Sedih, Kayaknya Rupiah Mau Melemah 5 Hari Beruntun...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 July 2020 09:07
valas
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Jelang tengah hari nanti akan diumumkan data inflasi domestik, yang sepertinya semakin menegaskan bahwa konsumsi rumah tangga sedang bermasalah.

Pada Rabu (1/7/2020), US$ 1 dihargai Rp 14.170 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat tipis 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Namun itu tidak lama karena sejurus kemudian rupiah masuk zona merah. Pada pukul 09:06 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.190 di mana rupiah melemah 0,07%.

Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan pelemahan tipis 0,07% di hadapan dolar AS. Namun itu membuat rupiah melemah selama empat hari perdagangan beruntun. Selama empat hari tersebut, depresiasi rupiah adalah 0,71%.

Jika hari ini rupiah melemah sampai 'lapak' ditutup, maka akan menjadi depresiasi kelima secara berturut-turut. Apa mau dikata, 'cuaca' memang agak kurang bersahabat.

Penyebaran virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) masih menjadi faktor utama yang membuat pasar keuangan global tidak stabil. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di seluruh dunia per 30 Juni adalah 10.185.374 orang. Bertambah 163.973 orang (1,64%) dibandingkan sehari sebelumnya.

Namun yang menjadi perhatian utama pelaku pasar adalah lonjakan kasus di AS, negara dengan jumlah pasien positif corona terbanyak di kolong atmosfer. US Centers for Disease Control and Prevention melaporkan jumlah pasien positif corona per 30 Juni adalah 2.581.229 orang. Bertambah 35.979 orang (1,41%) dibandingkan sehari sebelumnya.

Kepala US National Institute of Allergy and Infectious Disease Anthony Fauci menyatakan, tambahan kasus corona di Negeri Paman Sam bisa mencapai 100.000 per hari jika situasi semakin tidak terkendali. "Jelas bahwa saat ini kita tidak bisa mengendalikannya," ujar Fauci, seperti dikutip dari Reuters.

Menurut Fauci, upaya pencegahan penularan virus corona tidak bisa dilakukan secara parsial. Harus ada langkah dalam level nasional.

"Kita tidak bisa hanya fokus ke wilayah yang terjadi lonjakan. Ini membuat seluruh negeri menjadi berisiko," tegasnya.

Sejumlah negara bagian yang sempat membuka kembali keran aktivitas masyarakat kini melakukan penutupan kembali (reclosing) gara-gara kenaikan kasus corona. Di Californa, Gubernur Gavin Newsom memerintahkan agar bar kembali ditutup karena dinilai menjadi penyebab penularan virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut.

Sementara Wali Kota Los Angeles Eric Garcetti mengumumkan bahwa bioskop, taman hiburan, dan tempat wisata lainnya kembali ditutup untuk sementara. Acara kembang api untuk memperingati hari kemerdekaan 4 Juli juga dilarang di Kota Para Malaikat itu.

Lonjakan kasus corona di AS dan negara-negara lain memunculkan kekhawatiran bahwa dunia tengah berhadapan dengan gelombang serangan kedua (second wave outbreak) virus corona. Ketika semakin banyak kota yang kembali menutup diri, maka prospek pemulihan ekonomi global menjadi buram. Tidak heran Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi proyeksi ekonomi dunia pada 2020 dari -3% menjadi -4,9%.

Sementara dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data inflasi periode Juni 2020. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan median inflasi bulanan (month-to-month/MtM) sebesar 0,025%. Sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) ada di 1,805% dan inflasi inti tahunan 2,42%.

Apabila realisasinya nanti sesuai dengan ekspektasi pasar, maka terjadi perlambatan laju inflasi. Pada Mei, inflasi MtM tercatat 0,07%, kemudian YoY sebesar 2,19%, dan inflasi inti YoY adalah 2,65%.

Bank Indonesia punya proyeksi yang lebih rendah dibandingkan pasar. MH Thamrin memperkirakan terjadi deflasi -0,01% MtM sehingga inflasi tahunan menjadi 1,76%. Kali terakhir inflasi tahunan berada di bawah 2% adalah pada Mei 2000 atau lebih dari 20 tahun lalu.

Inflasi rendah memiliki banyak kemungkinan. Satu, pasokan barang dan jasa memadai sehingga tidak ada tekanan harga. Dua, ekspektasi inflasi terkendali sehingga konsumen dan produsen melihat tidak ada kebutuhan untuk menaikkan harga.

Tiga, ada masalah di daya beli rumah tangga. Sepertinya poin ketiga ini yang mendominasi. Permintaan memang sedang turun, kalau tidak mau dibilang anjlok.

Selain aktivitas masyarakat yang sangat terbatas akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), penurunan permintaan juga disebabkan oleh gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Tidak sedikit pengusaha yang melambaikan tangan ke kamera tanda menyerah, karena keterbatasan produksi dan penurunan penjualan.

Per 27 Mei, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sudah 3.066.567 pekerja yang terdampak pandemi corona. Sebanyak 1.757.464 orang sudah melalui proses cleansing, sudah jelas siapa dan di mana tempat tinggalnya. Sedangkan sisanya masih ditelusuri.

Dari 1.757.464 pekerja tersebut, sebanyak 380.221 orang adalah korban PHK di sektor formal dan 1.058.284 dirumahkan (furlough). Sisanya adalah pekerja sektor informal.

Saat tidak ada mata pencarian, para korban PHK itu tentu tidak bisa melakukan konsumsi seperti biasanya. Harus ada bagian dana yang disimpan sampai mendapat pekerjaan lagi.

Sedangkan bagi yang belum menjadi korban PHK juga ada kekhawatiran. Amit-amit, tetapi dalam situasi seperti sekarang 'vonis' PHK bisa datang kapan saja. Oleh karena itu, lebih baik mempersiapkan diri dengan berhemat karena tidak ada yang tahu besok masih bisa bekerja atau tidak.

Kecemasan terhadap ketersediaan lapangan kerja ini tergambar dari survei konsumen BI. Pada Mei, indeks Ketersediaan Lapangan Kerja anjlok ke 28,2.

So, wajar saja inflasi domestik begitu rendah bahkan ada peluang deflasi. Alih-alih menjadi kabar baik, inflasi rendah semakin menegaskan bahwa daya beli rakyat sedang bermasalah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular