Rupiah Menguat Sih, Tapi Kayaknya Perjalanan Bakal Berat...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 June 2020 09:15
dollar
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Namun rupiah tetap harus waspada karena sentimen eksternal dan domestik bisa membuat pelaku pasar sedikit bimbang.

Pada Kamis (18/6/2020), US$ 1 setara dengan Rp 14.025 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya alias stagnan saja.

Namun itu tidak lama, karena rupiah kemudian berhasil menguat. Pada pukul 09:06 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.000 di mana rupiah menguat 0,18%.

Kemarin, rupiah terpaksa harus menutup perdagangan pasar spot dengan depresiasi tipis 0,04% di hadapan dolar AS. Rupiah terpeleset pada menit-menit akhir perdagangan, padahal mata uang Tanah Air menghabiskan sebagian besar hari di zona hijau. 

Data ekonomi terbaru dari AS memberikan sedikit optimisme. Pada Mei, pembangunan rumah baru (housing starts) naik 4,3% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi 974.000 unit. Masih dari sektor properti, pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Negeri Paman Sam pada pekan lalu naik 8% dibandingkan pekan sebelumnya.

"Pasar properti sedang merasakan kenaikan permintaan. Ini menjadi tanda bahwa keyakinan konsumen mulai membaik," sebut Joel Kan, Associate Vice President US Morgage Bankers Association, sebagaimana diberitakan Reuters.

Seiring dengan diperbolehkannya masyarakat untuk kembali beraktivitas setelah penyebaran virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) mulai mereda, roda ekonomi perlahan berputar lagi. Sedikit demi sedikit terjadi perbaikan sehingga menimbulkan harapan 'cuaca' bakal lebih cerah pada semester II-2020.

Harapan ini menyebabkan arus modal masih mengalir ke aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. Rupiah pun kecipratan berkahnya.

Akan tetapi, sepertinya jalan rupiah tidak akan mulus. Sebab, ada sentimen yang bisa membuat laju mata uang Ibu Pertiwi terhambat.

Benar bahwa penyebaran virus corona sudah melambat dibandingkan dengan beberapa bulan lalu. Namun, ada kecenderungan lajunya agak meningkat lagi.

Di China, negara yang menjadi awal mula penyebaran virus corona, kasus baru kembali bermunculan. Kemarin, pemerintah China mengumumkan terdapat 28 kasus baru di mana 21 di antaranya ada di Beijing.

Perkembangan di AS juga agak mencemaskan. Per 17 Juni, US Centers for Disease Control and Prevention melaporkan jumlah pasien positif corona adalah 2.132.321 orang. Bertambah 27.975 orang dibandingkan posisi hari sebelumnya dan menjadi penambahan harian terbanyak sejak 7 Juni.

"Di satu sisi ada optimisme dari aspek ekonomi, tetapi di sisi lain ada kecemasan dari aspek kesehatan. Keduanya terus tarik-menarik," ujar Joseph Sroka, Chief Invesment Officer NovaPoint yang berbasis di Atlanta, seperti dikutip dari Reuters.

Apabila jumlah pasien positif corona terus bertambah dan terjadi gelombang serangan kedua (second wave outbreak), maka bukan tidak mungkin pemerintah China dan AS akan kembali mengetatkan pembatasan sosial (social distancing) bahkan memberlakukan karantina wilayah (lockdown). Jika ini sampai terjadi, maka harapan pemulihan ekonomi pada paruh kedua 2020 bisa sirna.

Sementara dari dalam negeri, pelaku pasar tengah menantikan hasil rapat bulanan Bank Indonesia (BI). Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan rekan akan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,25%.

Namun dengan volatilitas pasar yang kembali meninggi akibat kecemasan terhadap second wave outbreak virus corona, rupiah akhir-akhir ini cenderung melemah. Dalam sepekan terakhir, rupiah melemah 0,75% di hadapan dolar AS.

Defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) boleh menipis. Inflasi mungkin juga 'jinak'. Cadangan devisa pun terus menggemuk. Namun kalau rupiah belum sama betul, risiko pelemahan masih ada, maka BI bisa jadi bakal gamang dalam menurunkan suku bunga acuan.

"BI sepertinya memprioritaskan stabilitas nilai tukar. Oleh karena itu, pelonggaran kebijakan moneter kemungkinan belum terjadi dalam waktu dekat karena ketidakpastian di pasar masih sangat tinggi," sebut riset Barclays.

So, rasanya belum tentu BI akan bertindak sesuai ekspektasi pasar. Ada peluang BI 7 Day Reverse Repo Rate bertahan di 4,5% mengingat tingginya risiko yang dihadapi rupiah.

Sambil menanti hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, bisa jadi pelaku pasar akan memilih wait and see. Kala investor bermain aman, maka penguatan rupiah menjadi penuh tanda tanya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular