Hadapi Corona, BoJ akan "Cetak Uang" US$ 300 Miliar Lagi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
16 June 2020 17:05
Gubernur BOJ Haruhiko Kuroda
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Meski sudah resmi mengalami resesi di kuartal I-2020 lalu, Bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) masih optimistis perekonomian akan bangkit secara bertahap dari kemerosotan akibat pandemi virus corona (Covid-19).

Oleh karena itu, dalam pengumuman rapat kebijakan moneter hari ini, bank sentral dibawah pimpinan Haruhiko Kuroda tersebut masih mempertahankan kebijakan utamanya.

Dalam konferensi pers setelah pengumuman kebijakan moneter hari ini, Gubernur Kuroda tetap menyatakan tidak akan ragu untuk menambah stimulus jika diperlukan.

"Kami tidak akan ragu-ragu untuk menambah stimulus jika diperlukan. Itu artinya kami siap untuk menambah nilai fasilitas pinjaman jika dibutuhkan," kata Kuroda sebagaimana dilansir Reuters.

"Melihat ketidakpastian bagaimana pandemi berdampak terhadap perekonomian dan pasar, kami perlu memikirkan langkah-langkah baru."


"Kami tidak akan ragu menambah stimulus moneter berdasarkan tiga pilar. Pilihan termasuk di dalamnya program spesial (untuk melawan pandemi), memangkas target yield, dan menambah pembelian ETF" tegasnya.

Suku bunga acuan tetap sebesar -0,1%, dan kebijakan yield curve control, yakni mempertahankan suku bunga obligasi di level tertentu. Untuk yield obligasi tenor pendek dipertahankan di kiasaran -0,1%, sementara tenor panjang di kisaran 0%.

Kebijakan yield curve control tersebut dilakukan dengan cara membeli obligasi pemerintah atau yang dikenal dengan istilah quantitative easing (QE). Sebelum dunia ini dilanda pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang membuat perekonomian merosot, BoJ mentapkan QE sebesar US$ 80 triliun yen per tahun.

Tetapi pada bulan April lalu, BoJ mengumumkan nilai QE tak terbatas guna meredam dampak penyebaran penyakit virus corona (Covid-19) ke perekonomian. Artinya, BoJ akan membeli obligasi seberapa pun yang diperlukan guna menjamin likuiditas di perekonomian.

Meski tidak merubah kebijakan utamanya, BoJ menambah jumlah likuditas ke perekonomian atau yang sering disebut "printing money" atau "cetak uang" sebesar US$ 300 miliar menjadi US$ 1 triliun, dari sebelumnya US$ 700 miliar, melalui program pinjaman lunak kepada perusahaan-perusahaan yang terdampak pandemi Covid-19. 

Perekonomian Jepang memang sudah mengalami resesi. Pada kuartal I-2020 lalu, produk domestik bruto (PDB) Jepang mengalami kontraksi alias minus 0,6% dari kuartal sebelumnya (quarter-on-quarter/QoQ).

Jepang akhirnya resmi mengalami resesi teknikal akibat PDB minus dalam dua kuartal beruntun secara QoQ. Di kuartal IV-2019 lalu, PDB Jepang minus 1,9% QoQ, dan di kuartal sebelumnya stagnan 0%.

Secara annualized, di kuartal I-2020 PDB Jepang berkontraksi 2,2% YoY, dan di kuartal IV-2019 terkontraksi sebesar 7,2%.


Badai yang menghantam perekonomian terbesar ketiga di dunia ini masih belum berakhir. Di kuartal II-2020 kontraksi ekonomi diprediksi hingga 20% annualized oleh para analis, sebagaimana dilansir Reuters.


Maklum saja, Jepang menerapkan status darurat nasional Covid-19 mirip dengan lockdown di bulan April dan baru dicabut pada akhir Mei. Sehingga sekitar 2 bulan di kuartal II-2020 roda perekonomian Jepang melambat signifikan.


Kontraksi dalam yang di depan mata tak membuat BoJ agresif dalam memberikan stimulus moneter. Salah satu sebabnya adalah nilai tukar yen Jepang yang cenderung stabil.


Sejak akhir 2019 hingga Senin kemarin, yen hanya menguat 1,42% melawan dolar AS. Padahal yen merupakan mata uang yang dianggap safe haven, ketika terjadi kemerosotan ekonomi akan banyak diburu, sehingga bisa menguat tajam.


Di awal Maret lalu, yen memang sempat menguat sekitar 6% saat pasar finansial global mengalami gejolak. Tetapi setelahnya, yen kembali stabil.
Stabilitas yen sangat penting bagi perekonomian Jepang. Nilai tukar yen yang terlalu kuat akan berdampak buruk bagi Jepang yang beorientasi ekspor. Berdasarkan data dari World Bank, ekspor bekontribusi sekitar 18% terhadap PDB Jepang di tahun 2018.


Penguatan yen membuat produk Jepang menjadi lebih mahal, sehingga kehilangan keunggulan kompetitif. Ketika itu terjadi, tekanan bagi BoJ untuk menambah stimulus moneter tentunya semakin kuat.


Seperti disebutkan sebelumnya, penambahan stimulus membuat perekonomian banjir lukuiditas. Ketika itu terjadi, nilai suatu mata uang cenderung terdepresiasi.


Stabilnya yen membuat tekanan bagi BoJ untuk menambah stimulus menjadi berkurang, sehingga kebijakan utama masih tetap dipertahankan.


TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular