Burden Sharing BI-Pemerintah

Cerita Alotnya Perry Warjiyo 'Berkorban' Demi NKRI

Lidya Julita S, CNBC Indonesia
06 July 2020 21:00
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan Keterangan Pers Mengenai Burden Sharing Antara Pemerintah dan Bank Indonesia (Tangkapan Layar Youtube Kemenkeu RI)
Foto: Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan Keterangan Pers Mengenai Burden Sharing Antara Pemerintah dan Bank Indonesia (Tangkapan Layar Youtube Kemenkeu RI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) telah menyepakati untuk berbagai beban (burden sharing) untuk pembiayaan dampak pandemi Covid-19 ke perekonomian.

Kebijakan ini pun dibagi beberapa kategori yang akan ditanggung BI dan pemerintah bersama. Dalam perjalanannya, pembahasan ini berlangsung cukup lama dan alot.

Beberapa 'drama' pun terlihat publik, apalagi saat pembahasan dengan DPR.

Persoalan ini berawal dari kewenangan BI yang ditambah melalui Undang-Undang (UU) 2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan Keterangan Pers Mengenai Burden Sharing Antara Pemerintah dan Bank Indonesia(Tangkapan Layar Youtube Kemenkeu RI)Foto: Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan Keterangan Pers Mengenai Burden Sharing Antara Pemerintah dan Bank Indonesia(Tangkapan Layar Youtube Kemenkeu RI)
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan Keterangan Pers Mengenai Burden Sharing Antara Pemerintah dan Bank Indonesia(Tangkapan Layar Youtube Kemenkeu RI)



Dalam payung hukum tersebut, kewenangan BI bertambah dengan mampu membeli surat berharga negara (SBN) di pasar primer. Saat pasar tidak mampu menyerap SBN yang dilepas pemerintah untuk pembiayaan kas negara, BI pun akan masuk untuk menyerap.

Meski demikian, belakangan muncul suara-suara yang menyatakan jika imbal hasil (yield) yang diberikan pemerintah 'spesial'. Dengan kata lain, pemerintah memperlakukan BI sama seperti investor lain - bahkan asing - karena harus membayar yield yang tidak spesial.

Bunga SBN yang diterbitkan oleh pemerintah diserap pasar maupun oleh BI pada kisaran 7% sampai 8% dan punya kecenderungan makin meningkat. Untuk itu seharusnya, dalam rangka pemenuhan anggaran terkait penanganan kesehatan, bantuan sosial dan pelayanan umum baik di pusat maupun yang ditransfer ke pemerintah daerah harus bisa diterapkan surat utang negara dengan bunga 0%.

Alhasil BI pun 'diserang' DPR. "Beban fiskal tinggi, harusnya BI bisa burden sharing dengan pemerintah. Beban fiskal tinggi sekali ini, tolonglah diringankan," kata Ketua Banggar Said Abdullah.

Nah, hari ini Thamrin dan Lapangan Banteng 'berdamai' dan menyepakati untuk berbagai beban (burden sharing) untuk pembiayaan dampak pandemi Covid-19 ke perekonomian.

Sri Mulyani menjelaskan, skema burden sharing yang disepakati dengan BI antara lain :

Beban Dampak Covid-19 untuk Public Goods (Kesehatan, Perlindungan Sosial, Sektoral, K/L, Pemda) Rp 397 triliun: Ditanggung 100% oleh BI

Non-Public Goods (UMKM) Rp 123,46 triliun : BI Reverse Repo Rate Dikurangi Discount 1%

Non-Public Goods (Korporasi Non-UMKM) : BI Reverse Repo Rate

Non Public Goods (Lainnya) : Ditanggung 100% oleh Pemerintah

"Sekali lagi saya tekankan langkah ini diambil pemerintah dan BI akibat dari kondisi yang sangat extra ordinary. Kami hati-hati dan jaga reputasi Kemenkeu dan BI sebagai penjaga fiskal yang prudent dan hati-hati," tegas Sri Muyani kembali.

Cuma Berlaku di 2020

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan untuk public goods akan dilakukan private placement penerbitan SBN yang akan langsung diserap BI.

"Mekanismenya private placement untuk kebutuhan public goods. Nantinya kebutuhan pendanaan fiskal akan terpenuhi dan pemerintah bisa fokus tangani kesehatan. Untuk catatan ini hanya berlaku 2020 saya, one off policy," tegas Perry.

BI memang hanya menanggung beban dan biaya penanganan Covid-19 yang menyangkut hajat hidup masyarakat seperti kesehatan dan perlindungan sosial.

Namun, Sri Mulyani juga menekankan bahwa berbagai beban sharing antara Pemerintah dan BI ini hanya akan berlangsung tahun ini saja. Di mana memang terjadi kondisi luar biasa akibat Covid-19.

"Pendanaan langsung oleh BI ini yang disebut debt monetisasi, hanya khusus untuk yang public goods dengan subung reverse repo rate ini hanya dilakukan untuk 2020 atau istilahnya one off policy," ujar Sri Mulyani melalui video conference, Senin (6/7/2020).



Sri Mulyani menjelaskan, untuk skema Public Goods yang sebesar Rp 397,6 triliun ini nantinya pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) yang dijual langsung ke BI melalui skema private placement dengan bunga bunga 0% atau ditanggung 100% oleh BI.

"Beban bunga bagi pemerintah untuk SBN khusus yang diterbitkan dengan private placement, untuk pemerintah 0%, untuk BI sebesar reverse repo ratenya atau ditanggung 100%," kata dia.

Perry Warjiyo juga menambahkan dengan kebijakan ini, pihaknya akan tetap menjaga dari kesehatan sisi moneter seperti inflasi dan nilai tukar rupiah. Selain itu, SBN yang dibeli dari pemerintah bisa dijual kembali untuk BI bisa menjalankan operasi moneternya.

"Ini betul-betul dipikirkan matang, kebutuhan pendanaan terpenuhi, fiskal terpenuhi dan market mekanisme tetap dijaga," kata Perry.

Anggota Komisi IX Fraksi Golkar Mukhamad Misbakhun sebelumnya meyakini bahwa burden sharing hanyalah masalah waktu. BI, disebut cepat atau lambat akan mengambil peran penting berbagi beban dengan pemerintah.

"Karena BI ingin menjadi bagian yang ikut bergotong royong menyelesaikan persoalan pembiayaan anggaran APBN yang penggunaannya berkaitan dengan kesehatan, bantuan sosial, dan pelayanan umum," kata Misbakhun.

BI Sempat Ungkap Bahayanya Burden Sharing

Dalam dokumen yang diperoleh CNBC Indonesia, Bank sentral mempertimbangkan banyak hal di tengah situasi krisis. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri meminta agar 'sharing the pain' dilakukan oleh siapapun termasuk OJK dan BI.

BI mengungkapkan "Burden Sharing" sebagai permasalahan kompleks dan serius. Tidak hanya menyangkut "pembagian beban" atas bunga utang Pemerintah.

"Tapi berdampak negatif pada kredibilitas kebijakan fiskal dan moneter yang selama ini telah diakui dan diapresiasi. Juga menyangkut "beban politik" antara pemerintah sekarang dan mendatang," tulis BI dalam dokumen yang diberikan kepada Komisi XI DPR.

BI pun mengungkapkan pandangan atau concern dari investor asing. Di antaranya :


(1) Tidak terkendalinya monetisasi utang Pemerintah karena peningkatan defisit fiskal
(2) Menurunkan independensi bank sentral.

"Kekhawatiran tersebut memicu pelemahan nilai tukar Rupiah, terutama pada 1 dan 2 Juli 2020," klaim BI dalam dokumen tersebut.

BI juga memposting pandangan investor, dan lembaga pemeringkat asing :

View Terkait Dampak Keuangan (ist)Foto: View Terkait Dampak Keuangan (ist)
View Terkait Dampak Keuangan (ist)




(dru)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Lakukan 'Capital Control' Pakai Perppu? BI: Tidak Benar!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular