
Tiga Dekade Listing, Inilah Peluang BUMI untuk 'Come Back'

Kini harga saham BUMI berada di dasar, yakni Rp 50 per unit. Ini merupakan level terendah maksimal harga saham perusahaan yang diizinkan PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Pelaku pasar belum ngeh dengan peluang hilirisasi yang tengah digarap perseroan.
Jika mengacu pada sejarah, harga saham BUMI menyentuh rekor tertinggi Rp 8.200 (27 Juni 2008). Pemicunya saat itu adalah harga batu bara yang meroket hingga US$ 125 per ton, jauh di atas perkiraan pasar (misalnya Merril Lynch) yang memprediksi harga batu bara US$ 80 per ton.
Seiring dengan anjloknya harga batu bara, ke US$ 51,7/ton hari ini, kilau saham BUMI pun memudar karena selama ini menjual produk mentah. Namun kondisi saat ini berbeda. Perseroan mulai menggarap hilirisasi yang bakal memberikan nilai tambah besar atas produk batu baranya.
BUMI membentuk konsorsium bersama Bakrie Capital, PT Ithaca Resources, dan Air Products untuk membangun industri metanol senilai US$ 2 miliar atau setara Rp 30 triliun (asumsi kurs Rp 14.900/US$) di Batuta Industrial Chemical Park, Bengalon, Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Menurut AirProduct, proyek skala global tersebut memungkinkan produksi metanol hingga 2 juta per ton per tahun, yang berasal dari batu bara sebanyak 5 juta-6 juta ton per tahun. Produksi ditargetkan efektif dimulai pada tahun 2024.
"Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia berkomitmen mengurangi impor energi dan secara efisien mengubah cadangan batu bara yang melimpah menjadi produk bernilai tambah," tutur Direktur Utama Air Products Seifi Ghasemi.
Berapa nilai tambah yang tercipta dari megaproyek itu? Menurut perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia, angkanya mencapai dua kali lipat senilai Rp 2 triliun per tahun. Saat ini, batu bara kalori rendah di China dihargai US$ 30 per ton. Sementara itu, mengacu pada pasar komoditas Rotterdam, Belanda, harga metanol di pasar spot berkisar US$ 150 per ton.
Jika BUMI menjual 5 juta batu bara kalori rendah, perseroan hanya akan mengantongi US$ 150 juta (US$2,2 triliun). Namun, jika batu bara sebanyak itu diolah menjadi 2 juta ton metanol, nilai penjualannya mencapai US$ 300 juta (Rp 4,4 triliun) alias dua kali lipat dari batu bara!
Dengan investasi awal US$ 2 miliar (Rp 30 triliun), hanya perlu enam tahun bagi perseroan untuk balik modal. Ini tentunya bakal memperkuat nilai saham perseroan di pasar ke depan di tengah tingginya kebutuhan metanol di dalam negeri.
Data Kementerian Perindustrian menyebutkan kebutuhan metanol dalam negeri mencapai 1,1 juta ton pada 2019 dan diprediksi terus meningkat menjadi 2 juta ton pada tahun ini saja. Namun, produksi lokal hanya mencapai 700.000 ton per tahun.
Jika perseroan bisa merealisasikan rencana besar itu maka variabel pembentuk nilai saham BUMI pun tak lagi bergantung pada naik-turunnya harga batu bara di pasar spot melainkan juga pada harga jual syngas. Pada titik ini, harga Rp 50 bagi saham BUMI pun menjadi terlalu murah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)[Gambas:Video CNBC]