Newsletter

Mampukah Bursa Menguat di Tengah Risiko 'The Great Lockdown'?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
17 June 2020 06:18
IHSG Bursa Efek Indonesia.

Jakarta,CNBC Indonesia - Bursa keuangan nasional menguat kemarin, terbantu hembusan angin positif dari Amerika Serikat (AS). Hari ini, laju kenaikan berpeluang terganggu oleh perkembangan buruk di China.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menutup perdagangan Selasa (16/6/20) dengan menguat 3,53% ke 4.986,45. Menurut data PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Sebanyak 341 saham naik, 102 saham turun dan sisanya 145 stagnan. Nilai transaksi mencapai Rp 8,5 triliun.

Penguatan terjadi mengikuti tren global menyambut rencana bank sentral Amerika Serikat (AS) yakni Federal Reserve (The Fed), yang berencana melakukan pembelian obligasi swasta hingga ke pasar sekunder.

Dengan langkah tersebut, para investor obligasi di AS pun mendapatkan kesempatan untuk menjual surat utang mereka pada harga premium dan mendapatkan dana tunai yang selanjutnya diputar dan diekspansikan ke pasar keuangan global.

Namun, investor asing memilih mengambil kesempatan itu untuk merealisasikan keuntungan di bursa Indonesia, dengan aksi jual bersih sebanyak Rp 595 miliar di semua pasar. Sasaran utama mereka adalah saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) dengan jual bersih Rp 123 miliar dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) senilai Rp 20 miliar.

Eforia juga terlihat di pasar uang. Rupiah ditutup menguat 0,21% ke Rp 14.020 per dolar AS, sehingga menjadi juara Asia sebagai mata uang berkinerja terbaik kemarin. Padahal, Mata Uang Garuda tersebut sempat melemah di pembukaan, sebesar 0,21%.

Hal yang serupa terjadi di bursa obligasi dengan kenaikan harga surat utang negara (SUN) yang menjadi acuan (benchmark), yakni FR0082. Imbal hasil (yield) surat utang bertenor 10 tahun ini melemah 0,4 basis poin (bps) menjadi 7,244%.

Besaran 100 bps setara dengan 1%. Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield, begitupun sebaliknya.

Bursa Amerika Serikat (AS) melesat pada penutupan Selasa (16/6/2020), menyusul lonjakan penjualan ritel dan temuan terapi Corona yang positif dan kabar stimulus tambahan. Indeks Dow Jones Industrial Average ditutup menguat 526,8 poin (+2%) ke 26.289,98. Indeks Nasdaq naik 1,8% ke 9.895,87 dan S&P 500 tumbuh +1,9% ke 3.124,74.

Pemerintah AS mencatat kenaikan penjualan ritel sebesar 17,7% pada Mei, jauh di atas konsensus ekonom dalam polling Dow Jones yang mengekspektasikan kenaikan 7,7%. Merespons itu, Presiden AS Donald Trump pun bercuit "sepertinya HARI BESAR UNTUK PASAR SAHAM, DAN LAPANGAN KERJA!"

Di sisi lain, hasil uji klinis menyebutkan bahwa dexamethasone-obat yang sudah tersedia secara luas-bisa menolong pasien corona yang sudah masuk tahap kritis. Perawatan itu dilaporkan mengurangi angka kematian hingga sepertiga.

"Perawatan steroid Covid yang potensial di Inggris dikombinasikan dengan rekor penjualan ritel dan kabar tambahan stimulus disambut dengan optimisme liar," tutur Mike Loewengart, Direktur Pelaksana E-Trade, sebagaimana dikutip CNBC International.

Saham yang diuntungkan dari pembukaan kembali ekonomi pun mendapatkan momentum penguatan. Saham maskapai seperti United Airlines, Delta Airlines dan American Airlines menguat setidaknya 2%.

Sentimen juga terangkat oleh laporan Bloomberg bahwa Gedung Putih menyiapkan proposal infrastruktur senilai US$ 1 triliun (setara Rp 14,1 kuadriliun). Proyek yang digarap meliput jalan, jembatan, hingga infrastruktur teknologi komunikasi nirkabel 5G dan internet desa.

"Indeks [S&P 500] mengikuti koreksi besar pekan lalu dengan pembalikan positif kemarin," tutur Frank Cappelleri, Direktur Eksekutif Instinet. "Jika ada contoh pembelian di kala koreksi yang murni, maka kita telah melihatnya kemarin itu."

Optimisme yang muncul dari proposal infrastruktur itu melengkapi sentimen positif yang mengemuka kemarin setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengumumkan rencana pembelian obligasi korporasi di pasar sekunder, tak cuma pasar primer.

"Jika fungsi pasar terus membaik, maka kami dengan senang hati memperlambat atau bahkan menghentikan pembelian. Jika yang terjadi sebaliknya, kami akan menaikkannya," tutur Powell, menambahkan bahwa dia tak ingin berjalan lambat menuju pasar obligasi "seperti gajah."

Setelah banjir kabar positif dari Amerika Serikat (AS), kini kita mendapatkan beberapa kabar yang kurang mengenakkan, yakni dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dan dari China.

Lembaga moneter internasional tersebut memperkirakan perekonomian global pada 2020 berpeluang terkontraksi lebih buruk dari perkiraan semula. Krisis kali ini, menurut Kepala Ekonom IMF Gita Gopinath, adalah semacam Pengurungan Akbar (Great Lockdown) yang tak pernah dilihat dunia sebelumnya. 

Pada masa awal karantina wilayah (lockdown) Eropa pada Aprl lalu, IMF memperkirakan ekonomi akan terkontraksi sebesar 4% pada 2020. Kontraksi artinya ekonomi yang menurun (tumbuh negatif), tak hanya melambat.

"Untuk pertama kali sejak era Depresi Akbar, ekonomi negara maju dan emerging market akan mengalami resesi pada 2020. Laporan Update Outlook Ekonomi Dunia yang dirilis pada Juni sepertinya akan menunjukkan tingkat pertumbuhan negatif yang lebih buruk dari perkiraan sebelumnya," tutur Gita, sebagaimana dikutip CNBC International.

Namun, dia menegaskan bahwa masih terbuka peluang terjadi pemulihan yang lebih cepat, tak seperti di krisis sebelumnya karena kali ini sektor yang lebih terpukul adalah jasa. Hanya saja, muncul kekhawatiran akan adanya gelombang kedua penyebaran Covid-19 ketika beberapa negara sudah mulai melonggarkan lockdown mereka.

Terbaru, pemerintah Beijing di China menerapkan pembatasan perjalanan warganya, menyusul munculnya 106 kasus baru Covid-19 di wilayah tersebut. Sumber penyebaran disinyalir dari pasar grosir Xinfadi, di mana ribuan orang bertransaksi setiap harinya. Sebanyak 27 distrik dinyatakan sebagai wilayah dengan risiko menengah.

Namun, pemerintah China menyatakan belum akan memerintahkan penghentian operasi pabrik dan perusahaan, dan hanya menyerukan kebijakan kerja dari rumah (work from home/WFH).

Menurut data Worldometers, jumlah pasien virus corona (strain terbaru) ini telah mencapai 8,2 juta orang, dengan 5,4% di antaranya (444.890 orang) meninggal. Namun, 4,3 juta orang dinyatakan sembuh.

Masih dari China, ketegangan di perbatasan India kini mengalami eskalasi yang drastis setelah terjadi baku tembak yang menewaskan tentara kedua belah pihak. India melaporkan sebanyak 20 tentaranya tewas dalam insiden di lembah Galwan tersebut.

Kombinasi perkembangan yang buruk tersebut, kemungkinan besar akan mengganggu minat berinvestasi saham di pasar global, meski tidak sampai pada skala yang membalikkan posisi investasi mereka.

Aksi mencermati dan menunggu (wait and see) bakal terlihat dominan dalam perkembangan situasi seperti sekarang. Saham unggulan pun bakal cenderung mengandalkan sentimen korporasi untuk menguat lebih lanjut.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Penjualan motor RI Mei (tentatif)
  • Rilis inflasi Inggris Mei (06:00 WIB)
  • Rilis inflasi Uni Eropa Mei (09:00 WIB)
  • RUPST/RUPSLB PT Sierad Produce Tbk (10:00 WIB)
  • RUPST/RUPSLB PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (10:00 WIB)
  • Rilis data perumahan AS Mei (12:30 WIB)
  • RUPST/RUPSLB PT Sarimelati Kencana Tbk (13:00 WIB)
  • Rilis data minyak AS versi EIA Mei (14:30 WIB)
  • Testimoni Ketua The Fed Jerome Powell (16:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Kuartal I-2020 YoY)

2,97%

Inflasi (Mei 2020 YoY)

2,19%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Mei 2020)

4,5%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-5,07% PDB

Transaksi berjalan (1Q20)

-1,4% PDB

Cadangan devisa (Mei 2020)

US$ 130,5 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular