
Apa Kesamaan Arsenal dan Rupiah?

Jakarta, CNBC Indonesia - Football is back! Ya, sepakbola sudah kembali dari hibernasi karena pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Bundesliga Jerman, La Liga Spanyol, dan Liga Primer Inggris mulai melanjutkan musim 2019/2020 yang tertunda selama berbulan-bulan.
Liga Primer Inggris tentu menjadi yang paling dinanti, karena statusnya sebagai kompetisi sepakbola paling populer di planet bumi. Namun bagi pendukung klub-klub tertentu, melanjutkan kompetisi sama dengan mengorek borok yang sudah tertutup.
Pendukung Arsenal adalah contohnya. Sebelum Liga Primer terhenti, Meriam London berada di peringkat sembilan klasemen. Kini setelah kompetisi bergulir lagi, posisi tim asuhan Manajer Mikel Arteta belum juga membaik.
Pada Kamis dini hari waktu Indonesia, Pierre-Emerick Aubameyag dan kolega bertandang ke Stadion Etihad untuk melawan juara bertahan Manchester City. Arsenal kalah tiga gol tanpa berbalas sebiji pun.
Kemarin malam, derita Arsenal bertambah. Kembali melakoni partai on the road, kali ini menghadapi Brighton & Hove Albion, Arsenal menyerah 2-1. Tidak hanya kalah, Arsenal juga kemungkinan bakal kehilangan kiper utama Bernd Leno untuk beberapa waktu karena cedera.
Dua hasil minor tersebut membuat Arsenal belum beranjak dari posisi sembilan dengan raihan 40 poin, sama seperti sebelum lockdown. Berjarak delapan poin dengan Chelsea di posisi ke-4, jatah terakhir tiket Liga Champions Eropa.
Bahkan Arsenal juga sepertinya sulit untuk finis di urutan ke-5, yang merupakan jatah Liga Europa. Mengutip simulasi yang disusun StatsPerform, Arsenal diperkirakan mengakhiri musim di peringkat delapan. Kalau kejadian, maka ini adalah posisi terburuk Arsenal sejak musim 1994/1995.
Problema yang melanda Arsenal sebenarnya agak sistemik. Namun kita bicara soal apa yang terjadi di lapangan saja, urusan non-teknis seperti tingginya beban utang atau kepemimpinan Stan Kroenke yang diragukan tidak perlu dibahas di sini.
Titik lemah Arsenal adalah di lini belakang. Hingga pekan ke-30 musim ini, Arsenal sudah kebobolan 41 gol. Lebih banyak dibandingkan Burnley yang berada di posisi ke-10.
Pada pertandingan versus City, lini pertahanan Arsenal sangat jelas keteteran. David Luiz, bek tengah yang baru didatangkan dari Chelsea pada awal musim ini, membuat dua kesalahan fatal yang masing-masing berujung gol.
Begitu pula kala melawan Brighton. Saat terjadi kemelut di muka gawang, Rob Holding malah menyapu bola ke arah pemain Brighton, Lewis Dunk, dan berujung gol bagi Tim Burung Camar. Sementara gol kedua Brighton yang dibikin Neal Maupay juga terjadi karena Skodran Mustafi kurang sigap dalam melakukan penjagaan.
Intinya lini belakang Arsenal berantakan. Leno adalah kiper jempolan, tetapi kalau para bek di depannya tidak meyakinkan ya susah juga...
Masalah lini belakang di Arsenal sudah terjadi lumayan lama. Namun tidak ada perbaikan, Arsenal tidak (atau belum) kunjung merekrut bek andal dengan harga mahal.
Anehnya, Arsenal malah lebih bernafsu membenahi lini serang. Alexander Lacazette, Aubameyang, dan Nicolas Pepe diamankan jasanya dengan harga mahal. Bahkan nama yang disebut terakhir menjadi rekor pemain termahal di Arsenal, dengan mahar lebih dari GBP 70 juta.
Padahal memiliki lini belakang yang bisa diandalkan menjadi kunci untuk meraih hasil di sepakbola. Saat barisan belakang solid, maka minimal satu angka bisa didapat kalau tidak sedang apes.
Namun kalau lini pertahanan keropos, sebuah tim bagai memulai pertandingan dalam posisi tertinggal. Sebab cepat atau lambat, pasti lawan bakal mencetak gol. Iya kalau para penyerang bisa membuat lebih banyak gol, kalau tidak bagaimana? Kekalahan seakan di depan mata, meski pertandingan belum dimulai.
Belajar dari Liverpool dan City, dua klub terkuat di Inggris saat ini, berinvestasi di lini pertahanan membawa hasil yang sangat memuaskan. Rekor transfer Liverpool saat ini dipegang oleh seorang bek tengah bernama Virgil Van Dijk, yang dibajak dari Southampton dengan biaya GBP 75 juta. Sedangkan City berani membayar hampir GBP 60 juta untuk mendatangkan Aymeric Laporte dari Athletic Bilbao (Spanyol) yang juga berposisi sebagai bek tengah.
Entahlah, tetapi kalau uang lebih dari GBP 70 juta dipakai Arsenal untuk mendatangkan bek tengah, alih-alih Pepe, mungkin hasil yang diraih musim ini bisa saja berbeda. Ingat, uang segitu banyak bisa dipakai untuk merekrut bek sekelas Van Dijk atau Laporte yang dapat membawa kestabilan bagi tim secara keseluruhan.
Well, apa yang terjadi terhadap Arsenal juga sebenarnya mirip-mirip dengan apa yang dalami oleh rupiah, mata uang Republik Indonesia. Buat mata uang, bek bisa diibaratkan sebagai faktor fundamental yang menjadi penopang.
Seperti halnya Arsenal, 'bek' Indonesia juga rapuh. Transaksi berjalan (current account) yang mencerminkan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa masih saja defisit. Sesuatu yang belum bisa dihilangkan sejak 2012.
Pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa yang seret membuat rupiah cenderung melemah. Pelemahan rupiah menjadi lebih dalam ketimbang saat transaksi berjalan masih surplus.
Sejak 2012-2019, rata-rata rupiah melemah 6,69% per tahun. Sedangkan selama 2004-2011, depresiasi mata uang Ibu Pertiwi adalah 3,07% per tahun.
Betul, rupiah memang menguat tahun lalu. Bahkan menjadi mata uang terbaik ketiga di dunia. Namun ini lebih disebabkan oleh arus modal asing di pasar keuangan alias hot money.
Sepanjang 2019, kepemilikan investor asing di obligasi pemerintah bertambah Rp 168,38 triliun. Di pasar saham, investor asing mencatatkan beli bersih hingga Rp 49,8 triliun, tertinggi setidaknya sejak 1993.
Hot money ini tidak seperti ekspor-impor, sifatnya lebih jangka pendek. Gampang keluar-masuk, fluktuatif, tidak stabil. Saat sentimen memburuk, investor asing beramai-ramai meninggalkan pasar keuangan Indonesia. Kekurangan pasokan 'darah', rupiah pun melemah.
Sejak awal 2020 hingga 19 Juni, Bank Indonesia (BI) mencatat investor asing membukukan jual bersih Rp 142,16 triliun di pasar keuangan Tanah Air. Ini membuat rupiah melemah 1,22% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Tanpa dukungan 'bek' yang kuat, rupiah hanya berharap dari kejutan para 'penyerang' (arus modal asing). Saat para 'penyerang' itu buntu, tidak bisa mencetak gol, maka rupiah hampir pasti kalah karena 'lini belakang' yang rapuh.
Situasi ini merupa dengan Arsenal. Fundamental rupiah saat ini diisi bek macam David Luiz, Holding, dan Mustafi sehingga mudah kebobolan. Ada kalanya Aubameyang cs di lini depan bisa memenangkan Arsenal, seperti halnya arus modal asing membawa rupiah menguat. Namun Arsenal dan rupiah lebih sering mendapat hasil mengecewakan karena fundamental yang reyot...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Masuk Pit Stop Dulu, Kapan Ngebut Lagi?
