Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Investor sedang dilanda kegalauan karena penyebaran virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang tidak kunjung reda.
Pada Kamis (2/7/2020), US$ 1 setara dengan Rp 14.190 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya atau stagnan.
Namun itu tidak lama, karena kemudian mata uang Tanah Air masuk zona merah. Pada pukul 09:03 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.200 di mana rupiah melemah 0,07%.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan pelemahan tipis 0,07% di hadapan dolar AS. Depresiasi mata uang Ibu Pertiwi telah terjadi selama lima hari beruntun. Dalam lima hari tersebut, pelemahan rupiah tercatat 0,78%.
Depresiasi rupiah hari ini disebabkan oleh kegamangan di pasar. Rasa bimbang ini terlihat di pasar saham New York yang ditutup tidak kompak. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,3%, tetapi S&P 500 dan Nasdaq Composite mampu menguat masing-masing 0,5% dan 0,95%.
Pelaku pasar dihadapkan kepada dua sentimen yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, ada kekhawatiran soal pandemi virus corona.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan jumlah pasien positif corona di seluruh negara per 1 Juli 2020 adalah 10.357.662 orang. Bertambah 163.939 orang dibandingkan posisi hari sebelumnya.
"Beberapa negara menerapkan kebijakan yang tidak komprehensif dalam menangani pandemi ini. Negara-negara seperti ini akan menghadapi jalan yang panjang dan berat," tegas Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO, seperti dikutip dari Reuters.
Ghebreyesus menyadari bahwa kenaikan jumlah pasien positif corona akhir-akhir ini disebabkan oleh pelonggaran pembatasan sosial (social distancing). Namun di negara yang menerapkan kebijakan komprehensif, lonjakan ini bisa cepat tertangani.
Gara-gara peningkatan kasus corona, sejumlah negara kembali menerapkan karantina wilayah (lockdown) meski dalam skala yang lebih kecil. Teranyar, Kota Melbourne (Australia) kembali memberlakukan lockdown di wilayah sebelah utara yang berpenduduk sekitar 300.000 jiwa. Warga dilarang keluar rumah kecuali untuk urusan penting.
"Kita akan bersama menghadapi ini dalam empat pekan ke depan. Kita akan mampu mencegah penularan yang lebih luas ke wilayah metropolitan Melbourne," tegas Gubernur Negara Bagian Victoria Daniel Andrews, seperti diwartakan Reuters.
Situasi yang masih tidak menentu membuat Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) sepertinya masih akan mempertahankan suku bunga acuan di level rendah. Saat ini, Federal Funds Rate berada di 0-0,25%, terendah sejak 2015.
"Peserta rapat memperkirakan akan menahan suku bunga acuan hingga ada keyakinan bahwa ekonomi sudah melalui periode buruk ini serta berada di jalur pemenuhan target penciptaan lapangan kerja dan stabilitas harga," tulis notula rapat (minutes of meeting) The Fed periode Juni 2020.
Dalam rapat tersebut, terlihat bahwa 'suasana kebatinan' Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega begitu prihatin. Kata ketidakpastian (uncertainty) sampai muncul 45 kali dalam notula rapat.
"Meski akhir-akhir ini sentimen di pasar agak membaik, tetapi pertumbuhan ekonomi 2020 tetap akan lemah dan ketidakpastian masih sangat tinggi. Dengan kondisi ini, peserta rapat menilai proyeksi yang lebih pesimistis menjadi masuk akal.
"Ketidakpastian yang tinggi membuat pelaku usaha menahan belanja modal, meski ada sudah ada berbagai pelonggaran di sektor keuangan. Beberapa pengusaha menyebut ada risiko penurunan permintaan, penghentian proyek-proyek infrastruktur karena social distancing, atau penurunan harga energi. Sementara pengusaha lainnya menyebut kesulitan untuk merekrut karyawan baru karena kondisi keuangan perusahaan.
"Prospek pemulihan ekonomi dan pasar tenaga kerja tergantung kepada seberapa lama pelonggaran social distancing bisa diterapkan, yang tentu didasari atas aspek kesehatan. Namun peserta rapat mengungkapkan kekhawatirannya dan menyebut ketidakpastian menjadi bertambah karena pelonggaran social distancing menyebabkan peningkatan infeksi virus," papar notula rapat The Fed.
Namun di sisi lain ada kabar yang bisa menjadi sentimen positif. Vaksin virus corona yang sedang dikembangkan BioNTech dan Pfizer disebut-sebut menunjukkan hasil memuaskan dalam uji coba ke manusia. Harga saham Pfizer pun melonjak 3,18% hari ini.
BioNTech menguji vaksin mereka kepada 24 relawan dan setelah 28 hari terlihat ada peningkatan antibodi untuk melawan virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut. "Uji coba pertama menunjukkan bahwa vaksin berhasil meningkatkan aktivitas imun," kata Ugur Sahin, CEO BioNTech, seperti dikutip dari Reuters.
Kabar ini membuat pelaku pasar sedikit optimistis bahwa masih ada jalan untuk menang dalam 'pertempuran' melawan virus corona. Memang butuh waktu untuk mendistribusikan vaksin ke seluruh dunia, tetapi bukan berarti tidak ada solusi sama sekali.
"Masih banyak pekerjaan yang harus dituntaskan. Namun berita ini bisa mengurangi risiko di pasar," sebut riset Mizuho Securities.
Diapit oleh sentimen negatif dan positif, investor sepertinya agak bingung menentukan sikap. Hasilnya ya setengah-setengah. Risk appetite ada, tetapi tidak banyak sehingga arus modal yang mengalir ke aset-aset berisiko di negara berkembang Asia tidak terlampau deras.
TIM RISET CNBC INDONESIA