Grup Bakrie resmi menjadi pengendali perusahaan tersebut. Di bawah kepiawaian Nirwan Bakrie, BUMI yang telah memiliki aset KPC dan Arutmin terus berkembang menjadi eksportir terbesar batu bara nasional.

Di bawah tangan dingin keluarga Bakrie, BUMI hijrah dari bisnis properti ke bisnis minyak, gas alam dan pertambangan dengan akuisisi aset tambang raksasa. Dari Gallo Oil pada 2000, hingga Arutmin pada 2004 serta Kaltim Prima Coal (KPC) pada 2005.

BUMI kian berkembang menjadi perusahaan berskala global menyusul masuknya investor-investor kelas kakap dunia. Sebut saja grup konglomerasi asal India, yakni Tata Power. Berbasis di negara konsumen terbesar batu bara kedua dunia, Grup Tata pada 2007 meneken kesepakatan untuk mempertahankan kepemilikan mayoritas di KPC sebesar 65%.

Pada 2009, investor besar asal Negeri Tirai Bambu yakni China Investment Corporation (CIC) berinvestasi senilai US$ 1,9 miliar dalam bentuk utang. Belakangan, sebagian utang dikonversi menjadi saham sehingga CIC menjadi pemegang saham pengendali (dengan porsi 22,7%).

Mereka memilki saham BUMI melalui HSBC Funds dengan jumlah nominal saham setara 14,85 miliar unit saham. Sisanya atau 77,29% (setara 50,53 miliar saham) merupakan saham publik. Lalu berapa banyak saham BUMI yang dimiliki Bakrie? Direktur Bumi Resources Dileep Srivastava menyebutkan angkanya berkisar 17%, tapi tidak terkonsolidasi menjadi satu.

Dengan demikian, kiprah Bakrie di BUMI kini tidak lagi absolut, melainkan bersifat collective collegial, diputuskan bersama-sama dengan CIC dan Tata, yang notabene merupakan perusahaan kelas dunia yang sama-sama menggeluti industri batu bara.

Dengan dukungan kedua investor tersebut, BUMI mengamankan pasar utama batu bara konvensional dunia, yakni China dan India, selain pasar batu bara dalam negeri. Tidak berhenti sampai di sana, BUMI kini menggarap batu bara bersih, dengan program hilirisasi.

Kini harga saham BUMI berada di dasar, yakni Rp 50 per unit. Ini merupakan level terendah maksimal harga saham perusahaan yang diizinkan PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Pelaku pasar belum ngeh dengan peluang hilirisasi yang tengah digarap perseroan.

Jika mengacu pada sejarah, harga saham BUMI menyentuh rekor tertinggi Rp 8.200 (27 Juni 2008). Pemicunya saat itu adalah harga batu bara yang meroket hingga US$ 125 per ton, jauh di atas perkiraan pasar (misalnya Merril Lynch) yang memprediksi harga batu bara US$ 80 per ton.

Seiring dengan anjloknya harga batu bara, ke US$ 51,7/ton hari ini, kilau saham BUMI pun memudar karena selama ini menjual produk mentah. Namun kondisi saat ini berbeda. Perseroan mulai menggarap hilirisasi yang bakal memberikan nilai tambah besar atas produk batu baranya.

BUMI membentuk konsorsium bersama Bakrie Capital, PT Ithaca Resources, dan Air Products untuk membangun industri metanol senilai US$ 2 miliar atau setara Rp 30 triliun (asumsi kurs Rp 14.900/US$) di Batuta Industrial Chemical Park, Bengalon, Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Menurut AirProduct, proyek skala global tersebut memungkinkan produksi metanol hingga 2 juta per ton per tahun, yang berasal dari batu bara sebanyak 5 juta-6 juta ton per tahun. Produksi ditargetkan efektif dimulai pada tahun 2024.

"Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia berkomitmen mengurangi impor energi dan secara efisien mengubah cadangan batu bara yang melimpah menjadi produk bernilai tambah," tutur Direktur Utama Air Products Seifi Ghasemi.

Berapa nilai tambah yang tercipta dari megaproyek itu? Menurut perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia, angkanya mencapai dua kali lipat senilai Rp 2 triliun per tahun. Saat ini, batu bara kalori rendah di China dihargai US$ 30 per ton. Sementara itu, mengacu pada pasar komoditas Rotterdam, Belanda, harga metanol di pasar spot berkisar US$ 150 per ton.

Jika BUMI menjual 5 juta batu bara kalori rendah, perseroan hanya akan mengantongi US$ 150 juta (US$2,2 triliun). Namun, jika batu bara sebanyak itu diolah menjadi 2 juta ton metanol, nilai penjualannya mencapai US$ 300 juta (Rp 4,4 triliun) alias dua kali lipat dari batu bara!

Dengan investasi awal US$ 2 miliar (Rp 30 triliun), hanya perlu enam tahun bagi perseroan untuk balik modal. Ini tentunya bakal memperkuat nilai saham perseroan di pasar ke depan di tengah tingginya kebutuhan metanol di dalam negeri.

Data Kementerian Perindustrian menyebutkan kebutuhan metanol dalam negeri mencapai 1,1 juta ton pada 2019 dan diprediksi terus meningkat menjadi 2 juta ton pada tahun ini saja. Namun, produksi lokal hanya mencapai 700.000 ton per tahun.

Jika perseroan bisa merealisasikan rencana besar itu maka variabel pembentuk nilai saham BUMI pun tak lagi bergantung pada naik-turunnya harga batu bara di pasar spot melainkan juga pada harga jual syngas. Pada titik ini, harga Rp 50 bagi saham BUMI pun menjadi terlalu murah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular