Efek 'Buang Dolar', Goldman Sachs Ramal Yuan Bakal Terbang

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 July 2020 12:18
Ilustrasi Yuan (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Yuan (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank investasi ternama, Goldman Sachs, memprediksi kurs yuan China akan menguat tajam dalam 12 bulan ke depan. Prediksi tersebut diberikan melihat perekonomian Negeri Tiongkok yang mulai bangkit.

Zach Pandl, analis mata uang emerging market dari Goldman Sachs, memberikan proyeksi dalam 12 bulan ke depan, kurs yuan akan menyentuh level 6,7/US$. Terakhir kali yuan menyentuh level tersebut pada April 2019 lalu. 

Berdasarkan data Refinitiv, pada pukul 10:30 WIB, yuan diperdagangkan di level 7,0012/US$ di pasar spot.

Jika melihat ramalan Pandl, dibandingkan posisi saat ini maka dalam periode 1 tahun yuan akan menguat 4,3%. Penguatan tersebut terbilang besar bagi yuan yang pergerakan per harinya tipis-tipis, dan nilainya yang dikontrol oleh bank sentral China (People's Bank of China/PBoC).

"Saya pikir gambaran domestic di China cukup solid" kata Pandl dalam acara "Squawk Box Asia" CNBC International, Selasa (14/7/2020).

Ia menambahkan, setelah merosot tajam akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19) perekonomian China menunjukkan rebound yang cukup bagus.

Masih menurun Pandl, meski outlook yuan sedang cerah, tetapi ada 2 hal yang berisiko membawa yuan melemah, perkembangan kasus Covid-19, dan Pemilihan Presiden di AS bulan November.

China saat ini sudah berhasil meredam penyebaran virus corona, tetapi negara-negara lain masih bertarung, termasuk AS.

Jika penyebaran tidak segera diredam, atau malah terjadi gelombang penyebaran baru, Pandl melihat akan terjadi resesi double-dip. Jika itu terjadi maka dolar AS yang menyandang status aset aman (safe haven) akan unggul melawan yuan.

Sementara itu, Pemilu AS bulan November juga memberikan risiko, apalagi saat ini Presiden AS Donald Trump sedang "sebel" kepada China.

Saat ditanya apa yang terjadi jika lawan Trump, Joe Biden yang memenangi Pemilu, Pandl mengatakan akan ada pendekatan berbeda dalam hubungan bilateral dengan China. Ada kemungkinan bea masuk importasi akan diturunkan dan itu akan menjadi positif bagi yuan.

Ramalan yuan akan melesat oleh analis Goldman Sachs tersebut juga terjadi saat "buang dolar" dilakukan China.

"Buang dolar" bukan hal yang baru, China juga dikabarkan melakukan hal yang sama. Sebabnya, perang dagang dengan Amerika Serikat yang berlarut-larut.

"Buang dolar" dikatakan sebagai senjata pamungkas China dalam menghadapi AS di bidang ekonomi. Maklum saja, China merupakan negara pemegang obligasi AS (Treasury) terbesar di dunia pada tahun lalu.

Isu "buang dolar" sempat meredup di penghujung 2019, saat kedua negara mencapai kesepakatan dagang fase I yang akhirnya ditanda-tangani pada Januari lalu.

Tetapi, isu tersebut kembali muncul belakangan ini akibat memburuknya hubungan kedua negara, terutama akibat pandemi Covid-19, dimana Presiden Trump menuduh virus corona berasal dari laboratorium di China.

Pada pekan lalu Trump mengatakan hubungan dengan China "sangat rusak" akibat virus corona, dan tidak lagi menjadikan perundingan dagang fase II sebagai prioritas.

Akibatnya, isu "buang dolar" kembali mencuat, dan China disebut mengurangi ketergantungan dengan dolar AS dan berusaha menaikkan pamor yuan China sebagai mata uang internasional.

"Internasionalisasi yuan berubah dari sesuatu yang diinginkan menjadi hal yang sangat diperlukan bagi Beijing. China perlu mencari pengganti dolar di tengah ketidakpastian politik," kata Ding Shuang, kepala ekonom Standard Chartered untuk wilayah China dan Asia Utara, seperti diberitakan Bloomberg.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan AS, pada akhir April 2020, nilai Treasury yang dimiliki China sebesar US$ 1,07 triliun atau sekitar Rp 14.400 triliun (kurs Rp 14.400/US$), atau sekitar 15,8% dari total Treasury yang beredar di muka bumi ini. Nilai tersebut juga setara dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Namun jika dilihat ke belakangan, kepemilikan Treasury China terus menurun, pada April 2019 nilainya sebesar US$ 1,11 triliun, artinya berkurang sekitar US$ 40 miliar (Rp 576 triliun) dalam tempo 1 tahun.

Dalam beberapa pekan terakhir, data ekonomi China menunjukkan perbaikan. Kemarin data menunjukkan ekspor-impor Negeri Tiongkok yang berdenominasi dolar AS kembali tumbuh di bulan Juni. Ekspor dilaporkan tumbuh 0,5% year-on-year (YoY), dan impor tumbuh 2,7% YoY.

Hasil polling Reuters sebelumnya memprediksi ekspor China bulan Juni akan turun 1,5% YoY, dan impor terkontraksi 10% YoY.

Selain itu, dalam denominasi yuan ekspor juga menunjukkan pertumbuhan 4,3% YoY dan impor naik 6,2% YoY.

Data ekspor-impor tersebut melengkapi serangkaian data yang dirilis sebelumnya. Inflasi China di bulan Juni dilaporkan tumbuh 2,5% secara tahunan atau YoY, naik dari bulan sebelumnya 2,4% YoY. Ini juga merupakan kenaikan pertama setelah menurun dalam 4 bulan sebelumnya.

Sebelumnya, di IHS Markit pada 30 Juni lalu melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur Negeri Tionkok bulan Juni naik menjadi 50,9 dari bulan sebelumnya 50,6.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi dan di atasnya berarti ekspansi.

Dengan demikian, China masih mempertahankan bahkan menambah laju ekspansi di bulan Juni, meski virus corona sempat menyerang ibu kota Beijing.

Sejak dilanda pandemi penyakit virus corona (Covid-19), sektor manufaktur China hanya mengalami kontraksi di bulan Februari (angka indeks sebesar 35,7) setelahnya, mencatat ekspansi dalam 4 bulan beruntun.

Sehingga ada peluang ekonomi China akan mengalami kurva V-Shape, merosot tajam di kuartal I, tetapi mampu segera melesat naik.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Aksi "Buang Dolar" China Bisa Bikin Ekspor Indonesia Melesat?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular