
Likuiditas, "Senjata Rahasia" Bank Mega di Era Pandemi

Jika diperhatikan, likuiditas Bank Mega yang mencapai Rp 30,5 triliun ini dua kali lipat lebih besar dari modal inti perseroan yang per 2019 berada di level Rp 14,7 triliun. Ini merupakan indikator yang positif di tengah situasi krisis seperti sekarang.
Berbeda dari modal inti yang merupakan "jantung perusahaan" untuk mengukur kekuatan mendorong usaha dan menutup risiko dalam jangka panjang, likuiditas menunjukkan kemampuan bank memenuhi kebutuhan jangka pendeknya (yang sewaktu-waktu diperlukan).
Mengutip definisi yang disusun Bank Indonesia (BI), likuiditas dimaknai sebagai "kemampuan untuk memenuhi seluruh kewajiban yang harus dilunasi segera dalam waktu yang singkat". Sebuah perusahaan dikatakan likuid jika mempunyai alat pembayaran berupa aset lancar yang besar.
Jika dibandingkan dengan Dana Pihak Ketiga (DPK), likuiditas Bank Mega setara 40% dana masyarakat yang dikelola dan 29% dari asetnya. Dengan kata lain, dana siaga yang sewaktu-waktu bisa dipakai Bank Mega (untuk ekspansi, pendanaan internal, restrukturisasi, dll) nyaris sepertiga dari asetnya dan separuh dari DPK, menjadi salah satu yang terkuat di Indonesia.
Di tengah situasi krisis yang menekan penerimaan, sementara tagihan jalan terus, dan risiko usaha meningkat dengan lonjakan kebutuhan restrukturisasi kredit dan pencadangan (provisi) kredit bermasalah, peran likuiditas pun sepenting darah dalam tubuh manusia.
Direktur Utama Bank Mega Kostaman Thayib mengatakan layaknya darah dalam tubuh sebuah bank, likuiditas sangat penting untuk dijaga kecukupannya, terutama untuk menghadapi kondisi resesi agar kegiatan operasional sebuah bank tetap berjalan secara normal.
"Meskipun saat ini bukan waktu yang tepat untuk berekspansi, likuiditas yang kuat memberi kami kelonggaran untuk melakukan restrukturisasi kredit debitur yang terkena dampak pandemi Covid-19 dan mengamankan dana nasabah yang ditempatkan di Bank Mega," tutur Kostaman kepada CNBC Indonesia, pada Senin (15/6/2020).
Selama ini bank Buku III dikenal sebagai kelompok bank yang mengalami persoalan likuiditas ketat karena LDR mendekati angka 100%. Artinya, dana yang disalurkan sudah nyaris sama besar dengan dana masyarakat yang disimpan. Istilahnya, kondisi likuiditasnya sudah ketat.
Namun, Bank Mega mencuri perhatian karena menjadi Bank Buku III dengan likuiditas yang sangat longgar. Perseroan mencatat Loan to Deposit Ratio (LDR) di level 67,48%. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata LDR industri perbankan yang sebesar 92,55%berdasarkan data terbaru per Maret 2020.
Persoalan likuiditas ini menjadi perhatian BI dan OJK, yang di era pandemi ini dibekali "alat tempur" baru untuk melawan risiko krisis, mulai dengan suntikan likuditas ke sistem keuangan, hingga kewenangan mempercepat proses restrukturisasi dan merger bank bermasalah.
Ini tertuang di Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara & Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
(ags/ags)