
Hadapi Corona, BoJ akan "Cetak Uang" US$ 300 Miliar Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Meski sudah resmi mengalami resesi di kuartal I-2020 lalu, Bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) masih optimistis perekonomian akan bangkit secara bertahap dari kemerosotan akibat pandemi virus corona (Covid-19).
Oleh karena itu, dalam pengumuman rapat kebijakan moneter hari ini, bank sentral dibawah pimpinan Haruhiko Kuroda tersebut masih mempertahankan kebijakan utamanya.
Dalam konferensi pers setelah pengumuman kebijakan moneter hari ini, Gubernur Kuroda tetap menyatakan tidak akan ragu untuk menambah stimulus jika diperlukan.
"Kami tidak akan ragu-ragu untuk menambah stimulus jika diperlukan. Itu artinya kami siap untuk menambah nilai fasilitas pinjaman jika dibutuhkan," kata Kuroda sebagaimana dilansir Reuters.
"Melihat ketidakpastian bagaimana pandemi berdampak terhadap perekonomian dan pasar, kami perlu memikirkan langkah-langkah baru."
"Kami tidak akan ragu menambah stimulus moneter berdasarkan tiga pilar. Pilihan termasuk di dalamnya program spesial (untuk melawan pandemi), memangkas target yield, dan menambah pembelian ETF" tegasnya.
Suku bunga acuan tetap sebesar -0,1%, dan kebijakan yield curve control, yakni mempertahankan suku bunga obligasi di level tertentu. Untuk yield obligasi tenor pendek dipertahankan di kiasaran -0,1%, sementara tenor panjang di kisaran 0%.
Kebijakan yield curve control tersebut dilakukan dengan cara membeli obligasi pemerintah atau yang dikenal dengan istilah quantitative easing (QE). Sebelum dunia ini dilanda pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang membuat perekonomian merosot, BoJ mentapkan QE sebesar US$ 80 triliun yen per tahun.
Tetapi pada bulan April lalu, BoJ mengumumkan nilai QE tak terbatas guna meredam dampak penyebaran penyakit virus corona (Covid-19) ke perekonomian. Artinya, BoJ akan membeli obligasi seberapa pun yang diperlukan guna menjamin likuiditas di perekonomian.
Meski tidak merubah kebijakan utamanya, BoJ menambah jumlah likuditas ke perekonomian atau yang sering disebut "printing money" atau "cetak uang" sebesar US$ 300 miliar menjadi US$ 1 triliun, dari sebelumnya US$ 700 miliar, melalui program pinjaman lunak kepada perusahaan-perusahaan yang terdampak pandemi Covid-19.