Restrukturisasi Kredit Rp 784 T, Amankah Likuiditas Bank RI?

Monica Wareza, CNBC Indonesia
04 August 2020 15:24
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso (Tangkapan Layar Youtube Jasa Keuangan)
Foto: Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso (Tangkapan Layar Youtube Jasa Keuangan)

Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat angka restrukturisasi kredit perbankan hingga 20 Juli 2020 telah mencapai Rp 784,36 triliun yang berasal dari 6,73 juta nasabah baik individu maupun korporasi yang melakukan restrukturisasi kredit sebagai dampak pandemi Covid-19.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan nilai tersebut terdiri dari restrukturisasi kredit UMKM mencapai Rp 330,27 triliun dari Rp 5,38 juta nasabah. Sedangkan untuk non-UMKM mencapai Rp 454,09 triliun yang terdiri dari 1,34 juta nasabah.

"Jadi dapat kami sampaikan total restrukturisasi ini mencapai 25%-30% [dari total outstanding kredit] meski kita perkirakan sebelumnya 40%," kata Wimboh dalam konferensi pers Perkembangan Kebijakan Kondisi Terkini Sektor Jasa Keuangan, Selasa (4/8/2020).

"Jadi lebih kecil dan jumlah magnitude-nya sudah mulai flat. Jadi restrukturisasi baru sudah mulai sedikit dan ini waktunya tumbuh dan bangkit kembali dengan memanfaatkan insentif pemerintah," kata Wimboh.

Dia menjelaskan, proses restrukturisasi ini bisa dilakukan dengan macam-macam langkah bergantung pada kebijakan bank menyesuaikan dengan kondisi nasabahnya. Beberapa kebijakan restrukturisasi yang dilakukan dapat berupa penundaan pembayaran bunga, penundaan pembayaran pokok, haircut dengan periode 6 bulan hingga satu tahun.

"Ini ga bisa distandarkan tergantung kondisi bank," imbuhnya.

Sedangkan untuk restrukturisasi perusahaan pembiayaan, kata Wimboh, secara nilai sudah mencapai Rp 151,01 triliun yang berasal dari 4 juta kontrak.

Restrukturisasi ini merupakan bagian dari Peraturan OJK Nomor 11 tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease. Dalam POJK ini disebutkan bahwa bank dan lembaga keuangan lainnya bisa memberikan restrukturisasi bagi nasabahnya yang terdampak Covid-19.

POJK ini akan berlaku hingga Februari tahun depan depan. Namun demikian, OJK membuka peluang untuk melakukan perpanjangan penerapan kebijakan ini untuk memastikan sektor riil dan perbankan benar-benar bisa bangkit kembali setelah terdampak pandemi.

"[Perpanjangan] paling lama 1 tahun tapi masing-masing nasabah ga bisa sama, tergantung kondisi, bahkan ada nasabah yang bilang ga usah perpanjang ya boleh aja. Tapi diberikan ruang paling lama 1 tahun," kata dia.

Lebih lanjut Wimboh mengatakan OJK juga memberikan ruang bagi industri bank umum untuk memanfaatkan kesempatan dalam menjaga likuiditas.

OJK sebelumnya sudah melakukan relaksasi batas atau threshold LCR dan NSFR jadi 85% tadinya di atas 100% dan menunda penerapan sementara Basel III sampai akhir 2022 yang seharusnya diterapkan di 2021. "Jadi kita tunda penerapan ini sehingga da ruang sektor perbankan bisa bergerak."

Rasio Kecukupan Likuiditas atau LCR adalah perbandingan antara High Quality Liquid Asset dengan total arus kas keluar bersih (net cash outflow) selama 30 hari ke depan dalam skenario stres.

OJK sebelumnya sudah menurunkan batas minimum pemenuhan LCR dan dan Net Stable Funding Ratio (NSFR) bagi bank BUKU III, BUKU IV serta bank asing menjadi 85%. Dalam keadaan normal, batas minimum LCR dan NSFR bagi seluruh bank yakni 100%. 

Tak hanya itu, ketentuan kewajiban pemenuhan capital conservation buffer dalam komponen modal 2,5% dari aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) bagi bank BUKU III dan BUKU IV juga ditiadakan sampai 31 Maret 2021. Capital conservation buffer ini adalah salah satu komponen modal tambahan yang tercantum dalam Basel III.

"Dan BI juga lakukan pelonggaran di antaranya GWM [giro wajib minimum] yang drastis dan juga policy rate jadi 4% ini dalam sejarah belum pernah lebih rendah dari ini, posisi paling rendah yang pernah terjadi di Indonesia, luar biasa dan government spending ini memberikan amunisi likuiditas perbankan yang lebih besar," jelas Wimboh.

"Likuiditas alat likuid [liquid asset] per DPK tadinya Februari 2020 di posisi 23,89%, tapi di 22 Juli menjadi 27,59%. Alat likuid non core deposit tadinya di Februari 113% menjadi 130,02% di 22 Juli, ini menunjukkan kondisi likuiditas ini cukup stabil, suku bunga overnight rupiah dan valas turun jadi 3,73% dan 0,4% valas," katanya.

"Masih ada kesempatan, masih banyak likuiditas masuk ke pasar karena realisasi budget pemerintah yang khusus pandemi Covid ini pemerintah alokasikan Rp 690 triliun sampai akhir tahun ini, ini berikan likuiditas di sektor keuangan."

"Likuiditas ini lebih banyak pertumbuhan di bank besar BUKU 4 tumbuh 11%, ada produk andalan digital tabungan, produknya sudah menggunakan elektronik sehingga mudahkan customer lakukan transaksi jadi kompetisi penting dengan digital ini," kata Wimboh.

Dia menegaskan OJK akan fokus berorientasi pada pemulihan ekonomi, bersamaan dengan langkah pemerintah secara bertahap membuka kembali aktivitas ekonomi.

"Dan untuk itu domestik demand sangat penting dan pemerintah commit dorong itu. Di perbankan kita harapkan bisa proaktif tingkatkan kredit apalagi perbankan yang sudah terima penempatan dana pemerintah ke Himbara Rp 30 triliun dan BPD Rp 11,5 triliun di mana Himbara 3x [kapasitas menaikkan kredit] dan BPD 2x ini diharapkan ada efek multiplier."


(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Begini Mekanisme Bank Jangkar, Risiko Bakal Dijamin LPS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular