
Malaysia Gugat Eropa ke WTO, Harga CPO Malah Naik

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak sawit mentah (CPO) jelang siang hari Kamis (2/7/2020) menguat. Kenaikan ekspor bulan Juni menjadi sentimen positif bagi harga CPO di tengah makin merebaknya pandemi Covid-19 dan upaya Malaysia untuk menggugat Uni Eropa (UE) atas kebijakannya yang diskriminatif terhadap minyak sawit.
Harga CPO kontrak pengiriman September 2020 di Bursa Malaysia Derivatif menguat lebih dari 0,5% ke RM 2.340 per ton.
Mengacu pada hasil survei Societe Generale de Surveilance, ekspor minyak sawit Negeri Jiran pada bulan Juni naik 21,1% dibandingkan bulan sebelumnya. Ekspor minyak sawit Malaysia bulan lalu tercatat mencapai 1.510.023 ton, sementara pada bulan Mei ekspornya tercatat sebesar 1.246.988 ton.
Hampir semua jenis produk minyak sawit mengalami kenaikan ekspor di bulan Juni kecuali untuk jenis Refined, Bleach & Deodorized (RBD) palm olein yang justru mengalami penurunan volume ekspor.
Ekspor minyak sawit dan produknya ke Eropa mengalami sedikit kenaikan sebesar 0,8% secara month on month (mom). Sementara ekspor ke China (+29,4% mom), Pakistan (+24,8% mom), AS (+35,6% mom) dan India (+254% mom) melonjak. Ekspor ke India mengalami lonjakan yang paling signifikan hampir 4 kali lipat.
Kenaikan ekspor meski tidak sebanyak yang diperkirakan pasar tetap mengindikasikan adanya perbaikan permintaan seiring dengan pembukaan kembali ekonomi di banyak negara terutama dari negara-negara konsumen minyak nabati.
Namun saat ini pasar juga masih diliputi kecemasan akan lonjakan kasus baru infeksi Covid-19 yang terjadi akhir-akhir ini. WHO bahkan menyarankan negara yang mengalami kenaikan kasus signifikan untuk menerapkan kembali lockdown.
Di sisi lain Malaysia juga tengah menggugat UE di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait kebijakannya yang dianggap diskriminatifnya terhadap sawit.
Reuters melaporkan, Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas Mohd Khairuddin Aman Razali mengatakan bahwa kebijakan energi terbarukan UE menghambat praktik perdagangan bebas.
"Kebijakan yang diadopsi oleh UE melalui Regulasi Delegasi di bawah UE Renewable Energy Directive II telah membuat pelarangan yang tak masuk akal terhadap upaya Malaysia untuk mendorong nilai-nilai sustainabilitas" tulisnya dalam sebuah pernyataan.
Tahun lalu komisi UE menyimpulkan bahwa praktik penanaman sawit telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran dan telah meloloskan aturan untuk melarang secara bertahap penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar transportasi mulai dari 2023 hingga 2020.
Negeri Jiran akan menggugat UE melalui mekanisme penyelesaian sengketa di WTO. Sebelumnya pada Desember lalu, Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia juga telah menggugat UE di WTO.
"Malaysia akan menjadi pihak ketiga bagi Indonesia di WTO sebagai tanda solidaritas dan bentuk komitmen bersama dalam mengatasi masalah kampanye anti minyak sawit" kata Mohd Khairuddin.
Indonesia dan Malaysia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan pangsa produksi mencapai 85% dari total output global. Konsumsi minyak sawit UE untuk makanan memang terus mengalami penurunan. Namun penggunaannya untuk bahan bakar nabati justru mengalami kenaikan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/hps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga CPO Melesat 1%, Dekati Level RM 2.400/ton
