6 Hari Melamah, Bagaimana Nasib Rupiah di Semester II?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 July 2020 17:15
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah mencatat pelemahan 6 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (2/7/2020). Panjangnya rentetan pelemahan kali ini menyamai bulan Maret lalu ketika rupiah mengalami gejolak hingga menyentuh level terlemah sejak krisis moneter 1998.

Bedanya, pelemahan rupiah kali ini tipis-tipis saja dalam 5 hari terakhir, baru kali ini cukup signifikan sebesar 0,81%, mengakhiri perdagangan di level Rp 14.305/US$.

Pelemahan rupiah kali ini bahkan terjadi saat harapan perekonomian global akan segera bangkit setelah nyungsep akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19).

Tanda-tanda pemulihan ekonomi terlihat dari sektor manufaktur di beberapa negara yang mulai berekspansi, yang dilihat dari purchasing managers' index (PMI). Indeks ini menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atas 50 artinya ekspansi, sementara di bawahnya adalah kontraksi.

China, negara asal virus corona melaporkan PMI manufaktur sebesar 50,9 di bulan Juni, naik dari bulan sebelumnya 50,6. Dengan demikian, Negeri Tiongkok mampu mempertahankan ekspansi manufaktur dalam 4 bulan beruntun setelah berkontraksi tajam di bulan Februari 35,7.

Kemudian dari Eropa, sektor manufakturnya juga memberikan kejutan dengan pulih lebih cepat. Prancis menjadi negara yang paling mengejutkan, PMI manufaktur manufaktur kembali menunjukkan ekspansi (52,3) di bulan Juni, dari bulan Mei 40,6.

Sektor manufaktur Inggris juga kembali berekspansi, angka indeks bulan Juni dilaporkan sebesar 50,1, naik tajam dari bulan sebelumnya 40,7.

Jerman, negara dengan nilai ekonomi terbesar di Eropa menunjukkan perbaikan sektor manufaktur yang signifikan, meski masih mengalami kontraksi.

Kemudian Amerika Serikat, sang raksasa ekonomi dunia, sektor manufakturnya juga kembali berekspansi bulan lalu, padahal sedang mengalami serangan virus corona gelombang kedua.

Sementara itu dari dalam negeri, IHS Markit kemarin mengumumkan PMI manufaktur Indonesia periode Juni 2020 berada di 39,1. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 28,6.

"Angka PMI Juni menunjukkan bahwa pelemahan sektor manufaktur Indonesia agak mereda karena pelonggaran pembatasan sosial untuk mencegah penularan virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Dengan rencana pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) lebih lanjut, sentimen dunia usaha membaik."

"Akan tetapi, jalan menuju pemulihan akan sangat menantang. Survei kami menunjukkan bahwa produksi dan permintaan sudah turun signifikan sehingga butuh waktu untuk mengembalikannya. Pabrik-pabrik juga masih mengurangi karyawan pada bulan lalu," papar Bernard Aw, Principal Economist IHS Markit, seperti dikutip dari siaran tertulis.

Meski disebutkan pemulihan sangat menantang, tetapi setidaknya sudah mulai membaik.

Serangkaian data manufaktur dari berbagai negara tersebut membuat sentimen pelaku pasar membaik. Saat itu terjadi, rupiah sebenarnya berpeluang menguat, tetapi nyatanya rupiah malah terus melemah semenjak menyentuh level terkuat 3 bulan pada 8 Juni lalu di Rp 13.810/US$.

Pandemi Covid-19 masih belum diketahui kapan akan berakhir. Saat negara-negara mulai melonggarkan kebijakan karantina (lockdown) wilayah guna memutar kembali roda bisnis, muncul risiko serangan virus corona gelombang kedua.

Beberapa negara, di Asia, Eropa hingga Amerika Serikat sudah mengalami hal tersebut. Tetapi kebijakan lockdown secara luas tidak lagi diterapkan, melainkan lockdown parsial, atau di wilayah-wilayah tertentu yang menjadi hotspot penyebaran Covid-19.

Maklum saja, jika suatu negara kembali menerapkan lockdown, maka roda perekonomian kembali terhenti dan perekonomian global berisiko mengalami resesi yang panjang.

Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) di bulan ini kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global.

Dalam rilis terbarunya yang berjudul A Crisis Like No Other, An Uncertain Recovery, IMF memprediksi perekonomian global di tahun ini akan berkontraksi atau minus 4,9% lebih dalam ketimbang proyeksi yang diberikan pada bulan April lalu minus 3%.

Proyeksi dari IMF tersebut masih lebih baik dari Bank Dunia (World Bank). Dalam rilis Global Economic Prospects. Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini -5,2%, yang akan menjadi resesi tercuram dalam delapan dekade terakhir.

Tidak sampai disana, Bank Dunia memprediksi kontraksi ekonomi bisa lebih buruk lagi, mengingat tingginya ketidakpastian kapan pandemi Covid-19 dapat dihentikan.

Semakin lama virus corona "menyerang" maka membutuhkan waktu lama untuk memutar kembali roda perekonomian. Dengan kondisi seperti itu, Bank Dunia memprediksi perekonomian global akan -8% di 2020.

Kabar baiknya, di tahun depan perekonomian diprediksi akan tumbuh 4,2%, cukup tinggi karena low base effect di tahun ini. Bank Dunia juga memlihat perekonomian global tidak akan mencapai tingkat pertumbuhan seperti sebelum pandemi Covid-19 dalam waktu dekat.

Bagaimana perkembangan pandemi Covid-19 di sisa tahun ini, serta respon perekonomian global akan menjadi kunci kemana arah rupiah.

Dengan prediksi resesi yang "seram" itu, rupiah bisa dikatakan masih cukup stabil. Semenjak mencapai level terkuat 3 bulan pada 8 Juni lalu, rupiah "hanya" melemah 3,58%, tidak seperti bulan Maret lalu yang mencapai 13,67%.

Artinya, pelaku pasar kini sudah lebih tenang menyikapi pandemi Covid-19, tidak lagi terjadi kepanikan yang memicu aksi jual di segala instrument finansial.

Selama negara-negara tidak lagi menerapkan kebijakan lockdown secara luas, rupiah kemungkinan akan berada dalam fase konsolidasi, artinya bergerak naik turun dalam rentang tertentu. Tidak lagi mengalami gejolak seperti di bulan Maret hingga menyentuh level terlemah sejak krisis moneter 1998, ataupun mengalami penguatan tajam lebih dari 15% seperti periode April hingga awal Juni.

Bank Indonesia (BI) sebagai pemenang otoriitas moneter tentunya akan menstabilkan nilai tukar rupiah di sisa tahun ini. Rupiah yang terlalu kuat tidak bagus bagi perekonomian, terlalu lemah juga buruk.

BI melihat secara fundamental rupiah masih berpeluang menguat, tetapi di sisi lain Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam pidato tanggapan pemerintah atas kerangka makro APBN 2021 pada pertengahan Juni lalu menyampaikan pihaknya juga tidak mau rupiah terlalu kuat. Indonesia masih butuh ekspor yang berdaya saing dengan nilai tukar yang terjaga.

Kurs rupiah menjadi salah satu faktor kompetitif atau tidaknya produk Indonesia di pasar global. Ketika rupiah menguat, harga produk dalam negeri tentunya akan menjadi lebih mahal sehingga tingkat ekspor berisiko semakin merosot. Di sisi lain, rupiah yang kuat juga dapat memicu banjir produk impor di dalam negeri.

"Namun perlu kita sadari bersama bahwa pada saat ini posisi nilai tukar yang terlalu kuat juga dapat memukul kinerja ekspor nasional dan berakibat buruk bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan," kata Sri Mulyani.

"Nilai tukar rupiah yang terlalu kuat dapat melumpuhkan daya saing produk kita dan menyebabkan penurunan ekspor serta peningkatan impor produk yang menjadi lebih murah. Untuk itu, Pemerintah bersama Bank Indonesia, akan terus mengelola nilai tukar secara berhati-hati untuk tetap menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi ke depan," tegas Sri Mulyani.

Dalam hal ini, Sri Mulyani menegaskan yang menjadi fokus perhatian bersama adalah bukan pada tingkat nilai tukar tertentu, tetapi menjaga stabilitas pergerakan nilai tukar agar tidak menimbulkan gejolak pada aktivitas ekonomi dan sektor riil dalam negeri.

BI dan Kementerian Keuangan juga sempat berbeda pendapat mengenai nilai tukar rupiah di tahun 2021. 

Saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Sri Mulyani memberikan asumsi makro rupiah Rp 14.900 - 15.300/US$ di 2021. Sementara BI memproyeksi posisi nilai tukar rupiah tahun depan akan mencapai Rp 13.700-Rp 14.300 per dolar AS.

Kendati demikian, pemerintah, BI, dan Komisi XI DPR akhirnya menyepakati nilai tukar rupiah ditargetkan di kisaran Rp 13.700 - Rp 14.900 per dolar AS di tahun 2021.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular