Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (29/6/2020). Isu resesi dan virus corona masih menjadi "duet maut" yang membuat rupiah terus melemah.
Berdasarkan data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan hari ini dengan stagnan di Rp 14.150/US$. Tetapi tidak perlu waktu lama, Mata Uang Garuda masuk ke zona merah. Depresiasi terus berlanjut hingga menyentuh level Rp 14.200/US$, melemah 0,35% di pasar spot.
Di penutupan perdagangan, mata uang Garuda berhasil memangkas pelemahan hingga menjadi 0,14% di Rp 14.170/US$.
Meski berhasil memangkas pelemahan, kinerja rupiah bisa dikatakan tidak bagus melihat mayoritas mata uang utama Asia yang menguat melawan dolar AS. Hingga pukul 15:07 WIB atau beberapa menit setelah pasar Indonesia di tutup, selain rupiah hanya yuan China yang melemah, itu pun hanya 0,02%.
Dengan demikian, rupiah hari ini menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia. Status "terburuk di Asia" kini semakin akrab dengan rupiah, khususnya dalam tiga pekan terakhir. Pada periode tersebut, rupiah sama sekali tak pernah mencatat penguatan mingguan.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning
Kinerja tersebut menjadi antiklimaks bagi rupiah setelah menguat lebih dari 15% pada periode April sampai awal Juni.
Kabar buruknya lagi, rupiah kini mulai "dibuang" dengan mengurangi posisi beli (long) rupiah dalam 2 pekan terakhir.
Survei yang dilakukan Reuters tersebut konsisten dengan pergerakan di tahun ini. Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi jual (short) rupiah.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.
Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (25/6/2020) lalu menunjukkan angka -0,05, memburuk dari rilis dua pekan sebelumnya -0,69. Angka -0,69 tersebut juga merupakan yang terendah sejak rilis survei 23 Januari lalu.
Di bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak hingga menyentuh level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter, hasil survei Reuters menunjukkan angka positif yang artinya investor mengambil posisi jual (short) rupiah.
Kini dengan angka minus yang semakin menipis menjadi -0,05, berarti investor mulai melepas posisi long rupiah setelah terus meningkat dalam satu bulan terakhir. Tidak hanya menipis, posisi tersebut sudah nyaris positif sehingga tekanan terhadap rupiah kembali besar.
Isu resesi kembali merebak setelah Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) merilis proyeksi ekonomi global terbaru.
IMF dalam rilis terbarunya yang berjudul A Crisis Like No Other, An Uncertain Recovery kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global.
"Pandemi Covid-19 memiliki dampak yang negatif pada paruh pertama 2020 daripada yang diperkirakan," tulis lembaga itu, dikutip CNBC Indonesia, Kamis (25/6/2020).
Di negara dengan tingkat penularan Covid-19 dengan tren menurun, pemulihan ekonomi masih akan lambat karena aturan social distancing yang diberlakukan, dan akan berpengaruh hingga semester II-2020.
Sementara di negara yang masih berjuang menghadapi pandemi, lockdown akan terjadi lebih lama, sehingga pemulihan ekonomi pun akan memerlukan waktu yang lebih lama.
Dalam rilis tersebut, IMF memprediksi perekonomian global di tahun ini akan berkontraksi atau minus 4,9% lebih dalam ketimbang proyeksi yang diberikan pada bulan April lalu minus 3%. Itu artinya, resesi yang melanda dunia di tahun ini diprediksi makin dalam.
Nyaris semua negara, dari negara maju hingga negara berkembang diramal akan mengalami kontraksi ekonomi. Secara umum, perekonomian negara maju akan minus 8%.
Amerika Serikat (AS), negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia diprediksi mengalami kontraksi 8%, kemudian ekonomi zona euro -10,2%. Jepang, negara dengan nilai ekonomi terbesar ketiga di dunia diprediksi -5,8%.
Sementara itu, dari negara berkembang secara umum diramal minus 3%, tetapi perekonomian China diprediksi masih bisa tumbuh 1%. Ekonomi Indonesia sendiri tahun ini diprediksi menjadi -0,3%, padahal sebelumnya diramal masih bisa tumbuh 0,5%.
Munculnya risiko resesi semakin dalam membuat sentimen pelaku pasar memburuk, dan cenderung menghindari aset-aset negara emerging market yang dianggap lebih berisiko. Rupiah pun kehilangan tenaga untuk menguat, malah dalam tekanan melemah.
Hal tersebut diperburuk dengan serangan virus corona gelombang kedua yang kini semakin nyata.
Amerika Serikat (AS) paling mendapat sorotan pada pekan lalu setelah kasus Covid-19 mencatat rekor penambahan harian. Kini rekor penambahan tersebut tercatat secara global.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di seluruh dunia per 28 Juni adalah 9.843.073 orang. Bertambah 190.025 orang atau 1,97% dibandingkan hari sebelumnya.
Tambahan 190.025 kasus dalam sehari adalah rekor kenaikan harian tertinggi sejak WHO mencatat pasien corona mulai 20 Januari. Sedangkan pertumbuhan 1,97% adalah laju tercepat sejak 21 Juni.
Virus corona gelombang kedua, jika sampai membuat negara-negara kembali mengambil kebijakan lockdown tentunya akan mengancam pemulihan ekonomi global. Sehingga, resesi dalam dan panjang akan "menghantui" dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA