
Kas Seret, Bos Garuda Sebut Utang Tembus Rp 18 T

Jakarta, CNBC Indonesia - Utang maskapai penerbangan BUMN, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) menjadi sorotan parlemen. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR RI pada Selasa kemarin (14/7/2020), manajemen mengungkapkan bagaimana sebetulnya kondisi keuangan perusahaan, terutama soal utang.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan kondisi keuangan Garuda saat ini tidak bisa dibilang baik. Cashflow atau arus kas di perusahaan hanya sebesar US$ 14,5 juta atau setara Rp 203 miliar (kurs Rp 14.000/US$).
Sementara itu, posisi pinjaman ke bank dan lembaga mencapai US$ 1,313 miliar atau sekitar Rp 18,38 triliun. Ada juga utang usaha dan pajak sebesar US$ 905 juta atau Rp 12,67 triliun.
Sebagai perbandingan, mengacu data laporan keuangan Maret 2020, kas dan setara kas Garuda mencapai US$ 163,32 juta atau setara Rp 2,29 triliun, turun dari Desember 2019 sebesar US$ 299,35 juta.
Total liabilitas atau kewajiban mencapai US$ 8,64 miliar atau Rp 121 triliun dari Desember 2019 yakni US$ 3,74 miliar.
Dalam kesempatan itu, Irfan juga mengusulkan dana talangan pemerintah yang akan diberikan kepada Garuda nantinya bisa dalam bentuk penerbitan Mandatory Convertible Bond (MCB) atau Obligasi Wajib Konversi senilai Rp 8,5 triliun.
Obligasi wajib konversi itu akan diterbitkan bisa dengan tenor selama 3 tahun. Perseroan berharap dana talangan pemerintah tersebut bisa cair pada tahun ini. Obligasi konversi sederhananya adalah obligasi yang dapat dikonversikan menjadi saham dari suatu perusahaan penerbit obligasi.
Hanya saja, usulan manajemen Garuda tersebut mendapat sorotan dari DPR, khususnya legislator dari komisi VI. Dalam forum resmi dengan direksi Garuda Indonesia itu, DPR mempertanyakan maksud dari pinjaman tersebut. Karena dikhawatirkan uang negara yang sudah dipinjamkan justru tidak bisa dikembalikan setelah waktu berjalan.
"Dulu kejadian dana talangan kasus Century, jumlahnya tidak sebesar itu, tapi itu menjadi kasus yang besar. Tapi dana talangan Garuda adem ayem aja dengan dana talangan sebesar Rp 8,5 triliun," kata politisi Partai Demokrat Putu Supadma Rudana.
"Ke depan jadi pertanggungjawaban ini. Jangan sampai nanti ada indikasi dana talangan akhirnya menuju PMN [penyertaan modal negara]. Apa Bapak yakin industri penerbangan dan kondisi Garuda mampu kembali membayar dana talangan itu?" tegasnya.
Irfan secara optimistis menegaskan pihaknya bakal mengembalikan dana yang sudah sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Ia pun menjelaskan mengapa pengajuan dana talangan bisa diberikan dengan mekanisme MCB selama 3 tahun.
"Kita prediksi 2 sampai 5 tahun konsensus. Banyak analis katakan 2023 baru recovery 100%, kembali seperti kondisi 2019. Kalau 5 tahun kami khawatir manage garuda take it to easy situasinya dan ini challenge [tantangan]," sebut mantan Dirut PT Inti (Persero) ini.
Ia mengakui di tahun yang sama (3 tahun ke depan), Garuda Indonesia memiliki jatuh tempo pada surat utang global senilai US$ 500 juta. Dengan demikian, ada tiga skema yang sudah dibuat.
"Ada beberapa model karena. Pertama, perusahaan membayar, perhitungan kami 2023 market membaik, sehingga memungkinkan kita peroleh pinjaman di luar untuk tutupi MCB ini. Ketiga MCB ini bonds penempatan modal," jelas Irfan.
Sebelumnya Garuda juga sukses melakukan restrukturisasi atas sukuk global senilai US$ 500 juta atau setara Rp 7,5 triliun (asumsi kurs Rp 15.000/US$). Utang yang seharusnya jatuh tempo di Juni lalu itu akhirnya diperpanjang hingga 3 Juni 2023 mendatang.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Triawan-Yenny Mundur, Ini Daftar Direksi & Komisaris Garuda
