
Likuiditas, "Senjata Rahasia" Bank Mega di Era Pandemi

Secara umum, kondisi industri perbankan masih aman jika melihat beberapa indikator keuangan. Data OJK menyebutkan rasio permodalan (capital adequacy ratio/CAR) industri perbankan berada di level 22,13% per April. Ini terhitung masih sangat sehat karena jauh di atas batas aman yang ditetapkan BIS (Bank for International Settlement) di angka 8%.
Sementara itu, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) gross berada di angka 2,89% sedangkan NPL net di angka 1,09%. Batas yang dianggap aman untuk NPL adalah 5%, yang lagi-lagi menunjukkan bahwa tekanan di sektor riil akibat corona belum memukul perbankan kita.
Namun, pemerintah tentu saja harus tetap waspada, dengan menyiapkan berbagai skenario (mulai dari yang terbaik hingga yang terburuk), lengkap dengan formula kebijakan yang bisa dijalankan untuk mencegah maupun menanganinya.
Untuk menjaga likuiditas perbankan, Presiden Joko Widodo merilis Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 yang memungkinkan penempatan dana negara untuk mendukung bank yang tengah merestrukturisasi dan/atau memberikan tambahan kredit/pembiayaan.
Mengutip data OJK pada Sabtu (16/5/2020), penanganan kebutuhan likuiditas untuk sektor jasa keuangan bakal terlebih dahulu diarahkan bersumber dari kapasitas internal bank, melalui Pasar Uang Antar Bank (PUAB), pasar repo, dan Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) BI.
Jika hal itu masih belum cukup, maka bank yang bersangkutan bisa mengajukan permintaan bantuan likuiditas dari pemerintah. Pemerintah akan menempatkan dana dukungan likuiditas di Bank Peserta. Risiko yang ditanggung pemerintah adalah risiko di Bank Peserta tersebut, yang bakal dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Selanjutnya, bank pelaksana mengajukan proposal penyangga likuiditas kepada Bank Peserta. perusahaan pembiayaan/bank perkreditan rakyat mengajukan proposal penyangga likuiditas kepada Bank Pelaksana/Bank Kreditur. Risiko kredit Bank Peserta dari penempatan likuiditas ke Bank Pelaksana dimitigasi dengan Agunan Kredit.
Sejarah mencatat Bank Mega pada masa krisis moneter 1997 berhasil bertahan dan lolos menjadi satu dari sediit bank yang tetap tumbuh tanpa bantuan pemerintah. Beberapa bank lain yang juga setrong saat itu adalah Citibank, Deutche Bank dan HSBC.
Kini, di tengah krisis corona yang berdampak pada tersendatnya aktivitas bisnis dan ekonomi, Bank Mega akan tetap kuat dengan mengandalkan likuiditasnya yang masih berlebih ketika muncul tagihan dan kewajiban jangka pendek, tanpa perlu dana talangan pemerintah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)[Gambas:Video CNBC]