Jurang Resesi, BI & 'Sharing The Pain' yang Diusung Jokowi

Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
26 June 2020 11:43
Konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia edisi Februari 2020. (CNBC Indonesia/Lidya Julita Sembiring)
Foto: Konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia edisi Februari 2020. (CNBC Indonesia/Lidya Julita Sembiring)

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyuarakan konsep 'Sharing The Pain' kepada seluruh pemangku kepentingan dalam menghadapi pandemi virus corona baru penyebab (Covid-19). Jokowi meminta seluruh pihak ikut 'berkorban' agar Indonesia tak jatuh ke jurang resesi.

Hal tersebut disampaikan kepala negara saat memimpin rapat terbatas bertajuk "Penetapan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan Perubahan Postur APBN Tahun 2020" via konferensi video dari Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (3/6/2020).

Pesan tersebut ditujukan Jokowi kepada pemerintah, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perbankan, sampai dengan pelaku usaha agar bergotong royong menghadapi pandemi.

"Bersedia bersama menanggung risiko proporsional," ujar eks Gubernur DKI Jakarta itu.



Sri Mulyani dan Erick Thohir serta OJK Kompak, BI Gimana?

Pemerintah resmi menempatkan dana sebesar Rp 30 triliun kepada empat bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Himbara. Tujuan penempatan dana adalah untuk menambah likuiditas bank tersebut dalam menjalankan penugasan pemerintah.

Bank-bank BUMN akan ditugaskan untuk memberikan restrukturisasi dan subsidi bunga bagi masyarakat yang paling terdampak pandemi Covid-19 terutama sektor UMKM. Dengan demikian maka perekonomian bisa kembali pulih.

Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan dan Erick Thohir yang merupakan Menteri BUMN sudah terlihat memutar otak secara keras bagaimana Pemulihan Ekonomi Nasional bisa berjalan.

Dengan menempatkan dana pemerintah yang notabene adanya saat ini di Bank Indonesia (BI) ke Bank BUMN, maka likuiditas BNI, Mandiri, BRI dan BTN akan terbantu.

Sayangnya, saat ini sorotan masih tertuju ke BI.

Bank sentral yang dikomandoi oleh Perry Warjiyo selaku Gubernur tengah menjadi sorotan publik karena saat kas keuangan negara terseok-seok akibat pendanaan, namun bank sentral belum juga mengeluarkan kata sepakat dengan pemerintah untuk 'burden sharing'. Hal ini tidak sejalan dengan 'Sharing The Pain' yang diusung Sang Presiden.

Persoalan ini berawal dari kewenangan BI yang ditambah melalui Undang-Undang (UU) 2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease.

Dalam payung hukum tersebut, kewenangan BI bertambah dengan mampu membeli surat berharga negara (SBN) di pasar primer. Saat pasar tidak mampu menyerap SBN yang dilepas pemerintah untuk pembiayaan kas negara, BI pun akan masuk untuk menyerap.

Meski demikian, belakangan muncul suara-suara yang menyatakan jika imbal hasil (yield) yang diberikan pemerintah 'spesial'. Dengan kata lain, pemerintah memperlakukan BI sama seperti investor lain - bahkan asing - karena harus membayar yield yang tidak spesial.

Sampai saat ini bunga SBN yang diterbitkan oleh pemerintah diserap pasar maupun oleh BI pada kisaran 7% sampai 8% dan punya kecenderungan makin meningkat.

Anggota DPR Komisi XI Misbakhun mengatakan, BI seharusnya ikut serta dalam rangka pemenuhan anggaran terkait penanganan kesehatan, bantuan sosial dan pelayanan umum baik di pusat maupun yang ditransfer ke pemerintah daerah harus bisa diterapkan surat utang negara dengan bunga 0%.

"Atau biasa dikenal dengan zero coupon bond dan bisa dibeli oleh Bank Indonesia secara khusus."

"Ini tinggal masalah exercise teknis bagaimana proporsi yang beban BI itu dihitung dan mekanisme masuk dalam perhitungan neraca moneter bank sentral. Sebagai lembaga yang dikenal menerapkan tata kelola yang ketat Bank Indonesia sedang menghitung finalisasinya untuk diterapkan dalam rangka membantu pemerintah tanpa harus melanggar aturan prinsip-prinsip independensi bank sentral. Saya yakin ini hanya soal waktu. Itupun waktunya juga tidak akan lama lagi untuk segera terwujud."

Cetak Uang? Dimungkinkan!

Ekonom dan mantan Menteri Keuangan periode 2013-2014, Chatib Basri menilai pemerintah masih mempunyai ruang fiskal melebarkan defisit anggaran hingga 7-8% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk menangani pandemi di Tanah Air.

Selain itu, guna menutupi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Chatib mengatakan, Indonesia dalam hal ini Bank Indonesia bisa melakukan cetak uang dengan cara Modern Monetary Theory (MMT), yang artinya bank sentral dapat mencetak uang sebanyak-banyaknya tanpa ada batasan, guna membiayai defisit APBN 2020.

"Defisit anggarannya dibiayai oleh bank sentral [Bank Indonesia], kita bisa lakukan," kata Chatib kala itu.

"Tapi jumlah terbatas. Karena jangan lupa bahwa dalam kondisi saat ini, produksi turun. Jadi supply-nya juga turun. Kalau kita cetak uang, itu kan berarti menambah demand pada saat supply turun. Kalau kita cetak uang, itu kan berarti nambah demand pada saat supply turun, yang terjadi adalah inflasi naik," kata Chatib melanjutkan.

Seperti halnya di AS, menurut Chatib, Bank Sentral AS bisa dengan leluasa membeli goverment bond, dengan cetak uang sebanyak apapun. Namun di Indonesia sendiri harus terbatas karena risiko inflasi.

"[Indonesia] uang ada, tapi tidak bisa terus-menerus, dan jumlahnya tidak bisa terlalu signifikan, seperti di AS," pungkas Chatib.

Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia pun pernah meminta BI untuk mencetak uang sebagai kebijakan tambahan dalam menambah likuiditas di dalam negeri.

CORE Indonesia melihat kebijakan pencetakan uang perlu dan bisa dilakukan di Indonesia saat ini.

Terutama disalurkan ke bank-bank juga mengalami permasalahan likuiditas akibat tekanan Non Performing Loan (NPL) dan upaya restrukturisasi kredit.

"Bank sentral tidak perlu khawatir kalau kebijakan mencetak uang ini mengakibatkan hiperinflasi seperti yang terjadi pada periode 1960 - 1966 silam. Pasalnya, kondisi saat ini berbeda dengan masa orde lama tersebut. Jumlah uang beredar saat ini dipandang relatif rendah sehingga pencetakan uang tidak akan menyebabkan bertambahnya jumlah uang beredar dengan signifikan dan hal ini juga tidak berlangsung terus menerus."

Suara Cetak Uang datang dari Pengusaha

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani mengatakan kebijakan cetak uang diperlukan karena saat ini kondisinya mendesak.

"Pelaku usaha tidak ada dana sama sekali. Pemerintah dari mana dananya? Bisa pinjam atau cetak uang," kata Shinta.

Menurutnya, kebijakan tersebut walau sedikit berdampak negatif terhadap inflasi dan indikator ekonomi lainnya, tapi hal itu bisa menjadi motor penggerak ekonomi. "Tapi lihat saja Amerika Serikat (AS), saat ini sudah mencetak uang. Jadi bisa dilihat, ada banyak pilihan solusi," kata dia.

Apakah BI rela untuk ikut dalam 'Sharing The Pain'?

Konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia edisi Februari 2020. (CNBC Indonesia/Lidya Julita Sembiring)Foto: Konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia edisi Februari 2020. (CNBC Indonesia/Lidya Julita Sembiring)
Konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia edisi Februari 2020. (CNBC Indonesia/Lidya Julita Sembiring)

Bahaya Resesi

Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas perkiraan ekonominya pada Rabu (24/6/2020). Bahkan outlook dengan judul A Crisis Like No Other, An Uncertain Recovery ini membuat ramalan yang makin buruk soal ekonomi global.

Ekonomi diproyeksi akan -4,9%. Angka ini lebih rendah 1,9 poin persentase dibanding outlook IMF pada April 2020, yakni -3%.

Di Asia India diproyeksikan -4,5% dan ASEAN-5 -2%. Khusus RI, ekonomi hingga 2020 diprediksi -0,3% dan akan rebound 6,1% di 2021.

Nah Resesi berpotensi besar terjadi di Indonesia di 2020 ini.

Ekonom CORE Piter Abdullah mengatakan resesi adalah kondisi di mana pertumbuhan ekonomi negatif selama dua triwulan berturut-turut.

"Triwulan II sudah bisa dipastikan pertumbuhan ekonomi kita akan negatif. Demikian juga dengan triwulan III. Meskipun membaik tapi berpotensi negatif. Jadi dua triwulan kita akan mengalami pertumbuhan negatif atau Kita mengalami resesi," paparnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (25/6/2020).

Ia memproyeksikan pada triwulan II-2020 pertumbuhan ekonomi akan ada di range -2% sampai -5%. Sementara di triwulan III-2020 antara -2% sampai 0%.

Piter mengatakan, stimulus dan pelonggaran ekonomi atau new normal merupakan solusi konkrit. Hal ini memberi nafas agar dunia usaha bisa bertahan di tengah wabah.

"Demikian juga dengan pelonggaran ketentuan restrukturisasi kredit oleh OJK serta pelonggaran moneter oleh BI."

Namun perlu dicatat stimulus itu bukan untuk mencegah resesi, tapi menahan agar tidak terjadi krisis. "Resesi sudah di ambang mata. Stimulus adalah kebijakan konkret, tapi perlu lebih konkret lagi dengan realisasi yang cepat. Sekarang realisasinya lambat," kata Piter.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira juga berpendapat yang sama. Menurutnya Indonesia sudah tidak bisa terhindar dari resesi di tahun ini. Bahkan, Indonesia di nilai sudah di ambang krisis.

"Indonesia masuk dalam fase krisis dimana pertumbuhannya minus. Ini sudah krisis," jelasnya.


(dru)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi: Kemaren Ekonomi Rem Total, Kini Ngegas Lagi!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular