Efek Skandal Jiwasraya Cs, Fitch Soroti Kelola Non-Bank RI

Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
07 July 2020 07:25
fitch ratings
Foto: REUTERS/Brendan McDermid

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga pemeringkat global Fitch Ratings menyebutkan banyaknya gagal bayar (default) investasi di Indonesia terjadi akibat gagalnya tata kelola industri keuangan, khususnya industri keuangan non-bank (IKNB) yang memicu risiko bagi nasabah dan para investor yang ingin membenamkan dana mereka.

Kelemahan tata kelola ini kian diperparah dengan dampak pandemi Covid-19 yang menghantam ekonomi dalam negeri dan global sehingga berpengaruh kepada kondisi perusahaan.

Kondisi ini pun berpotensi membuat tata kelola menjadi terganggu dan berpotensi meningkatkan kerugian bagi investor dalam waktu dekat.

"Sebagian besar kegagalan tata kelola ini berasal dari sektor IKNB. IKNB ini tidak diatur secara ketat seperti sektor perbankan Indonesia, meskipun sudah ada beberapa penguatan regulasi dan pengawasan dalam beberapa tahun terakhir," kata Roy Purnomo, Associate Director PT Fitch Ratings Indonesia, dalam siaran pers, dikutip CNBC Indonesia, Selasa (7/7/2020).

Faktanya, marak terjadi gagal bayar berkaitan dengan produk-produk investasi berjangka yang ditawarkan kepada para nasabah dengan imbal hasil tinggi (return) yang dipasarkan baik oleh perusahaan asuransi, koperasi, maupun perusahaan pengelola manajemen investasi (MI) kepada masyarakat umum.

Produk-produk investasi ini ditawarkan kepada nasabah dengan tawaran return tinggi dan di atas suku bunga pasar, dan ditawarkan kepada pelanggan atau investor ritel melalui kanal bancassurance atau agen penjual dari pihak ketiga.

Media lokal di Indonesia, tulis Fitch, melaporkan bahwa gagal bayar karena gagalnya tata kelola ini telah mengakibatkan kerugian hingga US$ 3,5 miliar atau setara dengan Rp 49 triliun (mengacu asumsi kurs 1 dolar Rp 14.000) kepada investor sejak 2018.

Kasus gagal bayar paling disorot statusnya BUMN dengan nilai default besar adalah perusahaan asuransi milik negara PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Nilai gagal bayar sejak Oktober 2018 diperkirakan menembus US$ 1, 2 miliar atau setara dengan Rp 16,8 triliun. Angka tersebut termasuk gagal bayar polis asuransi, potensi kerugian negara, dan ditambah dengan kasus dugaan korupsi yang kini berjalan di pengadilan.

Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memang sudah merilis perhitungan kerugian negara (PKN) akibat kasus mega skandal Asuransi Jiwasraya.

Hasilnya, jumlah PKN yang dihitung BPK mencapai Rp 16,81 triliun. Jumlah itu terdiri dari investasi saham sebesar Rp 4,65 triliun dan kerugian negara akibat investasi reksa dana Rp 12,16 triliun. Jumlahnya beda tipis dengan proyeksi awal Kejaksaan Agung (Kejagung) Rp 17 triliun.

Gagal bayar Jiwasraya ini terjadi tak lama setelah PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance), perusahaan pembiayaan Grup Columbia yang diduga melaporkan piutang fiktif dan gagal membayar utang dengan total nilai mencapai US$ 300 juta atau Rp 4,2 triliun.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada September 2018, menyatakan kasus kredit macet SNP Finance sebesar Rp 4,07 triliun. OJK mengklaim yang pertama kali membongkar kasus perusahaan pembiayaan miliki Grup Columbia ini, pada September 2018.

Belum lagi ditambah gagal bayar Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya Cipta (Koperasi Indosurya) yang belum membayar kembali sekitar US$ 1 miliar atau Rp 14 triliun dana simpanan nasabah. Fitch menilai kasus KSP Indosurya menjadi kasus non-bank terbesar dari sejumlah kasus serupa lainnya pada akhir 2019 dan kuartal I-2020.

Sektor perbankan Indonesia belum mengalami gagal bayar baru-baru ini sebagai akibat dari kegagalan tata kelola perusahaan, sementara Fitch melihat tata kelola di sektor ini terus tertinggal dari pasar yang lebih maju.

Penilaian Fitch tentang tata kelola perusahaan IKNB mempertimbangkan efektivitas dewan pengawas secara kolektif (termasuk penilaian kecukupan keahlian, sumber daya, kemandirian dan kredibilitas untuk secara efektif mengawasi manajemen), kualitas pelaporan keuangan dan audit, kompleksitas kelompok struktur, dan sifat dan ruang lingkup transaksi pihak-pihak terkait.

"Soal pihak terkait dapat meningkatkan risiko penularan ketika ada pertanyaan seputar tata kelola. Misalnya, kami yakin tuduhan terhadap Koperasi Indosurya telah mencoreng waralaba dan reputasi perusahaan terkait PT Indosurya Inti Finance. Indosurya Inti mendapatkan rating B+ (idn)/Rating Watch Negative) walaupun struktur hukumnya terpisah.

Fitch juga menilai INKB yang kemampuannya lebih kecil dan dimiliki oleh investor swasta cenderung lebih rentan terhadap penyimpangan tata kelola daripada entitas yang lebih besar dan terdaftar (tercatat) yang biasanya akan menarik perhatian lebih besar.

Banyak IKNP yang juga dinilai dan mendapatkan peringkat dari Fitch dikendalikan oleh induk usaha yang lebih kuat (seringkali dimiliki oleh bank), dan diwajibkan oleh peraturan untuk beroperasi di bawah tata kelola perusahaan yang terintegrasi dan kerangka kerja manajemen risiko induk usaha yang lebih kuat.

Fitch percaya bahwa sejumlah besar peserta di sektor keuangan Indonesia (baru-baru ini diperbesar dengan munculnya sektor fintech yang berkembang pesat) menimbulkan tantangan yang signifikan bagi otoritas dalam memastikan kepatuhan terhadap peraturan dan pengawasan praktik tata kelola.

"Fitch percaya bahwa konsolidasi industri dapat memungkinkan alokasi sumber daya pengaturan yang lebih efisien."

Demarkasi dapat juga menjadi penghalang bagi pengawasan yang efektif, karena koperasi diatur oleh Kementerian Koperasi dan UKM sedangkan sektor keuangan lainnya sebagian besar diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Fitch mengharapkan para regulator untuk memperkuat peraturan dan pengawasan saat skandal baru-baru ini.


(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Buntut Jiwasraya Cs, Fitch Sebut Sektor Non-Bank RI Lemah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular