Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini bukan momen terbaik bagi pasar keuangan Indonesia. Bagaimana dengan pekan depan? Apakah ada harapan situasi bakal membaik?
Sepanjang pekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah tipis 0,11% secara point-to-point. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 1,44%.
Pada pekan ini, sentimen yang beredar memang cenderung negatif. Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data perdagangan internasional periode Mei 2020 yang hasilnya boleh dibilang mengecewakan.
Nilai ekspor pada Mei tercatat US$ 10,53 miliar. Ini berarti ada kontraksi -28,95% secara tahunan (year-on-year/YoY). Kontraksi -28,95% merupakan yang paling dalam sejak Februari 2009. Kala itu, Indonesia (dan dunia) tengah berkubang dalam krisis keuangan global.
Sementara nilai impor bulan lalu tercatat US$ 8,44 miliar atau anjlok 42,2% YoY. Seperti halnya ekspor, kontraksi impor juga menjadi yang paling dalam sejak 2009.
Ekspor yang ambles sangat dalam membuat prospek pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 menjadi suram. Pada kuartal I-2020, ekspor masih bisa tumbuh walau tipis saja di 0,24%. Itu tertolong akibat pertumbuhan yang mencapai 12% pada Februari.
Namun dengan kontraksi lebih dari 28% pada Mei, harapan untuk mengulangi pencapaian serupa sangat sulit (kalau tidak mau dibilang mustahil). Ekspor berperan sekitar 17% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, dan pada kuartal II-2020 sepertinya potensi itu hilang.
Kemudian di sisi impor, kontraksi sangat dalam terjadi untuk impor bahan baku/penolong dan barang modal. Pada Mei, impor bahan baku/penolong ambrol -43,03% YoY dan barang modal jatuh -40% YoY.
Kelesuan impor bahan baku/penolong dan barang modal menggambarkan kelesuan proses produksi industri nasional. Ini juga mencerminkan keengganan dunia usaha dalam berekspansi, sehingga investasi sepertinya bakal bernasib sama seperti ekspor. Terkontraksi...
Pada kuartal I-2020, investasi atau Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) masih tumbuh 1,7%. Namun dengan impor bahan baku/penolong dan bahan baku yang turun begitu parah, sepertinya pertumbuhan investasi kuartal II-2020 bakal negatif.
PMTB menyumbang lebih dari 30% terhadap PDB Tanah Air. Jadi kalau PMTB tidak jadi kontributor malah jadi pemberat, maka sulit bagi ekonomi Indonesia untuk tumbuh positif.
Kemudian Bank Indonesia (BI) merilis angka penjualan ritel periode April 2020 yang ambles - 16,9% YoY. Jauh lebih dalam ketimbang kontraksi pada Maret 2020 yang sebesar -4,5% YoY dan menjadi yang terendah sejak Desember 2008.
Pada Mei, penjualan ritel diperkirakan anjlok lebih dalam yaitu -22,9% YoY. Ini disebabkan kontraksi pada seluruh kelompok komoditas yang disurvei. Kontraksi terdalam pada subkelompok Sandang sebesar -77,8% YoY, lebih dalam dari kontraksi sebesar -70,9% YoY pada April 2020.
Dua data itu membuat keputusan BI untuk menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 4,25% menjadi agak hambar. Sebab meski BI 7 Day Reverse Repo Rate diturunkan, ekonomi Indonesia pada kuartal II-2020 hampir pasti tumbuh negatif.
Untuk pekan ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan penyebaran virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).
Ada kekhawatiran terjadi gelombang serangan kedua (second wave outbreak) karena sejumlah negara menunjukkan peningkatan jumlah kasus. Akibatnya, ada pemerintahan yang kembali mengetatkan pembatasan sosial (social distancing).
Misalnya pemerintahan Negara Bagian Victoria di Australia. Hari ini, terjadi 19 kasus baru sehingga penambahan pasien positif corona sebanyak dua digit telah terjadi selama lima hari beruntun.
Oleh karena itu, pemerintah Negara Bagian Victoria memperpanjang masa tanggap darurat sampai 19 Juli. Satu rumah tangga maksimal hanya boleh menampung lima orang dan pertemuan di luar ruangan dibatasi paling banyak 10 orang. Padahal sebelumnya pemerintah telah memberi kelonggaran dengan memperbolehkan 20 orang berkumpul di luar ruangan.
Mereka yang melanggar aturan akan dikenakan sanksi denda. Bagi individu, denda maksimal adalah AU$ 1.652 (sekitar Rp 15,9 juta dengan kurs saat ini) dan bagi perusahaan maksimal AU$ 9.913 (Rp 95,4 juta).
"Kami tentu sangat khawatir dengan kenaikan jumlah pasien dalam beberapa hari terakhir. Situasi masih sangat serius," tegas Jenny Mikakos, Menteri Kesehatan Negara Bagian Victoria, seperti dikutip dari Reuters.
Kalau semakin banyak pemerintahan yang menerapkan hal serupa, maka roda ekonomi yang sudah mulai bergerak bakal berhenti lagi. Harapan bahwa pemulihan ekonomi bisa dimulai pada paruh kedua 2020 menjadi penuh tanda tanya. Mana mungkin ekonomi tumbuh kalau masyarakat lagi-lagi harus #dirumahaja.
Sentimen kedua adalah memanasnya situasi geopolitik di sejumlah negara. Korea Selatan dan Korea Utara masih mungkin terlibat friksi lebih lanjut. Demikian pula India dan China yang bersitegang di perbatasan.
"Kami tidak pernah memprovokasi siapa pun. Tidak diragukan lagi bahwa India ingin perdamaian, tetapi kalau diprovokasi maka India akan merespons," tegas Perdana Menteri India Narendra Modi, seperti dikutip dari Reuters.
Sejauh ini pasar belum terlalu terpengaruh akan gejolak geopolitik tersebut. Namun jika ketegangan terus tereskalasi dan sampai menjadi agresi militer, maka tentu ceritanya akan berbeda. Saat dunia masih disibukkan dengan pandemi virus corona, adanya perang tentu akan menambah beban.
Ketiga, investor juga perlu mencermati sejumlah rilis data. Di AS, akan ada pengumuman pembacaan final angka pertumbuhan ekonomi kuartal I-2020 pada Kamis dini hari waktu Indonesia. Pembacaan sebelumnya menghasilkan angka -4,8% dan sepertinya tidak akan ada perubahan.
Pada kuartal II-2020, sepertinya kontraksi ekonomi Negeri Paman Sam bakal lebih parah. Mengutip GDPNow terbitan bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Atlanta, ekonomi AS diperkirakan mengalami kontraksi hingga -45,5% pada periode April-Juni 2020.
Kemudian pada Selasa, akan dirilis pembacaan awal angka Purchasing Managers' Index (PMI) periode Juni untuk sejumlah negara seperti Australia, Jepang, Prancis, Jerman, Inggris, sampai AS. Data ini layak dicermati untuk melihat apakah ekonomi dunia betul-betul mulai pulih setelah pelonggaran social distancing.
Sejauh ini, aura pemulihan ekonomi masih terasa. Misalnya, Internasional Energy Agency memperkirakan permintaan minyak pada 2020 adalah 91,7 juta barel/hari, naik 500.000 barel/hari dibandingkan proyeksi Mei. Ini menandakan bahwa ekonomi akan pulih pada semester II-2020 sehingga mendongkrak permintaan energi.
Namun pemulihan itu masih penuh syarat dan ketentuan berlaku. Syarat dan ketentuan paling utama adalah jangan sampai ada secound wave outbreak virus corona.
TIM RISET CNBC INDONESIA