Rupiah 4 Hari Melemah, Gara-Gara Jokowi Sebut RI Krisis?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
30 June 2020 16:48
Pengarahan Presiden RI Jokowi untuk Penanganan Covid-19 di Jawa Tengah, Semarang, 30 Juni 2020
Foto: Infografis/Rupiah Tembus di atas Rp.16.000/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (30/6/2020) padahal sentimen pelaku pasar sedang bagus setelah rilis data manufaktur China. Hingga hari ini, rupiah sudah melemah 4 hari beruntun, bahkan sempat ke atas Rp 14.200/US$ hari ini. Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut Indonesia sedang krisis juga mempengaruhi sentimen pelaku pasar.

Saat pembukaan perdagangan rupiah stagnan di Rp 14.170/US$, kemudian menguat 0,14% ke Rp 14.150/US$. Tetapi tidak lama Mata Uang Garuda masuk ke zona merah. Pelemahan terus berlanjut hingga 0,49% di Rp 14.240/US$.

Di akhir perdagangan, rupiah berhasil memangkas pelemahan hingga menjadi 0,07% di Rp 14.180/US$.

China menjadi headline pagi ini, rilis data sektor manufaktur perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut membuat pelaku pasar ceria.

Markit pagi ini melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur Negeri Tiongkok bulan Juni naik menjadi 50,9 dari bulan sebelumnya 50,6.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi dan di atasnya berarti ekspansi.

Dengan demikian, China masih mempertahankan bahkan menambah laju ekspansi di bulan Juni, meski virus corona sempat menyerang ibu kota Beijing. Sehingga harapan akan perekonomian bisa segera bangkit kembali muncul.


Sejak dilanda pandemi penyakit virus corona (Covid-19), sektor manufaktur China hanya mengalami kontraksi di bulan Februari (angka indeks sebesar 35,7) setelahnya, mencatat ekspansi dalam 4 bulan beruntun.

Data tersebut tentunya memberikan harapan perekonomian global akan segera bangkit dan terhindar dari resesi, atau setidaknya tidak mengalami resesi panjang.

Mood pelaku pasar membaik menyambut data tersebut, tetapi sepertinya belum mampu mengangkat sentimen terhadap rupiah.


Presiden Jokowi yang berulang kali menyebut Indonesia sedang krisis agaknya membebani sentimen pelaku pasar. Jokowi menyinggung soal sense of crisis dalam sebuah video sidang kabinet paripurna pada 18 Juni 2020. Jokowi mengaku kecewa soal penanganan wabah Covid-19 dan meminta semua pihak untuk memiliki sensibilitas yang sama dalam menghadapi krisis.

"Saya harus ngomong apa adanya. Nggak ada progres yang signifikan. Nggak ada," ujarnya seperti dikutip akun YouTube Setpres, Minggu (28/6/2020).

"Tolong garis bawahi dan perasaan itu tolong sama, kita sama. Ada sense of crisis yang sama harap sayang coba yang sama. Hati-hati. OECD (Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi) terakhir, sehari-dua hari yang lalu menyampaikan bahwa growth atau pertumbuhan ekonomi dunia terkontraksi 6%, tidak sampai ke 7,6%, 6% sampai 7,6% minus. Bank Dunia menyampaikan bisa 5. Perasaan harus sama kita harus ngerti ini jangan biasa-biasa saja jangan linier, jangan menganggap ini normal" kata eks Wali Kota Solo itu.

Hari ini Jokowi kembali berbicara mengenai krisis ekonomi dan kesehatan yang dialami Indonesia. Namun, kepala negara menegaskan, kondisi krisis ini tak hanya dialami Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Jokowi saat memberikan pengarahan untuk penanganan Covid-19 terintegrasi di Provinsi Jawa Tengah, Semarang, yang disiarkan melalui Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (30/6/2020).

"Saya titip yang kita hadapi ini bukan urusan krisis kesehatan saja, tapi juga masalah ekonomi. Krisis ekonomi," tegas Jokowi.

Rendahnya serapan anggaran untuk melawan pandemi Covid-19 juga menjadi sorotan. Pemerintah memang sudah mengumumkan stimulus ratusan triliun rupiah guba menanggulangi pandemi Covid-19 dan memulihkan perekonomian, tetapi nyatanya stimulus tersebut sangat minim sampai ke masyarakat.
Salah satu contoh yang disebut Jokowi yakni anggaran kesehatan senilai Rp 75 triliun.

"Misalnya saya beri contoh, bidang kesehatan dianggarkan Rp 75 triliun, baru keluar 1,53%," katanya.

Jokowi mengaku masih tak habis pikir dengan soal pencairan lamban bantuan maupun insentif kepada tenaga medis yang selama ini menjadi garda terdepan dalam upaya menangani wabah Covid-19.

Rendahnya pencairan stimulus tersebut tentunya membuat penanggulangan Covid-19 menjadi lebih lama, begitu juga dengan pemulihan ekonomi.

Di luar rendahnya pencairan stimulus untuk penanggulangan Covid-19, hasil survei Reuters pada pekan lalu menunjukkan sentimen pelaku pasar kurang bagus terhadap rupiah. Rupiah kini mulai "dibuang" oleh investor dengan mengurangi posisi beli (long) rupiah dalam 2 pekan terakhir.

Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.

Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (25/6/2020) lalu menunjukkan angka -0,05, memburuk dari rilis dua pekan sebelumnya -0,69. Angka -0,69 tersebut juga merupakan yang terendah sejak rilis survei 23 Januari lalu.

Di bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak hingga menyentuh level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter, hasil survei Reuters menunjukkan angka positif yang artinya investor mengambil posisi jual (short) rupiah.

Kini dengan angka minus yang semakin menipis menjadi -0,05, berarti investor mulai melepas posisi long rupiah setelah terus meningkat dalam satu bulan terakhir. Tidak hanya menipis, posisi tersebut sudah nyaris positif sehingga tekanan terhadap rupiah kembali besar.

Melihat penguatan rupiah pada periode April hingga awal Juni lalu yang lebih dari 15%, maka pelemahan rupiah belakangan ini masih bisa dikatakan wajar, apalagi masih ada risiko penyebaran virus corona gelombang kedua yang tidak diketahui seberapa parah, dan seberapa besar dampaknya ke perekonomian global.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Next Page
Rupiah Mulai
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular