Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Namun bukan berarti peluang penguatan tertutup sama sekali.
Pada Rabu (15/7/2020), US$ 1 setara dengan Rp 14.375 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya alias stagnan.
Namun sejurus kemudian rupiah masuk zona merah. Pada pukul 09:03 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.380 di mana rupiah melemah tipis 0,03%.
Namun rupiah masih punya peluang untuk menguat. Pasalnya, ada hal yang membuat investor merasa berani untuk mengambil risiko.
Dari perkembangan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan jumlah pasien positif corona per 14 Juli 2020 adalah 12.964.809 orang. Bertambah 196.775 orang (1,54%) dibandingkan hari sebelumnya.
Walau masih ada penambahan jumlah pasien, yang menandakan penularan masih terjadi, tetapi terlihat lajunya melambat. Ini menjadi yang pertama sejak 8 Juli penambahan kasus di bawah 200.000. Pertumbuhan 1,54% juga menjadi yang terendah sejak 8 Juli.
Di AS, negara dengan kasus corona tertinggi di dunia, juga terjadi pelambatan penularan. Per 14 Juli, jumlah pasien positif corona tercatat 3.355.457 orang. Bertambah 58.858 orang (1,79%) dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Tambahan jumlah pasien 58.858 orang adalah yang terendah sejak 7 Juli. Secara persentase, laju 1,79% adalah yang paling lambat sejak 8 Juli.
Kabar ini disambut positif oleh pelaku pasar di bursa saham New York. Dini hari tadi waktu Indonesia, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melesat 2,13%, S&P 500 melonjak 1,34%, dan Nasdaq Composite terangkat 0,94%.
"Pasar sepertinya bisa bertahan di tengah kenaikan kasus corona dan tingginya risiko akibat karantina wilayah (lockdown) di beberapa tempat. Saat ini, pasar tampak sedang bahagia meski ada risiko yang masih menghantui perekonomian dunia," ujar Michael McCarthy, Chief Market Strategist di CMC Markets, seperti dikutip dari Reuters.
Kabar seputar vaksin corona juga memberi semangat kepada pelaku pasar. Uji coba vaksin tahap pertama oleh Moderna, perusahaan farmasi asal AS, menunjukkan hasil positif.
Sejauh ini, belum ada tanda-tanda efek samping yang signifikan terhadap para relawan. Sebagian memang mengalami gejala ringan seperti sakit kepala, demam, dan nyeri sendi, tetapi itu adalah yang umum terjadi setelah imunisasi.
"Ini adalah kabar baik. Jika vaksin sukses menghasilkan respons, maka Anda berhasil. Itulah mengapa kami sangat puas dengan hasilnya," kata Anthony Fauci, Direktur US National Institute of Allergy and Infectious Disease, seperti dikutip dari Reuters.
Sementara dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan mengumumkan data perdagangan internasional periode Juni 2020. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor akan terkontraksi -7,765% year-on-year (YoY). Sementara impor terkontraksi -16,455% YoY dan neraca perdagangan surplus US$ 1,1 miliar.
Jika nanti realisasinya sesuai dengan ekspektasi pasar, maka akan terjadi perbaikan dibandingkan Mei 2020. Kala itu, kontraksi ekspor mencapai -28,95% dan impor anjlok -42,2%.
Kinerja ekspor-impor pada Juni yang membaik menunjukkan ada harapan bahwa ketika social distancing dikendurkan maka ekonomi bisa pulih dengan relatif cepat. Permintaan akan meningkat seiring masyarakat yang kembali berkegiatan.
Akan tetapi, risiko yang menggelayuti pasar keuangan masih tetap tinggi. Ketegangan hubungan AS-China menjadi salah satunya.
David Stillwell, Asisten Menteri Luar Negeri AS, menegaskan bahwa Washington bisa saja menjatuhkan sanksi terhadap Beijing atas klaim wilayah Laut China Selatan. "Saat ini belum ada opsi yang ada di atas meja. Namun ada ruang untuk itu," tegas Stillwell, seperti dikutip dari Reuters.
Selain itu, pemerintahan Presiden Donald Trump juga berencana membatalkan kesepakatan AS-China pada 2013 seputar audit keuangan perusahaan. US Public Company Accounting Oversight Board (PCAOB) kerap mengeluh sulit mendapatkan akses dan izin untuk meneliti laporan keuangan perusahaan-perusahaan China yang melantai di bursa saham Negeri Paman Sam.
"Harus ada aksi tegas, ini sudah menyangkut keamanan nasional karena kami tidak bisa terus-menerus menempatkan investor dan perusahaan AS dalam risiko. Kami juga harus menegakkan standar pasar keuangan," kata Keith Krach, Wakil Menteri Dalam Negeri AS, sebagaimana diwartakan Reuters.
Oleh karena itu, AS berniat untuk membatalkan Nota Kesepahaman (Memorandum of Underdstanding/MoU) dengan China. Perkembangan ini bisa membuat friksi AS-China semakin tajam.
TIM RISET CNBC INDONESIA